More

    Bias Overconfidence Martin Suryajaya, Perihal “Menerjemahkan” Puisi ke dalam Kalkulus Predikat

    Sebagai penutup esai ini saya “terjemahkan” dua interpretasi semantik terhadap dua baris terakhir puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” karya GM. Seperti saya jelaskan di atas, dua interpretasi semantik di bawah ini akan menghasilkan dua proposisi kalkulus predikat yang berbeda. Dan, sebagai konsekuensi logisnya, pembuktian kebenaran kedua proposisi itu juga akan berbeda.

    Larik Puisi:

    “Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
    mengekalkan yang esok mungkin tak ada.”

    - Advertisement -

    Bila:
    x = pohon
    y = dingin di luar jendela
    z = hal yang mungkin tak ada
    ∃ = kuantor eksistensial
    ∀ = kuantor universal
    Λ = konjugasi (dan)

    Maka:
    p(x, y) = x berbagi y
    q(x, z) = x mengekalkan z

    A. Analisis Semantik (Interpretasi 1):

    Semua pohon berbagi setiap dingin di luar jendela dan semua pohon mengekalkan hal yang esok mungkin tak ada.

    Jadi, proposisi kalkulus predikat orde pertama terhadap interpretasi 1 adalah: ∀(x) ∀(y) ∃(z) [(p(x,y) Λ q(x, z)]

    B. Analisis Semantik (Interpretasi 2):

    Beberapa pohon berbagi dingin di luar jendela dan beberapa pohon mengekalkan hal yang esok mungkin tak ada.

    Jadi, proposisi kalkulus predikat orde pertama terhadap interpretasi 2 adalah: ∃(x) ∃(y) ∃(z) [(p(x,y) Λ q(x, z)]

    Saya bisa menerjemahkan seluruh puisi GM di atas ke dalam propsosisi kalkulus predikat orde pertama. Namun, kemudian, pertanyaan pentingnya adalah: “Untuk apa?” Kebenaran apa yang mau saya buktikan dengan mengubah sebuah puisi imajis menjadi bahasa kalkulus predikat orde pertama? Apakah saya mau membuat sebuah program komputer yang bisa menulis puisi seperti seorang penyair? Saya sudah membuktikan dalam satu catatan saya tahun lalu di Facebook bahwa komputer tak akan pernah mampu membuat sebuah puisi modern atau kontemporer bila sistem logika dan epistemologi dalam teknologi kecerdasan buatan masih mengandalkan pada kriteria kebenaran tautologi monistik, serta menafikan hipotesis bahwa paradoks atau kontradiksi mungkin merupakan asas berpikir yang lebih tinggi daripada tautologi monistik.

    Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk berpaling atau mencari alternatif teori logika yang lain, seperti logika parakonsisten atau hipotesis logika presensionis. Sebuah teori sains dan atau filsafat selalu bisa difalsifikasi, dan oleh karenanya, menurut Karl Raimund Popper, sains dan filsafat akan selalu dinamis. Demikian pula, rasa saya, perihal seni:

    DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI

    Karya Goenawan Mohamad

    Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
    Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
    Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
    Kudengar angin mendesak ke arah kita

    Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
    Di luar detik dan kereta telah berangkat
    Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
    Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

    Aku pun tahu: sepi kita semula
    bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
    Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
    mengekalkan yang esok mungkin tak ada

    1966

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here