IMAN HERDIANA
Sejak di kampus, mereka sudah hobi musik. Hobi ini berlanjut setelah lulus kuliah. Maka lahirlah band Timeless. Album perdana mereka ditulis dengan lirik bahasa Inggris dan dirilis secara independen.
Timeless adalah band yang dibentuk di Surabaya pada 2013. Album perdana band ini berjudul Between and Beyond yang dirilis 9 September 2016.
“Lirik lagu semua dalam bahasa Inggris, bukan mau sok internasional, tapi lebih susah membuat lirik dalam bahasa Indonesia,” jelas Fajri Armansya, gitaris, yang alumnus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dan kini karyawan sebuah bank, kepada KabarKampus, awal Desember 2016.
Di antara personel band Timeless, hanya Fajri Armansya yang bekerja. Tiga personel lainnya seperti Bimantara Lestarijono (vokal/gitar), Anggraito Nur Pramadya (bass) dan Ferry RP (drum), punya usaha sendiri alias wiraswasta.
Para personel Timeless sama-sama hobi musik sejak kuliah. Bimantara adalah lulusan desain grafis Universitas Ciputra, Surabaya, kelahiran 1987, Anggraito alumnus desain ITS kelahiran 1987, Ferry jurusan komunikasi Universitas Bhayangkara Surabaya kelahiran 1991. Semua
memiliki latar band di kampus masing-masing.
Pada tahun 2013, sebuah studio di Surabaya mempertemukan mereka, lalu mereka sepakat membentuk band. Tak lama kemudian, mereka melahirkan mini album berjudul “We Believe For What We Do Is Timeless” berisi empat lagu.
Pada tahun 2004, mini album dirilis label lokal Surabaya, Arabian Records, dalam bentuk kaset. Setahun berikutnya, label Radioactive Force, merilis mini album ini dalam bentuk CD. Mini album maupun full album ini dibangun secara independen, mulai ongkos-ongkos latihan, produksi lagu atau rekaman, promosi hingga tour.
Mereka menghidupi Timless secara patungan. Tiap bulannya mereka menyisihkan penghasilan mereka. Jika band mendapat honor dari manggung (gigs), semuanya dimasukkan ke dalam kas band yang dikelola Fajri Armansya.
“Untuk jaman sekarang, total di musik susah. Jadinya kami tetap kerja (wiraswasta) untuk menghidupi musik kita,” jelas Bimantara. “Kami hobi dan fokus di musik. Tujuan ke depannya musik yang menghidupi kita sendiri,” timpal Fajri.
Pemasaran album dilakukan lewat berjejaring dengan komunitas musik indie di luar Surabaya, seperti Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Awal Desember lalu, mereka pentas di Lembang, Bandung utara. “Sambutan band di Bandung sangat positif. Salut,” kata Fajri Armansya.
Pria kelahiran 1988 ini menuturkan, di Lembang, Timeless memainkan lima lagu ditonton band indie lainnya. Usai konser, acara ditutup dengan ngaliwet bersama. Bagi band indie seperti Timeless, jaringan menjadi modal utama. Lewat jaringan mereka bisa promo dan tour album.
Ia menuturkan, jaringan band indie di Surabaya saat ini solid sebagaimana jaringan band di Bandung. Mereka berhasil membangun jaringan berkat kemajuan teknologi internet. Selain itu, secara historis hubungan musik Bandung dan Surabaya sudah terjalin baik, setidaknya sejak jaman rock klasik.
Album Between and Beyond berisi 9 lagu baru. Musik Timeless mengusung heartland alternative rock. Band ini ter-influence The Gaslight Anthem, Bruce Springsteen, Tom Petty, dan The Cure.
Fajri mengatakan, tidak ada pesan khusus dari albumnya. Musik dan lirik Timeless bebas diiterpretasikan penikmatnya. Benang merah yang menghubungkan 9 lagu Timeless adalah, manusia harus berbuat baik kepada orang lain tanpa menghakimi dan menyalahkan.
Timeless tidak memiliki ekspektasi untuk album barunya. “Apa pun hasilnya, kita tetap berkarya, kita tidak memasang ekspektasi,” tandas Fajri. Nama band sendiri diambil dari filosofi karya seni yang tidak lekang oleh waktu. “Kalaupun kami tak ada, karya seni kami tetap ada,” terang Fajri, menjelaskan arti Timeless yang menjadi brand bandnya. []