More

    Islam Puritan sebagai Trauma Teologis

    Oleh : Muhammad Yusuf el-Badri

    Buku Teolog Puritan : Genealogi Ajaran Salafi

    Tindakan teror kembali mencuat. Aksi tersebut dilakukan oleh tahanan narapidana teroris di Mako Brimob. Aksi teror 8-10 Mei tersebut memakan korban, lima orang putra bangsa yang sedang bertugas di kepolisian dan satu tahanan teroris. Dalam studi agama, tampaknya aksi teror selalu terkait-hubung dengan teologi puritan. Dalam Islam teologi puritan ini dicetuskan dan dikonsep oleh Ibn Taymiyah.

    Dari mana asal konsep teologis itu muncul? Teologi puritan itu muncul dari karena trauma politik, yang juga berdampak pada trauma teologi. Trauma teologi yang di kemudian hari menjadi sikap politik. Dalam hal beragama cenderung pada pemahaman literal. Pemahaman literal ini tampak sebagai respon sekaligus bentuk perlawanan terhadap rasionalis. Karena pada masa itu ada pemaksaan teologis dari pemerintah yang menganut teologi rasional.

    - Advertisement -

    Dengan kata lain, kelompok teologis berpengaruh melakukan pemaksaan dengan menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menyingkirkan atau memaksakan pemahamannya pada kelompok lain.

    Trauma teologis yang berperngaruh dalam dunia Islam dan bertahan sampai sekarang adalah ‘warisan’ dari apa yang dialami oleh Ahmad ibn Hanbal, Imam Mazhab Hanbali dalam masalah akidah. Pada masa itu, pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Al-Ma`mun (198-218 H/814-833 M).

    Al-Ma`mun sendiri cenderung pada teologi mu’tazilah dan menerima doktrin khalqiyat al-Qur’an  (Al-Qur’an sebagai makhluk). Dan puncaknya pada tahun 218 H, ia mengadakan pengadilan terbuka terhadap orang yang menolak doktrin khalqiyat al-Qur’an. Penolak doktrin ini dinyatakan sesat dan kesaksiannya tidak diterima.

    Dalam kasus Ahmad ibn Hanbal ini, ketika ia dan pengikutnya menjadi korban pemaksaan teologis ini, pemerintah cenderung mendukung teologi rasional, dalam hal ini mu’tazilah.

    Hal itu tampak menjadi trauma bagi Ahmad ibn Hanbal sehingga dikemudian hari ia menjadi corong terhadap penolakan rasionalitas murni, filsafat dan ilmu kalam. Bahkan kaidah-kaidah agama yang lahir darinya cenderung reaksioner dan defensif.

    Penolakan itu selain karena faktor trauma, juga disebabkan karena Ahmad ibn Hanbal merupakan seorang penghafal hadis. Pada masanya, hadis dipahami dengan pendekatan rasio murni. Sehingga penolakannya terhadap rasionalisasi yang dilakukan oleh mu’tazilah dalam masalah hukum dan teologi mendapat perhatian masyarakat.

    Orang-orang yang menjadi korban tuduhan kafir karena trauma Ahmad ibn Hanbal dan pengikutnya, tidak hanya kelompok teologis mu’tazilah tapi juga kelompok jahmiyah (pengikut Jahm ibn Safwan), dan peminat kajian filsafat dan ilmu kalam seperti Syi’ah.

    Ahli fikih penganut mazhab Hanafi, yang mengutamakan rasionalitas dalam memahami sumber Agama, ikut terkena imbasnya. Meski penganut mazhab Hanafi tidak tergolong mu’tazilah, jahmiyah ataupun Syiah, tetapi sikapnya bersandar pada rasio/akal dalam memahami sumber agama dan menetapkan hukum menjadi masalah bagi sebagian ahli hadis.

    Bahkan Ibn Abu Ya’la (pengarang Thabaqat Hanabilah) menyebutkan bahwa Ahmad ibn Hanbal menyebut kelompok Ahlur Ra’y yakni rasionalis pengikut Imam Hanafi (80 H-150 H/699 M-747 M, sebagai pembohong, ahli bid’ah, jahil, sesat dan musuh Tuhan.

    Alasannya, ia tersinggung karena kelompok rasionalis menyebut ahli hadis sebagai kelompok pinggiran karena memahami hadis secara literal, harfiah tanpa menalar. Fatwa kaum rasionalis itu, menurut Ahmad ibn Hanbal tidak boleh dijadikan rujukan dalam masalah agama.

    Ahmad ibn Hanbal (164 H-241 H/781 M-856 M) menolak kelompok rasionalis, karena mereka dianggap meninggalkan sunnah dan lebih mendahulukan rasio dalam bentuk istihsan ketika memahami teks agama dan sumber Islam. Bagi Ahmad ibn Hanbal bahwa mengikuti hadis dhaif (lemah) lebih utama dari pada alasan logis seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah (Arrazy; 52-53).

    Penolakan Ahmad ibn Hanbal tersebut berlanjut hingga Muhammad bin Idris Asy-Syafii atau lebih dikenal dengan Imam Syafii memasuki Baghdad. Meski Muhammad bin Idris Asy-Syafii (150 H-204 H/767 M-820 M) juga menggunakan rasio/nalar dalam dalam bentuk qiyas (analogi) ketika menetapkan hukum tetapi hal itu tidak dianggap menyimpang oleh Ahmad ibn Hanbal.

    Alasannya adalah karena Imam Syafii lebih mengutamakan teks hadis dari pada rasio ketika terjadi kontradiksi dalam pemahaman. Alasan lain diterimanya Imam Syafii oleh pengikut Ahmad Ibn Hanbal adalah karena ia mampu membantah argumen pengikut Hanafi, kelompok yang tidak disukainya.

    Imam Syafii menyelesaikan perdebatan dengan kelompok rasionalis dengan baik, sehingga segala kesulitan yang dialami oleh para penghafal hadis teratasi, (Arrazy; 43-45). Itulah sebabnya Muhammad ibn Idris menjadi populer pada masanya dan diikuti banyak orang, sejak akhir abad 3 hijriah (abad 8 M) hingga sekarang (lebih kurang 13 Abad). Termasuk sebagai pengikut dan bahkan muridnya adalah adalah Ahmad ibn Hanbal sendiri.

    Namun demikian, Ahmad ibn Hanbal dan pengikutnya tetap kukuh menolak rasionalitas pengikut mazhab Hanafi. Bahkan semakin meluas di kalangan pengikutnya. Begitulah awal perseteruan teologis yang melebar menjadi sikap hukum dan politik yang terus berkembang dan bertahan hingga sekarang.

    Dalam studi agama sikap teologis seperti ini dikemudian hari disebut sebagai puritan. Sedang dalam Islamic Studies fenomena ini disebut sebagai Islam puritan atau puritanisme Islam.

    Salafi sebagai Puritan

    Bagaimana salafi sebagai muslim puritan dan gerakan politiknya? Dan apakah kebangkitan Islam politik di Indonesia saat ini, dapat disebut sebagai puritanisme Islam? Tampaknya ada perbedaan pada masing-masing negara.

    Satu hal yang pasti, adalah bahwa puritanisme dipengaruhi oleh ideologi salafi dan berada dalam lingkaran antara reformis dan ekstrim. Sehingga, ada gerakan yang konsentrasi pada pembaharuan agama dan ada yang terlibat pada pandangan ekstrimisme agama. Untuk beberapa kasus terkadang mencakup keduanya, reformisme sekaligus ekstrimisme.

    Transmisi cara berpikir teologi Hanabilah inilah terjadi hingga dikemudian hari diwarisi oleh Ibn Taymiyah (661 H-728 H/1263 M-1328 M), dan dipopulerkan kembali dan diperbaharui oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab (abad 18 M) atau yang dikenal dengan ideologi wahhabi. Sehingga sebagian dari teologis ini menjadi dasar bagi para pelaku teror dan takfiri (pengafiran), dan tadhlil (penyesatan) bagi orang yang tidak sependapat dengannya.

    Trauma ini menjadi ideologi yang merambah segala aspek kehidupan umat Islam, baik keilmuan seperti teologi, fikih, filsafat, bahkan bahasa maupun sosial, budaya dan politik. Dari sekian banyak pengaruh ideologi puritan ini, masalah terorisme dan radikalisme adalah yang paling banyak mendapat perhatian. Karena pelaku teror tidak hanya membahayakan perkembangan peradaban tapi juga dapat mematik perang dan mengancam kemanusiaan. Wallahu A’lam.

    *Penulis adalah Intelektual Muda Persatuan Tarbiyah Islamiyah

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here