Tahun 1998 krisis besar melanda negeri ini. Nilai tukar rupiah terpuruk, pekerjaan sulit, banyak terjadi kerusuhan. Situasi tak nyaman itu tak membuat Atep Kurnia menyerah.
Di tengah krisis itu, semua orang harus bertahan, salah satunya Atep Kurnia, yang baru tamat SMUN Cicalengka. Ia diterima kerja di PT Filamenindo Lestari Textile, Kabupaten Bandung, sebagai office boy, ngepel lantai pabrik, mengumpulkan benang lalu mengangkutnya ke gudang.
Berkat keuletannya, setahun kemudian ia dipromosikan menjadi operator mesin pemintal benang yang gedenya nyaris sebesar rumah. Mesin tersebut menggulung benang bahan tekstil, gulungannya bisa sebesar perut kerbau.
Di tengah sumpeknya kerja, Atep Kurnia tidak pernah meninggalkan hobinya: membaca. Ya, selama kerja di pabrik ia selalu membawa buku, keliping koran atau majalah untuk dibaca di saat senggang.
Ia membaca di tengah deru mesin pemintal benang dan cahaya remang. Bising mesin dan suntuk tak menghambat proses batin itu. “Ada ruangan kecil di sekitar mesin, kalau mesinnya lancar, saya punya kesempatan 1-2,5 jam membaca,” katanya.
Cerita itu ia sampaikan di sela bedah buku “Tanah dan Air Sunda” karya Hawe Setiawan, di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Minggu (05/02/2017).
Selama bekerja di pabrik, pria kelahiran Bandung 10 Mei 1979 itu biasa mencari buku loak di di Kosambi, Cicadas, Palasari, Dewi Sartika. Rezim Orde Baru yang tumbang meninggalkan krisis moneter yang melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Situasi sulit itu tak menyurutkan Atep Kurnia menyisihkan uang untuk buku.
Ia juga mengunjungi penerbit buku Kiblat Buku Utama, penerbit khusus buku-buku Sunda. Kesusastraan Sunda menjadi salah satu genre yang ia sukai. Ia aktif di klub buku Panglawungan Girimukti yang dibentuk Kiblat Buku Utama. Di klub buku inilah ia akrab dengan Hawe Setiawan.
Sebenarnya sejak SD ia sudah suka membaca, meskipun lahir dari keluarga sederhana. Ayah dan ibunya tak tamat SD. Ayahnya bekerja sebagai penarik becak, sedangkan saudara-saudara kandungnya cuma tamat SD.
Persentuhannya dengan buku justru dari tetangga. Ia tertarik sketsa-sketsa karya Drs Suyadi alias Pak Raden. Di usia SMP, ia mendalami buku Gapura Basa. Hingga SMA minatnya pada buku semakin kuat, sehingga ia lebih sering nongkrong di perpustakaan sekolah untuk membaca karya-karya sastra, misalnya majalah Horison.
Ia juga mulai rajin mengumpulkan tulisan-tulisan di majalah dan koran, mengumpulkan buku-buku hasil belanja di tukang buku loak. Aktivitas ini dipandang aneh bagi beberapa orang di lingkungan rumahnya.
Ia sendiri bertanya-tanya, apa manfaat dari sekian lama mengkliping dan membaca buku? Ia pun mulai memikirkan menulis sesuatu. Hawe Setiawan menjadi salah satu penulis yang esai-esainya kerap ia baca. Ia punya koleksi tulisan dosen Unpad itu yang terbit di rubrik Khazanah Pikiran Rakyat 2001-2002.
Dari tulisan Hawe Setiawan ia belajar teknik membuat esai menggunakan metode copy the master. Metode “mencontek” ini ternyata ampuh. Sementara aktivitasnya di klub buku menambah pengetahuan menulisnya.
Klub ini kemudian menerbitkan Newslatter yang menjadi embrio majalah Sunda, Cupumanik, yang diasuh Hawe Setiawan. Di majalah Sunda tersebut Atep Kurnia sering menyumbangkan tulisan, salah satu tulisan yang mengulas karya sastrawan Sunda, Ki Umbara, berhasil mendapat anugerah Lembaga Bahasa jeung Sastra Sunda (LBSS) 2003. LBSS juga menganugerahinya Hadiah I Bidang Esai Tahun 2006.
Sejak 2003, tulisannya banyak dimuat media cetak di Bandung. Kemampuan menulisnya membuat ia meninggalkan pabrik. Antara 2006-2008, ia mantap jadi editor, berpengalaman di bidang pemasaran buku, tak lupa konsisten menulis esai dan puisi.
Balai Bahasa Jabar mencatat, karya puisi Atep Kurnia dimuat dalam antologi Diafan (2009) dan antologi Sajak Sunda (2009). Minatnya pada sastra mendorongnya melanjutkan kuliah. Pada 2008, ia memulai kuliah S1 Sastra Inggris di Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.
Aktivitas terbaru suami dari Nurjannah ini adalah mendorong Hawe Setiawan membuat buku “Tanah dan Air Sunda”, ia sendiri sebagai editor. Buku setebal hampir 400 halaman ini menegaskan Atep, bekas buruh pabrik, sebagai editor lepas. []
saya punya anak autis, usia 5 tahun, sampai sekarang blm bisa bicara, aktif, selalu gerak (lari2) sambil tertawa, terkadang tanpa sebab menangis dan mengamuk,
apakah musik MP3 hasil karya Bapak itu bisa digunakan untuk anak msaya ?
lalu bagaimana cara mendapatkannya…… terimakasih