More

    Jihad Global Nir-Kekerasan

    Penulis : Naldo Helmys*

    Ilustrasi / Sumber : BBC

    Cian O’Driscoll, pemerhati kajian teori perang yang sah (just war theory) cukup kaget dengan disertasi master saya. Pasalnya, saya menawarkan celah untuk melihat relasi agama dan kekerasan dengan cara sedikit berbeda, melihat jihad sebagai upaya perbaikan kemanusiaan dengan cara nir-kekerasan.

    Keterkejutan itu beralasan, dan mungkin sebagai akademisi non-religius dia tidak sendirian. Bukan rahasia umum tentunya, bahwa jihad dipandang bersinonim dengan perang. Bahkan dalam kajian hubungan internasional, isu jihad masih berkutat pada teori perang yang sah atau organisasi bersenjata Islamis seperti al-Qaeda dan ISIS. Liputan media masyarakat barat turut membentuk narasi bahwa ideologi jihad tak lebih dari terorisme.

    - Advertisement -

    Akibatnya, batasan antara kelompok mujahid dan organisasi teroris menjadi buram. Di tengah masyarakat Muslim, hal ini bisa menimbulkan perdebatan, dan buruknya, kesalahpahaman. Sebagai pertimbangan pedoman, masyarakat dapat merujuk kepada Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 Tahun 2004 tentang Terorisme yang telah mengharamkan terorisme dan bom bunuh diri.

    Namun, menarik garis dikotomi kontradiktif antara jihad dan terorisme saja belum cukup. Jihad perlu dibongkar di luar konteks perang, agar nilai-nilai universalnya dapat diperas. Perlu dilakukan suatu telaah untuk memahami jihad dalam kondisi dunia di mana sejarah telah mencatatkan dua perang paling mengerikan dalam peradaban. Tentu, tebasan pedang dapat melumpuhkan individu musuh yang jelas, seperti dalam perang yang dilakoni oleh Nabi Muhammad pada masanya. Namun, ketika ledakan bom atau satu serangan rudal menghantam kota, prinsip diskriminatif dalam perihal yang disahkan dalam perang (jus in bello) menjadi tidak tercapai.

    Prinsip itu mengatakan bahwa tata cara perang baru bisa dikatakan sah atau adil ketika akibat-akibat kehilangan nyawa dalam pertempuran dapat membedakan mana yang kombatan dan sipil. Dalam konteks agama, perang disebut sah apabila sudah jelas batas keimanan dan kekafiran. Dalam serangan terorisme, prinsip ini tidak terpenuhi karena sampai saat ini belum ada ledakan bom yang bisa menyeleksi korbannya.

    Lantas, apa itu jihad nir-kekerasan? Batas antara kekerasan dan nir-kekerasan berada pada penghilangan nyawa yang dari aturan agama maupun negara tidak sah untuk dihilangkan. Nir-kekerasan artinya bersinergi dengan nilai-nilai kemanusiaan profan dan religius. Prinsipnya sejalan dengan pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, bahwa setiap orang pada dasarnya berhak untuk hidup. Ia sekata pula dengan prinsip kemanusiaan religius bahwa membunuh satu nyawa tak bersalah setara dengan mematikan seluruh kehidupan (Qur’an, 05:32).

    Mengapa Nabi berperang?

    Sebuah konten YouTube lawas merekam bagaimana pelaku Bom Bali 2002 berujar bahwa tindakannya sah. Omong kosong itu dibumbui dengan fakta sejarah bahwa Nabi sering berperang. Catatan sejarah itu tidak bisa dibantah. Namun, teroris tersebut salah kaprah soal bagaimana dan mengapa Nabi berperang. Alih-alih mematikan kehidupan seperti yang sekarang mungkin diidamkan oleh para pelaku teror di luar sana, jihad perang Nabi Muhammad dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan kehidupan. Bahkan, makna fundamental jihad dapat dilakukan dengan nir-kekerasan. Untuk memperoleh gambaran itu, ada dua hal yang perlu ditinjau.

    Pertama, Qur’an sebagai landasan perintah berjihad tidak bisa dipandang setengah-setengah. Berani betul manusia untuk mencomot satu ayat, lalu mengabaikan yang lainnya. Demi tujuan politis pula. Mengganti landasan negara jelas tujuan duniawi. Terus belajar tentang Qur’an memang mulia. Akan lebih bermanfaat lagi jika firman dipelajari guna menciptakan kehidupan yang selaras dunia akhirat, seimbang habluminallah dan habluminannas, dalam konteks peradaban manusia saat ini. Ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi, hal itu semestinya lebih mudah dilakukan, karena proses dialog, konfirmasi, dan validasi akan lebih terjangkau. Tafsir kebencian yang dikerahkan untuk tujuan politik, sepatutnya dapat dengan mudah ditepis dengan mendialogkan Qur’an, baik berbasis akal, dalil, maupun qalbu.

    Abdullah Saeed dalam Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (2014) merumuskan ada lima nilai ayat Qur’an. Kelimanya bisa digunakan untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang jihad. Nilai-nilai itu bersifat hirarki, yang artinya, yang dahulu lebih diutamakan. Paling atas adalah nilai wajib. Keimanan dan hal paling mendasar dalam agama di sini tempatnya. Ia bersifat intim dengan diri sendiri. Sebuah ayat jihad menggambarkan esensi nilai ini: berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an (Qur’an, 25:52). Menariknya, ayat ini turun di Mekah, ketika Nabi belum mendeklarasikan satu perang pun. Ayat itu dapat dipahami bahwa berjihad yang utama adalah bersungguh-sungguh agar Qur’an meresap dalam denyut kehidupan manusia.

    Apabila hal itu sudah tertanam dalam kehidupan, maka sepatutnya, empat nilai-nilai lain tidak mengalahkan nilai wajib. Berturut-turut adalah nilai fundamental, proteksi, implementasi, dan instruksi. Nilai fundamental dan proteksi sangat menarik. Keduanya sejalan. Nilai fundamental adalah nilai-nilai kemanusiaan. Ia universal, dan nilai proteksi dimaksudkan bahwa agama mampu memberikan perlindungan terhadapnya. Agama harus mampu menjamin hak manusia untuk hidup.

    Namun, persoalannya, nilai implementasi dan instruksi sering dikerahkan dengan keliru. Ayat jihad perang seperti memerangi orang kafir di manapun mereka berada (Qur’an, 09:05), lebih tepat diperlakukan sebagai implementasi dan instruksi. Namun, ayat itu sering dinarasikan sebagai hal wajib dan fundamental. Ayat itu berada dalam konteks perang yang sah. Ia bersifat permisif dalam batasan, karena saat itu perang antara orang beriman dan kafir terjadi pada bulan-bulan Haram, yang tidak diperkenankan untuk konflik bersenjata. Aturan bulan Haram ini adalah bagian dari kultur masyarakat Arab saat itu. Beda kultur, beda zaman, tentu akan membuat praktik ayat tersebut dapat berbeda pula. Kelirunya, pandangan yang radikal memukul rata ayat ini untuk mengesahkan tujuan duniawi mereka di luar konteks.

    Kedua, selain berefleksi dengan Qur’an, sejarah hidup Nabi Muhammad harus dilihat utuh tidak merdeka dari kondisi sosial-politik saat itu. Nabi adalah negarawan, sekaligus budayawan. Dia paham mengomandoi kesatuan politik di Madinah, sekaligus cakap dalam tradisi orang-orang Arab. Dia tahu kapan harus berdamai dan kapan senjata harus diangkat. Pun begitu, pola dakwahnya terkadang sering disalah artikan.

    Kita semua tahu, bahwa mula-mula Nabi berdakwah di bawah tanah. Dari rumah ke rumah. Perlahan merekrut orang-orang terpercaya dan berpengaruh. Lalu datang perintah untuk mensyiarkan agama secara terbuka. Di sini tantangan lebih berat. Kafir Quraysh tidak mengenal adanya toleransi beragama. Persekusi sering dialami. Bahkan tidak jarang Nabi terancam nyawa. Siapa yang ketahuan pindah agama memeluk agama Tuhan, akan disiksa. Itu yang terjadi. Hingga pada titik yang tidak bisa ditanggung, orang beriman harus hijrah ke Madinah. Banyak penulis orientalis menuduh bahwa Nabi takut dengan keselamat dirinya. Itu keliru. Lebih tepatnya, Nabi berusaha untuk menjadikan agama sebagai penjamin keberlangsungan kehidupan. Dua pandangan itu mirip tapi jauh berbeda.

    Di Madinah, barulah Nabi terlibat pertempuran. Namun, bukan berarti itu tidak beralasan. Dalam konteks sosial-politik, itu dimaklumi. Orang beriman berada pada kultur perang sedari awal. Status quo saat itu adalah bahwa kabilah-kabilah tidak berada di bawah satu payung hukum dan kesatuan politik. Mereka berada dalam kondisi anarki. Justru berdamai saat itu bukan kondisi yang lazim. Kondisi itu jauh berbeda dengan zaman sekarang, yang mana walaupun dunia ini cukup berantakan, tapi ada nilai, aturan, dan norma dalam masyarakat internasional yang lebih mengedepankan dialog, mediasi, dan cara-cara non-kekerasan.

    Jihad Zaman Sekarang

    Sejarah Nabi terus direproduksi dan barangkali dihafal banyak orang. Namun sayangnya, pola kenabian itu sering gagal dipahami. Nabi berdakwah bergeser dari damai ke perang. Bukan berarti itu adalah anjuran untuk mengobarkan perang, ketika cara-cara damai bisa ditempuh. Justru, apabila membaca kondisi saat ini, ketika pemahaman Qur’an dapat disebarkan dengan lebih efisien dilakukan dengan non-kekerasan, maka legitimasi untuk mengangkat senjata seharusnya semakin jauh. Kalau bisa hilang sama sekali, jika memungkinkan. Betul, bahwa di sana-sini diskriminasi terhadap Muslim tetap berlanjut. Islamofobia tetap ada. Tapi yang perlu juga dilihat, penghargaan masyarakat terhadap kehidupan beragama tetap terawat. Dengan begitu, jihad semakin menunjukan ciri khasnya sebagai perjuangan nir-kekerasan. Bukankah jihad yang lebih besar adalah mengalahkan ego di dalam diri kita sendiri?

    Lantas, dalam konteks global, bagaimana nilai-nilai jihad non-kekerasan dapat direalisasikan? Paling tidak, ada tiga cara yang bisa dilirik. Pertama, berjuang agar masyarakat dunia, termasuk negara, semakin menyadari pentingnya hak asasi manusia untuk hidup. Dalam hal ini, hak asasi manusia yang telah disepakati masyarakat internasional dapat ditiupkan nafas religius. Sebab, agama itu sendiri ditujukan sebagai pelindung kemanusiaan.

    Kedua, bersinergi untuk mewujudkan tata kelola global yang senafas dengan religiusitas. Hal ini kontras dengan cita-cita sebagian kelompok jihadis. Ketimbang mewujudkan pemerintahan Islam (Islamic government), jihad lebih ditujukan untuk tata kelola Islam (Islamic governance). Dalam yang terakhir ini, nilai-nilai Islam tidak hanya efisien, tetapi juga akan mampu bersinergi dengan milyaran penghuni bumi lainnya yang bukan Muslim.

    Ketiga, jihad untuk masa sekarang dapat diwujudkan dengan mengupayakan resolusi konflik. Tidak bisa dipungkiri, dunia hari ini dibentuk oleh konflik, terutama perang sipil di berbagai tempat. Beruntung, nafas politik luar negeri Indonesia yang dihayati dengan Pancasila adalah bebas aktif. Artinya, dalam konflik bersenjata manapun, prioritas kita bukanlah mendukung salah satu kekuatan, lalu menjatuhkan yang lain. Lebih tinggi dari itu, politik luar negeri kita adalah jalan tengah dan mediasi. Putra-putri terbaik bangsa dapat dikerahkan untuk menjadi yang terdepan dalam resolusi konflik demi merawat kehidupan umat manusia.

    *Penulis adalah alumni Master of Science University of Glasgow, UK dan anggota komunitas Geostrategy Study Club

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here