BANDUNG, KabarKampus – Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia mengaku telah mengajukan diri untuk menjadi saksi dalam kasus penodaan agama Basuki Cahaya Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Ia menilai kasus Ahok hampir serupa dengan kasus Geert Wilders, Calon Perdana Menteri (PM) Belanda yang selalu menebar kebencian terhadap Islam di Belanda.
Menurut Rocky, dua hari sebelum sidang kedua Ahok di PN Jakarta Utara pada hari Selasa, (27/12/2016), hakim Belanda menjatuhkan putusan pengadilan terhadap Geert Wilder. Hakim menganggap, politisi penghina Islam nomor satu di Belada telah meresahkan dan tidak memiliki etika publik.
“Meski di Belanda biasa saja, namun hakim Belanda mau menghukumnya. Karena sebagai tokoh politik Gilder tidak boleh menimbul keresahan,” kata Rocky Gerung di Bandung, Rabu (28/12/2016).
Kemudian kata Rocky, dalam kasus tersebut, Wilder dihukum oleh hakim Belanda. Tapi dia tidak dipenjara dengan alasan hukuman publik lebih sakit dari perjara.
“Di Belanda hukuman seperti itu sakitnya di dengkul. Ia akan dicatat sebagai tokoh yang dihukum karena menghina demokrasi, walaupun dia tidak dihukum secara pidana,” ungkap pendiri SETARA Institute ini.
Namun dalam kasus Ahok, Rocky tidak melihat jalan berpikir seperti itu. Ia juga tidak mendengar pengacara Ahok mampu merefleksikan diri seperti kasus Wilder. Selain itu, ia juga menganggap pengacara Ahok tidak membaca kasus internasional.
“Jadi kedunguan pengacara bertemulah dengan kecengengan tokoh. Kenapa jalan berpikir seperti itu tidak dipakai untuk mendalilkan hal yang sama. Bukankah secara mental dan ideologi, hukum kita sama dengan Belanda,” ungkap Rocky.
Bagi Rocky, ketika masuk ke pengadilan, tidak ada gunanya doa dan tangisan sebagai dalil pembuktian. Tangisan Ahok justru menimbulkan bully setiap hari. Jadi kata Rocky, ia telah mengirim pesan kepada Ahok, untuk menjadi saksi Ahok secara legal dan resmi.
Rocky juga mengaku, ia berteman baik dengan Ahok. Dialah yang telah membawa Ahok dari Belitung untuk masuk Partai Indonesia Baru.[]