More

    Irwan Bajang dari Lombok Kuliah Ke Yogya Jadi Saudagar Buku

    IMAN HERDIANA

    Irwan Bajang datang jauh-jauh dari Desa Aik Anyar, Lombok Timur, ke Yogyakarta untuk menjadi penulis. Ia kuliah di jurusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta selama 7 tahun. Kini Indie Book Corner (IBC) yang didirikannya menjadi penerbit yang disegani.

    Irwan Bajang, pendiri penerbit Indie Book Corner. FOTO : Dokumentasi Pribadi
    Irwan Bajang, pendiri penerbit Indie Book Corner. FOTO : Dokumentasi Pribadi

    “Saya datang ke Yogyakarta untuk menjadi penulis, konon waktu itu di sana banyak penerbit. Saya menulis puisi dan cerpen yang membuat saya malu kalau membacanya kembali saat ini bahwa saya pernah menulis sejelek ini, padahal tulisan saya sekarang pun lebih jelek lagi,” kata Irwan Bajang.

    - Advertisement -

    Pria kelahiran 22 Februari 1987 itu menuturkan suka-duka di bidang penulisan dan penerbitan alternatif pada hari terakhir Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu (07/12/2016).

    Waktu itu sebagai penulis pemula, dirinya tidak tahu bahwa penerbit memiliki genre. Ada penerbit yang menerbitkan buku sastra, politik, hobi dan lainnya. Ia pernah mengirimkan karyanya lewat internet ke penerbit, namun tak berbalas.

    Ia lalu nge-print sendiri, dijilid, dengan maksud dijual ke teman-temannya. Namun tak ada yang membeli. Akhirnya buku itu ia bagikan cuma-cuma.

    Pada 2008, ia melamar kerja ke sebuah penerbitan sebagai editor politik dan sastra. Ia mengundang teman-temannya untuk mengirimkan karyanya. Tetapi banyak karya yang menurut atasannya tidak bisa diterbitkan.

    “Saya merasa mengecewakan teman-teman, banyak karya mereka yang tak lolos,” katanya.

    Menurutnya, ada yang tidak beres dengan bisnis penerbitan di tempat kerjanya. Banyak karya layak terbit tetapi tak diloloskan. Hanya setahun ia kerja, berbekal ilmu layout yang dimiliki, ia pun mendirikan penerbitan indie atau alternatif pada 2009.

    Ia kembali mengajak teman-temannya di komunitas untuk menerbitkan karya mereka. Pertama-tama ia menerbitkan karya-karya puisi, karya yang jarang diterbitkan penerbit mainstream karena tak menjual.

    Respons terhadap buku puisi yang diterbitkan IBC cukup bagus. Ia terus menyasar penulis-penulis pemula atau muda yang karyanya tidak dilirik penerbit mainstream. Minat pada buku-buku politiknya tak surut. Hal itu pula yang mendorongnya datang ke Yogya.

    Tahun 2000-an, pasca rezim otoriter Orde Baru, banyak sekali penerbit Yogyakarta yang menerbitkan buku-buku politik dan sastra berhaluan kiri. Itulah masa-masa gemilang buku-buku penerbit Yogyakarta mewarnai “kemeriahan” dunia literasi Indonesia.

    Sekira 2006, penerbitan buku-buku kiri mulai redup. Masa itu jagat buku dirajai buku-buku Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, dan buku-buku berbau motivasi. Irwan Bajang tetap menerbitkan buku-buku politik dan sastra, seperti buku esai bolanya Zen RS yang akan memasuki cetakan kedua.

    Menurut Irwan Bajang, memilih usaha penerbitan buku di Yogyakara adalah pilihan tepat, sebab didukung sumber daya melimpah. Membuka percetakan di Yogyakarta sama seperti membuka bisnis clothing di Bandung yang didukung banyaknya tukang sablon dan bahan kaos.

    Yogyakarta memiliki banyak percetakan skala rumahan atau menengah ke bawah, dengan bahan-bahan melimpah serta sistem pemasaran yang berbeda dengan penerbitan mainstream.

    Yang disebut penerbit indie/alternatif bukan berarti menomorduakan kualitas. Yang membedakan adalah sistem pemasarannya. Sistem pemasaran IBC memaksimalkan jejaring komunitas dan media sosial (medsos). Sementara penerbit mainstream mengandalkan toko buku yang menggurita.

    Sudah dua tahun ini IBC tidak bekerja sama dengan toko-toko buku. Ia punya pengalaman buruk kerja sama dengan toko buku. Ada karyanya yang diterbitkan namun hingga kini royaltinya tak jelas.

    Lewat sistem penjualan di medsos, IBC memiliki pembeli yang khas dan pelanggan fanatik.
    “Kita lempar judul ke medsos, terjadi interaksi dengan pembeli,” katanya.

    Pangsa pasarnya terutama kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung dan Jakarta dengan pembeli antara 18-45 tahun. “Perkembangan medsos berimbas ke aktivitas kami di dunia penerbitan. Kami juga belajar dari penerbit-penerbit yang tumbang,” kata pria yang pernah nongol di acara Kick Andy. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here