IMAN HERDIANA
Putu Mira Novianti atau akrab dikenal dengan nama pena Mira MM Astra, meluncurkan buku puisi terbarunya berjudul “Pinoro Pitu”. Buku ini menggarap tema-tema Hindu-Bali yang dikhawatirkan punah.
Melalui puisi-puisinya, Mira MM Astra melakukan pencarian jati diri Bali yang terlupakan di tengah himpitan citra Pulau Dewata sebagai kampung internasional. Demi pencarian ini ia memilih menulis puisi daripada menjadi dosen.
Padahal kuliah S1-nya ia tamatkan di salah satu kampus tertua di dunia, yaitu Charles University Prague, Praha, Republik Ceko (2001-2004) mengambil jurusan filsafat. Di negara itu ia melanjutkan S2-nya di Anglo-American University in Prague bidang Humanity Studies Jurusan Sosial Politik.
“Memang benar saya lulusan universitas tertua di Eropa, dan seharusnya saya jadi dosen. Tapi saya harus bertengahan dengan titel saya, ada yang terjadi, membuat puisi harus jujur,” jelas Mira MM Astra.
Perempuan kelahiran Bali itu hadir sebagai narasumber Pengajian Sastra ke-82 gelaran Majelis Sastra Bandung (MSB), komunitas sastra pimpinan penyair Matdon, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Minggu (06/11/2016).
Mengenakan kemeja lengan panjang warna putih, ia menjelaskan buku puisi yang berisi 33 puisinya itu. Bukunya mengulas mengulas kelahiran dirinya, berbicara tentang pertemuan dan pencairian.
Selama kuliah ia mempelajari ilmu-ilmu dari Barat, tetapi kemudian ia bertanya jika kuliahnya lulus apakah ia sudah hafal dengan babad dan sejarah budaya sendiri? Akan ke mana ia mencari dan membaca sejarah itu?
Berangkat dari pertanyaan itu, ia memilih puisi yang di dalamnya terdapat banyak diksi tentang mantra, doa, tradisi, dewa-dewi, mitologi Hindu, dan lain-lain hingga ada yang mencapnya klenik atau magis.
Namun sebutan itu sebagai resiko dari sebuah pencarian. Pada 2008 ia pulang dari Ceko. Ia menghadapi tradisi Bali dan menyadari tidak mengetahui makna dan sejarah tradisi-tradisi itu. Ia berusaha mencari jawaban di lingkungan Bali, tetapi nihil.
Menurut perempuan keturunan salah satu kerajaan Bali ini, yang terjadi di Bali sungguh mengkhawatirkan. Banyak peneliti yang datang dari dalam maupun luar negeri, tetapi mereka tidak berhasil menemukan sumber primer penelitian.
Ia miris karena sumber-sumber primer justru ada di negri nun jauh di Leiden, Belanda. “Kami tak punya satu kitab pun, silakan ke Leiden. Kami tak bisa bahasa Jawa Kuno, Sansakerta. Alangkah malunya kami sebagai keturunan raja, bisa menggelar upacara megah dengan biaya miliaran, tapi maknanya apa?” ujarnya.
Maka dengan puisi, ia berkeliling mengabarkan kegelisahannya itu. “Mudah-mudahan saya tidak telat untuk pulang ke dalam diri. Dan untuk meresonansikannya Pinara Pitu harus hadir,” jelasnya. []