BANDUNG, KabarKampus – Mayoritas masyarakat saat ini hidup di wilayah perkotaan. Hal membuat produksi polusi dan limbah lebih banyak, serta kepadatan penduduk. Permasalahan di wilayah perkotaan tersebut harus ditangani dengan ‘smart’.
Hal ini diungkapkan oleh Prof. Jason Pomeroy, arsitek dan juga seorang dosen di sejumlah perguruan tinggi di Eropa dalam kuliah tamu dengan tema “Smart Cities 2.0 beyond Technology” di Gedung 10, Unpar, Bandung, Senin (17/04/2017).
Pemeroy melihat, ada delapan kota yang terhitung sebagai smart cities atau kota pintar di dunia. Kedelapan kota tersebut yaitu Songdo, Higashimatsushima, Bandung, Singapura, Ahmedabad di India, Barcelona di Spanyol, Shenzen di Tiongkok, dan Amsterdam di Belanda.
Menurutnya, setiap kota memiliki karakteristik ‘smart’ yang berbeda. Ia mengategorikan kedelapan kota itu ke dalam smart cities 1.0, 2.0, dan 3.0. Kota pintar 1.0 berfokus pada teknologi dan ekonomi, serta rantai komando yang top-down, seperti Singapura dan Shenzen. Kemudian, kota pintar 2.0 berfokus pada aspek budaya dan sosial sehingga rantainya top-down dan bottom-up.
“Pada kategori 2.0 masyarakat sudah siap untuk beradaptasi dengan teknologi, contohnya Kota Bandung,” kata Pemeroy mengkategorikan Bandung dalam kategori smart cities 2.0.
Selanjutnya Kota Pintar 3.0, kata Pomeroy berfokus pada lingkungan dan spasial karena adanya tekanan pada kedua aspek tersebut. Tantangan kota pintar ini adalah membangun kota yang memerhatikan keadaan lingkungan dan ketersediaan lahan. Karakteristik kota pintar ini ada padaKota Amsterdam dan Barcelona.
Bagi Pemeroy, Kota Bandung di Indonesia memiliki berbagai inovasi kreatif, sehingga menjadikan kota yang disebut Paris van Java ini sebagai smart city 2.0. Sejumlah faktor yang mendukunya antara lain adanya aplikasi KIRI yang menyediakan rute-rute angkutan kota (angkot).
Selain itu, tambah Pemeroy, Kota Kembang ini juga diawasi oleh Bandung Command (Centre (BCC). BCC ini menfaatkan aplikasi Lapor! dan media sosial untuk membantu masyarakat melaporkan berbagai kejadian.
“Smart city bukan hanya mengenai good governance dari kacamata pemerintah, namun juga memberdayakan masyarakat untuk menggunakan teknologi secara bijak dan memastikan mereka mampu bekerja sama dengan pemerintah, akademisi, dan sektor swasta untuk membentuk solusi yang berkelanjutan. Jadi, smart city adalah mengenai pemerintahan dan negara, juga masyarakat, sektor swasta, dan akademisi berkontribusi dalam membangun smart city,” ujar Pomeroy menambahkan usai seminar.
Menurut Pomeroy, apabila di antara keempat aktor tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik, maka kota pintar akan tercerai-berai. Apabila keseimbangan fungsi keempat aktor tidak tercapai, maka impian kota pintar berada di ujung tombak kesuksesan.
“Kesuksesan suatu kota berdasarkan pada semangat masyarakat dan negara yang saling bekerja sama. Saya berbicara mengenai peningkatan yang dapat menambah added-value dan manfaat,” jelasnya.[]