More

    Budaya Intelektual di UIN Jakarta Perlahan Memudar

    Gedung FITK UIN Jakarta. Dok. UIN Jakarta
    Gedung FITK UIN Jakarta. Dok. UIN Jakarta

    JAKARTA, KabarKampus – UIN Syarif Hidayatullah atau UIN Jakarta memiliki sejarah berkembangnya pemikiran Islam di Indonsia. Bahkan kampus yang dulu bernama IAIN ini dikenal sebagai gerbong pembaruan pemikiran Islam atau basis liberalisasi di Indonesia.

    Sebut saja Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Mereka adalah pemikir UIN Jakarta yang dijadikan model tumbuh berkembangnya pemikiran Islam dari gerbong Ciputat. Mereka dikenal, berangkat dari dari perayaan kebebasan berpendapat yang begitu tumbuh subur di kampus UIN Jakarta era 80-an dan 90-an.

    Namun perjalanan waktu, membuat era tersebut mulai memudar. Berlahan tapi pasti, gerakan pemikiran islam mulai runtuh. Sekitar tahun 2000-an, UIN Jakarta secara infrastruktur mengalami kemajuan yang cukup pesat. Tapi dari sisi perkembangan intelektual, hanya tinggal puing-puing kenangan.

    - Advertisement -

    Memudarnya gerakan intelektual ini sejalan dengan memudarnya tradisi menulis di kalangan mahasiswa dan dosen. Mahasiswa dianggap kurang memiliki keinginan untuk menciptakan karya lewat tulisan.

    “Kurangnya rasa ingin berkarya mahasiswa, mungkin tidak mau mencoba untuk menciptakan sebuah karya lewat tulisa dan juga tidak adanya semangat atau rasa ingin tahu yang timbul dari dalam diri mahasiswa,” ujar Mahfuza Novianti, Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab dan Humaniora, seperti yang disampaikan dilaman UIN Jakarta, Selasa (17/01/2017).

    Ia mengungkapkan, banyak mahasiswa yang tidak mempunyai budaya menulis. Inilah yang menyebabkan tradisi menulis di kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah tidak tumbuh berkembang dengan baik.

    Sementara itu Laras Sekar Seruni, mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu dan Komunikasi melihat, lemahnya tradisi menulis di kalangan mahasiswa karena mahasiswa terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar urusan tradisi intelektual. Mereka lebih cenderung bermedia sosial untuk kepuasan eksistensi.

    “Derasnya keinginan up date di sosial media, hanya sekadar pemenuhan kepuasan soal eksistensi diri, tanpa mengindahkan informasi yang seharusnya menjadi kebutuhan bagi mahasiswa,” tutur Laras.

    Begitu juga dengan Ali Al Habsy, mahasiswa jurusan Sastra Arab, Fakulatas Adab dan Humaniora, semester V. Ia menilai kesadaran mahasiswa berkurang, karena aktivitas mahasiswa saat ini terlalu politis. Mereka sudah jarang mau diskusi kecil-kecilan.

    “Padahal, diskusi sebagai sarana eksplorasi gagasan,” ungkap Ali.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here