BANDUNG, KabarKampus – Penangkapan Tora Sudiro oleh aparat kepolisian atas kepemilikian 30 pil nitrazepam menjadi perhatian netizen. Mereka ramai-ramai menyatakan dukungan terhadap Tora dengan lebih dari 5 ribu unggahan di instagram.
Tora ditangkap Kamis, 3 Agustus lalu bersama Mieke Amalia istrinya, karena memiliki puluhan pil yang terdaftar dalam UU RI No. 5 Tahun 1997 sebagai Psikotropika Golongan IV, Pasal 62. UU tersebut menyatakan, barang siapa secara tanpa hak memiliki dan atau membawa psikotropika dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Dalam sejumlah pemberitaan disebutkan, Satnarkoba Polres Jakarta Selatan ketika itu melakukan penelitian pada barang bukti yang diamankan dalam penangkapan tersebut. Dari sejumlah pemberitaan pula, Tora juga melakukan pemeriksaan (asesmen) untuk mengikuti rehabilitasi.
Bagi Patri pendiri Rumah Cemara, hasil penelitian dari pihak kepolisian ini penting karena, kalau memang betul kandungannya benzo, artinya Tora melanggar Pasal 62 UU Psikotropika. Selain itu rehabilitasi juga ada ketentuannya, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah benar seseorang ketergantungan dan membutuhkan perawatan.
“Kalau hanya konsumsi untuk rekreasi, kenapa harus direhab?” kata Patri
Patri menjelaskan, kasus Tora, sangat berbeda dalam kasus terkait narkoba sebelumnya, yaitu “Kasus Fidelis”. Citra jaksa boleh dikatakan amat bijak dalam kasus Fidelis. Dalam tuntutan Jaksa pada 12 Juli lalu, jaksa secara mengejutkan menuntut lima bulan penjara dan denda 800 juta rupiah subsider satu bulan penjara kepada Fidelis. Kemudian pada sidang putusan, hakim akhirnya memvonis delapan bulan penjara dan denda 800 juta rupiah subsider satu bulan penjara.
Patri menilai putusan hakim itu patut disayangkan. Ia berharap hakim bisa menggunakan kebijakannya untuk memutus bebas atas nama hukum yang sesuai dengan Pasal 48 KUHP. Apalagi Tora ditangkap sehari pasca ultra petita (vonis hakim yang melebihi tuntutan jaksa) terhadap Fidelis yang menanam ganja untuk pengobatan penyakit langka mendiang istrinya.
“Kami di Rumah Cemara tidak mau jika simpati terhadap Fidelis tertutup kehebohan kasus Tora hanya karena dia seleb yang tentu jauh lebih tenar ketimbang Fidelis yang merupakan PNS,” ungkapnya.
Menurut Patri, sekarang mungkin ada yang ingin agar kasus Fidelis dilupakan orang. Namun justru kasus Fidelis ini adalah momentum bagi masyarakat Indonesia untuk bisa membedakan, mana narkoba yang layak untuk diperjuangkan, dan mana yang buat pertunjukan.
“Masyarakat Indonesia sudah bisa memanfaatkan internet untuk mencari tahu tentang khasiat narkoba, kami sedang menguatkan media rumah cemara agar lebih banyak dibaca masyarakat Indonesia,” terang penulis buku War on Drugs itu.
Sebagai perbandingan, dumoloid merupakan sebuah merek dagang nitrazepam, obat sedatif hipnotik untuk gangguan tidur dan kecemasan jenis benzodiazepine, Dumolid punya nama lain, di antaranya Dum, Mud, Dumadi, Naskun. Obat ini sejatinya diserahkan apotek ke pasien melalui resep dokter sebagaimana obat dengan resep pada umumnya walaupun masuk dalam Psikotropika Golongan IV dalam UU RI No. 5 Tahun 1997.
Sementara, ganja (Cannabis sativa) adalah jenis tanaman yang dimanfaatkan Fidelis Arie Sudewarto untuk mengobati penyakit langka mendiang istrinya, syringomyelia, yang wafat 32 hari pasca dirinya ditahan BNN atas penanaman Narkotika Golongan I menurut UU RI No. 35 Tahun 2009.[]