Oleh : Muhamad Seftia Permana (VJAY)
“Standarisasi kemegahan alam raya, hanya terbatas pada samudera, awan, pemandangan indah, dan fenomena sosial?”
Fenomena pengkultusan satu tempat yang sudah mempengaruhi kesadaran publik bisa mempengaruhi alam bawah sadar bahwa tidak ada tempat lain yang “indah” selain dari tempat yang dikultuskan itu. Ada yang salah? Selama standar baku itu hanya dari perasaan masing-masing, tentu penilaian estetika kepada suatu hal menjadi hak prerogatif seseorang.
Namun, apakah kita hanya akan berdiam diri pada satu sudut pandang saja? Disini lah kita memiliki sudut pandang yang lain. Ketika fenomena Ranu Kumbolo (Rakum) sudah menjalar ke dalam benak para pelaku, pehobi kegiatan alam terbuka, bahwa Rakum sebagai sang maha dari segala danau atau situ. Pengembangan wawasan seperti ini merupakan jawaban bahwa kita tidak bisa berdiam diri di satu sudut dengan hanya menjadikan Film 5cm sebagai Barometer sebuah kemegahan. Tidak hanya terbatas pada “standarisasi keindahan” apa yang dipandang masing-masing orang, namun juga segala apa yang terangkum di dalamnya.
Terutama untuk sikap yang bersifat konservatif. Seiring waktu, perkembangan kegiatan di alam terbuka semakin marak. Apakah perkembangan ini dibarengi dengan wawasan dan kesadaran hubungan manusia dan alam seperti Mengetahui status kawasan yang akan dikunjungi? Diperlukan dasar-dasar penjelajahan, keamanan dan keselamatan, dan hal lainnya yang seharusnya dipersiapkan sematang mungkin.
Seperti contoh, misalnya mengetahui status sebuah kawasan. Pembagian kawasan konservasi di Indonesia sendiri sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya terdapat lima kawasan dengan regulasinya masing-masing. Ada Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, dan Cagar Alam. Dan semua kawasan tersebut, memiliki fungsi dan aturannya sendiri. Karena sejatinya, tidak semua yang berbau alam terbuka bisa kita jamah dan jejaki secara sembarangan. Untuk apa aturan tersebut dibuat? Tentu, untuk kelestarian alam raya. Bila hutan dan gunung sudah rusak, bagaimana nasib bumi dan manusia itu sendiri sebagai bagian dari penghuninya?
Seperti yang sudah dituliskan bahwa sekurang-kurangnya terdapat lima pembagian kawasan konservasi. Di antara semua kawasan konservasi, terdapat satu kawasan yang ‘dikeramatkan’ yang dimana peraturan tidak memperbolehkan adanya intervensi dari manusia kepada kawasan tersebut, yaitu kawasan cagar alam.
Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”), disebutkan bahwa cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Lalu dalam Pasal 17 ayat (1) UU 5/1990, dikatakan bahwa di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
Tentang pemanfaatan cagar alam juga diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (“PP 28/2011”), yaitu cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
- penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
- pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
- penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
- pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Dari penjelasan di atas, sudah jelas bahwa tidak ada alasan yang memperbolehkan siapapun untuk melakukan wisata ke daerah Cagar Alam. Bagaimana dengan kawasan lain? Berbeda dengan Cagar Alam, keempat kawasan lainnya, diperbolehkan untuk dikunjungi untuk wisata. Namun, tentunya semua kawasan mempunyai aturan sendiri untuk pencapaian tujuan dari kawasan itu sendiri.
Wawasan dan atau pengetahuan yang mendasar seperti ini yang perlu terus disosialisasikan kepada siapapun yang hobi dan kerap beraktifitas di alam terbuka. Selain itu juga, persiapan mendasar tentang keselamatan keamanan pun jangan sampai ketinggalan untuk diutamakan.
IUCN dan Balai Besar KSDA
Jauh sebelum hari ini, konservasi menjadi hal istimewa bagi manusia, bukan hanya Indonesia, tapi juga menjadi perhatian mata Internasional. IUCN, International Union for Conservation of Nature, lahir sebagai kegelisahan bersama atas kesadaran bahwa Sumber Daya Alam sangatlah penting untuk keberlangsungan alam raya ini. Bukan hanya manusia, namun juga tumbuhan dan hewan.
Di dalam Website IUCN terdapat berbagai informasi tentang lingkungan di seluruh dunia, termasuk data kawasan konservasi di Indonesia yang bisa diakses publik.
Di Indonesia sendiri, salah satu pemegang otoritas pelaksana teknis konservasi sumber daya alam adalah Balai Besar KSDA yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (UPT Ditjen KSDAE).
Terlalu naif rasanya jika menerjemahkan Teks atau isi Undang-undang Pasal 33 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, hanya sebatas memanfaatkan dengan cara membabat habis-habisan dengan dalih kebenaran yang dihasilkan dari beberapa kedip mata penguasa dan pengusaha.
Adakah arti kemakmuran rakyat hanya berarti urusan perut di hari ini saja? Membiarkan apa yang seharusnya dibiarkan untuk keberlangsungan alam raya ini, adalah sebenar-benarnya kemakmuran rakyat. Tanpa udara dan air di hari esok, bisakah rakyat merasa makmur?
Berkaca pada kondisi hari ini, beberapa kawasan yang memiliki level paling sakral dibiarkan begitu saja untuk memenuhi hasrat segelintir orang, entah hanya sekadar menyalurkan hobi atau bahkan yang lebih parah untuk kepentingan korporasi.
Sangat mudah jika berteriak ini salah siapa. Namun, ada yang lebih penting dari sekadar mencaci. Membenahi diri sendiri untuk tidak memperparah kerusakan, atau bila mampu, mari benahi lubang yang dijumpai.
Negara seharusnya hadir untuk kebutuhan negara itu sendiri, bukan hanya keinginan untuk kepentingan segelintir golongan. Lembaga dan instansi pemerintah, contohnya, kementerian, dinas atau instansi pemerintah lainnya, Idealnya berpihak kepada apa yang mereka tangani, yang menjadi tanggung jawabnya itu sendiri. Bagaimana berpikir dan mengelola untuk terus meningkatkan kapasitas serta mengeluarkan kebijakan yang benar-benar bijak.
Termasuk, yang menangani persoalan lingkungan, contohnya, BBKSDA. Mereka berpihak kepada Cagar Alam dan kawasan lain yang mereka tangani. Bagaimana caranya? Ah, Caranya tentu mereka pun tahu bagaimana dan seperti apa. Dengan duduknya mereka di instansi tersebut, adalah keterpilihan karena kapasitas mereka mumpuni untuk itu.
Publik berhak atas informasi yang seharusnya menjadi konsumsi publik, termasuk apa dan bagaimana BBKSDA. Bagi yang sudah tahu dan sering bersentuhan langsung dengan BBKSDA, apakah sudah tahu ruang lingkup BBKSDA, dalam hal ini kawasan yang mereka tangani? Belum lagi, apa saja dinamika yang terjadi di lapangan yang menjadi wilayah kerja BBKSDA. Belum lagi, BLA BLA BLA BLA. Apakah setiap kita ingin tahu apa itu BBKSDA, harus selalu datang dengan birokrasi yang ‘dipersulit’, seperti misalnya membuat surat resmi kepada BBKSDA untuk hanya sekadar mengakses informasi yang seharusnya itu adalah hak publik?
Contohnya, misalnya, bagaimana orang bisa tahu kawasan cagar alam tanpa sosialisasi apa itu cagar alam dan daerah mana saja yang menjadi batas cagar alam? Atau misalnya apa yang terjadi di kawasan kerja BBKSDA? Atau misalnya ada kegiatan apa? Atau contoh lain yang tentunya itu adalah hak publik atas informasi publik. “Kan ada data dari IUCN? “ Ya, memang. Namun, kita juga mesti melakukan validasi secara akurat. Mengapa demikian? Yang bersentuhan langsung dengan kawasan konservasi di Indonesia adalah BBKSDA. Bisa saja suatu saat terdapat perubahan atas dinamika di lapangan yang kita tak pernah tahu itu.
Membangun Bangsa tidak harus duduk di Istana. Dengan langkah-langkah konservatif pun, adalah bagian daripadanya. Minimalnya dengan tidak mengusik dan masuk kawasan cagar alam misalnya. Bagaimana kita bisa tidak memasuki kawasan cagar alam, kalau kawasan cagar alamnya saja kita tidak tahu batasnya berada di mana.
Kebutuhan Feed Media Sosial?
Segala hal yang diciptakan Tuhan di bumi ini tidak ada yang sia-sia, termasuk anugerah alam (gunung, hutan dan laut) yang melimpah di negeri ini. Kendati demikian, bukan berarti kita meyakinkan diri sendiri untuk bisa sesuka hati mengakses seluruhnya. Bukan perkara mampu atau tidak, bukan perkara punya biaya atau tidak, serta bukan tentang hebat atau tidak. Tapi, ini tentang hak dan kewajiban manusia untuk menghargai hak dan kewajiban manusia itu sendiri.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.Ali Imraan (3):190-191)
Seiring waktu berjalan, teknologi berkembang begitu pesat dan membuat manusia semakin mudah mengakses informasi, termasuk informasi dari media massa.
Peran serta media massa dalam perkembangan kehidupan manusia sangatlah penting, sampai-sampai, ia (media massa) bisa mempengaruhi sebuah budaya yang hadir di masyarakat. Loh, bagaimana mungkin media massa sampai berdampak pada budaya? Sangat mungkin! Semua berawal dari gaya hidup yang merupakan ekspresi yang teraktualisasikan melalui aktivitas dan pemikiran.
Saat sebuah media massa memberi informasi yang dikemas ‘apik’ dan ditujukan bahwa apa yang disampaikan adalah sesuatu yang bernilai tinggi, secara perlahan, saat itulah manusia menerima dan mendoktrin dirinya sendiri untuk mempercayai apa yang diterimanya. Perilaku hidup glamor, sederhana, dan sebagainya. Apakah hanya dari media massa atau hanya dari apa yang seseorang itu tangkap? Tentu tidak, ada faktor dari luar yang juga menjadi pengaruh untuk seseorang bersikap, seperti lingkungan dan pergaulan.
Fenomena ‘selfie’ dan berfoto setiap aktivitas manusia itu sendiri pun sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita. Bagaimana seseorang ingin terlihat bahwa ia adalah tingkatan atau kelompok dari kelas masyarakat A atau B atau C. Salah satunya adalah berfoto dengan latar alam terbuka seperti hutan, gunung dan laut. Namun, budaya berfoto dengan latar alam terbuka dan mengunggahnya di media sosial ini, apakah sudah dipikirkan dengan matang? Bagaimana dampak yang akan timbul? Lalu, apakah kita menempuh perjalanan itu sudah dengan cara yang bijak, misalnya tidak menyalahi apa yang seharusnya tidak dilakukan? Misalnya, kita ambil contoh dari sisi status kawasan? Apakah kawasan tersebut memang memperbolehkan siapapun untuk menjamahnya?
Fenomena pengkultusan terhadap suatu tempat yang dikategorikan sebagai tempat yang menjadi primadona para petualang. Namun ini telah memunculkan permasalahan baru dengan tidak tertanamnya wawasan dan pengetahuan dasar petualangan di alam terbuka. Fenomena ini telah membentuk karakter baru petualangan yang menjadikan unggahan foto di media sosial menjadi orientasi utama petualangan itu sendiri. Contohnya, saat ini, dengan kemudahan akses informasi siapapun bisa mendaki gunung tanpa mengharuskan seseorang untuk terlebih dahulu menjalani pendidikan dan latihan di sebuah organisasi. Dengan bermodalkan ongkos dan kemauan, sangat mudah bagi seseorang untuk berangkat mendaki. Sudah bisa kita bayangkan risiko yang menghantui jika ‘petualangan’ dilakukan tanpa memiliki ilmu bagaimana seseorang seharusnya berprilaku dan bersikap di alam terbuka.
Apa permasalahan hanya sampai di situ? Ternyata, tidak. Kalaupun seseorang telah berhasil kembali pulang dengan selamat atas petualangan yang tanpa dibekali ilmu itu, atas dasar tuntutan eksistensi atas dasar pencapaian hasrat untuk eksis di media sosial dan menunjukkan dirinya ‘mampu’, kemudian foto pencapaiannya tersebut diumbar di media sosial, dan hasilnya? Tentu akan mengundang yang lain untuk turut mengikuti jejaknya, mencapai ‘keindahan’.
Kemegahan; Sejarah, Lanskap, Budaya.
Jika melintas di daerah Jatinangor atau Rancaekek, Gunung ini akan menjadi salah satu sosok yang menyapa kita. Berdiri kokoh di pinggiran jalur luar kota dengan kisah yang tersimpan di dalamnya. Meski Rancaekek merupakan kawasan Kabupaten Bandung, namun, perlu kita ketahui bahwa gunung ini secara administrasi adalah bagian dari wilayah Sumedang yang di mana jalan raya yang membentang sepanjang jalur Cileunyi-Cicalengka menjadi batasnya.
Di peta dan penamaan masyarakat, Gunung ini disebut Gunung Geulis dan tanah tertingginya terletak pada 1231 meter di atas permukaan laut (tertera di papan nama)/1268 meter di atas permukaan laut (pembacaan peta digital). Perbedaan (angka yang kecil) ini sangat wajar, kemungkinan dikarenakan kalibrasi alat ukur yang tidak sama.
Hari Minggu, di awal 2018, memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Gunung ini dalam Agenda ‘tektok’ Komunitas Jelajah Gunung Bandung. Agenda ini, tidak hanya mengajak kita untuk sekadar berkeringat, namun juga membuat kita kagum kepada Gunung secara umum. Betapa tidak, persis di tanah tertingginya itu terdapat tiga makam yang letaknya berdekatan. Di luar sisi penilaian kita terhadap makam tersebut–entah itu negatif maupun positif–hal ini menambah keyakinan kita, bahwa selain memang tidak terlepas dari manusia sebagai salah satu sumber kehidupan (di luar hal yang bersifat komersil dan urusan perut), gunung pun menjadi sosok yang sangat dekat dan akrab dengan manusia.
Menurut penuturan warga yang tinggal di salah satu sisi kaki gunung ini, bahwa Gunung Geulis ini kerap dikunjungi oleh para ‘Peziarah’. Saya percaya karena memang saya melihat sendiri saat berada di atas, terdapat rombongan yang datang khusus untuk berziarah. Masih menurut sumber yang sama, warga setempat, bahwa tiga makam itu adalah lokasi bersemayamnya Suami Istri yang bernama Gagang Tanuran – Hj. Nur Cahaya dan ‘Pengangonnya’. Konon, Suami Istri tersebut adalah orang ‘sakti’ pemberi ‘ilapat’. Gunung dan makam itu, dijaga oleh seorang ‘Kuncen’ perempuan yang sudah sepuh.
Kiranya, hal ini bisa menjadi jawaban atas permasalahan yang belakangan ini menjadi momok menakutkan tentang nasib kesehatan alam raya di kemudian hari.
Tidak hanya terbatas pada “standarisasi keindahan” apa yang dipandang masing-masing orang, namun juga segala apa yang terangkum di dalamnya. Sejarah, asal-usul, cerita rakyat, mitos, legenda, dan segala sesuatu yang tergabung dalam Balutan “Sejarah, Lansekap, dan Budaya”.
Pendekatan di sisi lain, bisa menjadi kemegahan yang begitu luar biasa dengan khasnya sendiri–Sejarah, Lanskap, Budaya.
Tidak ada yang sia-sia bukan berarti bisa kita ‘perkosa’ sesuka hati. Konteksnya adalah dalam hal guna dan fungsi sesuatu yang tidak boleh kita jamah. Mengapa tidak diperkenankan untuk dijamah manusia? Manusia dan alam tidak bisa dipisahkan. Manusia sangat bergantung pada alam, dan tentunya kehidupan alam raya ini tergantung dari sikap manusia itu sendiri. Kalau sudah rusak, apakah alam bisa memperbaiki dirinya sendiri, terlebih dalam waktu singkat? Itulah arti dari tidak sia-sia yang lebih tinggi.
Jika kita bisa menghargai sesuatu hal yang lebih tinggi, kenapa kita harus merendahkan diri kita sendiri?[]
*Muhamad Seftia Permana biasa dipanggil Vjay. Aktifitas sehari-hari bekerja menjadi penjaga kios di salah satu Pasar Kota Bandung.
Hade barang