Reformasi 1998 menandai perubahan dari rezim otoritarian menuju era demokrasi. Kekuasaan monolitik mengekang kebebasan, didekontruksi untuk menciptakan tatanan baru yang menempatkan warga negara sebagai subyek politik. Inilah, esensi gerakan reformasi digelorakan seluruh komponen bangsa ketika itu.
Kini perjalanan reformasi 18 tahun sudah kita tempuh. Namun, di tengah keberhasilan masih meninggalkan banyak persoalan menyelimuti kehidupan kepolitikan. Paling menyesakkan dada, politik melenceng jauh dipahami sebatas manipulasi, komersialisasi atau sesuatu yang berkonotasi kotor.
Situasi yang sangat berbahaya, karena menimbulkan ketidakpercayaan publik (distrust) kepada politik dan institusi politik (government institution). Gugatan terhadap demokrasi melalui sikap apatis sebenarnya wujud ketidakpercaan itu. Akhirnya, mereka mencari jalan keluar lewat pemikiran-pemikiran sempit, puritan, dan absolut.
Di titik ini, dibutuhkan metapolitik baru, yaitu menegakkan republik dalam melanjutkan reformasi fase berikutnya. Mengingat, tidak bisa memberi beban terlalu berat pada demokrasi yang juga membawa paradoksnya. Demokrasi sejatinya penanda kosong (signfer empty) yang bisa dihuni oleh siapapun, tanpa kecuali mereka yang antidemokrasi. Kontestasi merebut arena demokrasi lewat pemilihan suara terbanyak (majority vote), misalnya, memungkinkannya tergelincir pada tirani mayoritas.
Menegakkan republik memiliki makna sepadan dengan kembalinya politik selaras pemahamannya yang luhur. Politik dalam pandangan republik adalah keutamaan umum (common goods). Politik yang mengedepankan kemaslahatan publik di atas kepentingan privat, dan politik dilandasi nilai-nilai kebajikan (virtue) bukan politik “dagang sapi” atas dasar transaksional.
Menegakkan republik tidak berarti menggantikan jalan demokrasi, tetapi justru meneguhkan demokrasi sekaligus mengatasi kelemahan-kelemahannya. Sebab, republik sesuatu yang konstan sepanjang kedaulatan negara berdiri, sementara demokrasi dapat diabaikan kalau sudah melanggar republik.
Presiden Amerika Serikat keenambelas, Abraham Lincoln, untuk menghapus perbudakan terpaksa memutuskan perang saudara (civil war). Perbudakan melanggar nilai-nilai berdirinya sebuah negara republik, walaupun tindakan yang diambil Abraham Lincoln mungkin dianggap tidak demokratis.
Pada konteks ini, founding parent meletakan fondasi bentuk negara kita republik. Pasti predikat Republik Indonesia bukan sesuatu yang terberi dari langit (givens), di dalamnya mempunyai makna yang harus diikuti prasyarat-prasyarat sebagai negara republik.
Agenda Reformasi
Menegakkan republik merupakan metapolitik reformasi fase kedua semakin memiliki relevansi, saat dihadapkan dengan kenyataan politik dewasa ini. Agenda reformasi sesungguhnya mengkoreksi rezim otoritarian yang ditopang oleh ABRI/TNI, Birokrasi, dan Golkar. Tiga pilar itu selama orde baru berkuasa menjadi alat paksa, sehingga kekuasaan monolitik tidak ada perimbangan, apalagi kontrol terhadap kekuasaan.
Oleh karenanya, tuntutan reformasi terhadap TNI adalah mencabut dwi-fungsi TNI dan pemisahan Polisi dari institusi TNI, memberantas praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di tubuh birokrasi pemerintahan, dan deliberasi politik lewat sistem multipartai agar tumbuh partisipasi publik.
TNI dan Golkar memang tidak lagi dominan. Tetapi, kalau dicermati segitiga penopang kekuasan itu tetap ada, hanya bertransformasi dalam bentuk lain. TNI digantikan oleh kekuatan korporasi, dan sistem multipartai mengubah posisi determinan Golkar. Sementara, birokrasi belum tuntas melakukan reformasinya. Jadi, kalau orde baru ditopang oleh ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar), maka sekarang segitiga pilar kekuasaan adalah korporasi, birokrasi, dan multipartai.
Penolakan pabrik semen di Rembang atau reklamasi teluk Jakarta, membuktikan sangat hegemonik kepentingan korporasi terlepas berdampak menerabas aspek lingkungan dan hak-hak publik. Begitupun, elite multipartai seringkali menihilkan nurani. Kohabitasi (persekongkolan) antara korporasi, birokrasi, dan multipartai ini yang disebut oligarki. Karakteristik oligarki hanya mempertahankan kekuasaan politik untuk mengakumulasi kekayaan.
Dengan demikian, sebuah keniscayaan gerakan reformasi jilid kedua menjawab persoalan yang timbul dari kerakusan oligarki. Reformasi birokrasi harus dituntaskan, membangun kesadaran warga negara aktif (active citizenship), dan merumuskan demarkasi wilayah publik dengan privat agar tidak ada intervensi kepentingan korporasi.
Semoga, memasuki tahun 2017 di tengah pesimisme memandang realitas politik terselip keyakinan baru mekarnya optimisme bersama, demi Republik Indonesia yang kita cintai. Republik yang menjungjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan solidaritas. Tentu melalui jalan kita kembali merapatkan barisan menuntut agenda reformasi yang belum tuntas. []
Penulis: Budiana, Kolumnis kabarkampus.com