Penulis : Syarif
BANDUNG, KabarKampus – Pemerintah saat ini tengah berambisius membangun proyek 35 ribu megawatt dengan terus membangun Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (PLTU) yang kebanyakan terpusat di pulau Jawa dan Bali. Padahal PLTU selalu menimbulkan masalah bagi masyarakat sekitar, mulai dari kerusakaan lingkungan hingga hilangnya mata pencaharian.
Hal ini disampaikan Wahyu Widianto, Manajer Advokasi Walhi Jawa Barat dalam diskusi 35GW untuk Indonesia, di KaKa Kafe Bandung, (10/05/2017). Selain perwakilan dari Walhi diskusi ini juga dihadiri perwakilan dari Pusat Sains dan Atmosfere LAPAN Bandung dan BPLHD Jawa Barat.
Wahyu dalam kesempatan tersebut menyangkan jika pemerintah masih tergantung pada batu bara dalam startegi pengadaan energi national. Hal itu karena, PLTU akan menjadi kontributor tunggal penyumbang Co2 (karbon dioksida) terbesar.
Pembangunan PLTU akan menggantikan posisi masalah alih fungsi lahan yang sementara menduduki urutan pertama penyebab perubahan iklim yang terjadi di Indonesia.
“Kerusakan sistemik yang diciptakan oleh pengolahan batu bara yang dilakukan oleh PLTU, telah terjadi di daerah Cirebon, Jawa Barat. Ekonomi lokal di sana yang yang bergantung pada laut, seperti penambak garam dan pertanian dimatikan oleh pembangunan dari PLTU di Cirebon”, ujar Wahyu.
Akibat rusaknya lingkungan alam, tambah Wahyu, mereka kehilangan mata pencarian. Sehingga para mantan nelayan dan petani beralih profesi. Mereka ada yang menjadi tukang las, tukang bangunan dan lain-lain.
“Ini dikarenakan mereka harus bisa survive demi memenuhi kebutuhan hidup dengan keahlian yang mereka tidak miliki sebelumnya,” tambah Wahyu.
Selain itu, ungkap Wahyu, peraturan tata ruang banyak yang tidak diperhatikan. Bahkan cenderung dilanggar. Seperti pembangunan oleh Cirebon Energi Prasarana yang izinnya dikeluarkan oleh BPMPT Jawa Barat. Pembangunan tersebut melanggar peraturan yang dikeluarkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012, tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Masyarakat dalam UU Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 memiliki hak untuk memutuskan apakah proyek tersebut atau tidak,” kata Wahyu.
Menurutnya, aturan ini harusnya menjadi rujukan dan dilasanakan dalam pembangunan PLTU. Namun pada kenyataan di lapangan, masyarakat Cirebon tidak dilibatkan dalam peroses pendirian PLTU yang dilakukan oleh Cirebon Energi Prasarana.
“Ini terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan amdal oleh Cirebon Energi Prasarana. Maka dari itu Dinas lingkungan Jawa Barat yang seharusnya memiliki tanggung jawab dan kewenangan penuh dalam mengawasi pembagunan tidak bisa terus seperti ini. Mereka terkesan abai dalam mengawasi dan meninjau ulang lahirnya AMDAL yang mereka keluarkan,” terang Wahyu.[]