More

    Peran Strategis Kimia Arkeologi Forensik Untuk Pengembangan Kepribadian Kebudayaan di Kalimantan Selatan

    Oleh: Dr. Tanto Budi Susilo, Ketua Perkumpulan Himpunan Kimia Indonesia, Kalimantan Selatan

    Sungai Barito Era Lama

    (Komposer: Tanto B. Susilo)

    - Advertisement -

    Sungai Barito dan Bengawan Solo

    Bergandeng tangan sampai Laut Natuna

    Berpisah tenggelam di Laut Jawa

    Karena banjir laut di era lama

    Ilustrasi Sungai Barito. Sumber : Tropenmuseum

    Sungai Barito rumah Austronesia

    Bangsa yang agung di Nusantara

    Di sanalah pula ibu bumi kita

    Ubi, talas, sagu, pangannya

    Austronesia pemilik perahu tua

    Berlayar dari Nusantara ke Benua Afrika

    Dari Papua ke Hawai’i berdiaspora

    Kerbau, unggas, sapi, hewan ternaknya

    Reff:

    Sungai-sungai…..tamansari rumah kita

    Nusantara……rumah ibu kita semua

    Sungai-sungai….beranda depan rumah kita

    Nusantara…..tanah airnya kita semua

    Indonesia rumah bagi anak bangsa

    Indonesia rumah bagi kita semua

    Bandung, 11 Juni 2018

    Ijinkanlah saya, dengan segala kerendahan hati saya, menyampaikan ceramah kepribadian kebudayaan yang berbasis data arkeologis atau karya manusia yang sifatnya bendawi (artefak) dan sifatnya non bendawi (bahasa). Dan satu bagian kepribadian kebudayaan yang berbasis genetika yang sifatnya non arkeologis. Serta satu kasus temuan arkeologis pada sebagian kecil temuan di situs Bukit Bangkai dan Situ Sepanjang Sungai Barito, Kalimantan Selatan, yang telah kami teliti hampir satu decade terakhir ini.

    Temuan (discovery) arkeologis menjadi perhatian saya karena memiliki keunikan yang tinggi. Kata orang bijak, “kalau tidak bisa menjadi nomer satu, jadilah menjadi yang unik, niscaya anda dikenang sepanjang masa”. Dan karena arkeologi yang dielaborasi forensik dan kimia merupakan ilmu pengetahuan untuk menerangi peristiwa yang ada di masa lalu kita, untuk memperjelas kejadian masa lalu kita, untuk mengetahui (pra)sejarah kita sendiri, saya ulang pendek kata untuk meneguhkan identitas kita sendiri, dengan bahasa lain untuk mengetahui kepribadian kebudayaan kita sendiri.

    Revolusi Industri 4.0 : Era Keterbukaan Identitas

    Pada era revolusi industri 4.0 sekarang ini, yang dicirikan dengan integrasi antara sektor industri yang sudah terotomatisasi dan megatrend yang berkembang pada aspek fisik, aspek digital dan aspek biologis. Pada aspek fisik, aspek digital dan aspek biologis yang terintegrasi ini dengan di-support oleh tekonologi komputasi yang dapat mengolah data besar (big data) seperti geneBank NCBI, DDBJ dan EMBL. Koleksi dan pengelolaan geneBank dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baru di bidang kebudayaan berbasis data kimia/biokimia, arkeologi dan forensik.

    Pada tulisan saya ini, membawa pembaca pada pemakaian data besar bukan hanya sekuen-sekuen nukleotida di geneBank tapi juga data arkeologi yang berbasis data spektroskopi (XRF, XRD dan FTIR) sebagai orientasi saja. Adapun yang berminat secara spesifik, detail dan saintifik, pembaca dapat mencari literatur jurnal yang berhubungan dengan arkeologi dan forensik yang dianalisis berupa molekul/biomolekul. Ya sebagai orientasi karena tulisan supaya bersifat lebih umum. Secara ringkas data besar ini untuk keperluan analisis sebaran data guna mengetahui asal usul bahan dan/atau asal usul sebaran genetika.

    Sebenarnya inti persoalannya adalah memperjelaskan who, what, where, when, why dan (5W) dan how (1H) setiap analisis pada temuan-temuan sample forensik atau artefak (ciptaan manusia) dan non artefak di situs arkeologis. Dengan kolaborasi data besar yang ada di geneBank (200 juta sekuen dan 370.000 spesies) dan data spekstroskopi2 maka pertanyaan saintifik 5w dan 1h pada tinggalan arkeologis atau forensik semakin mudah dan cepat terjawab.

    Selanjutnya 5 Wdan 1H adalah bagian identitas dari artefak dan identitas artefak merujuk pada aktivitas masyarakat era itu. Pada saat ini data terkait dengan arkeologi forensik yang terkumpul pada daerah situs, dinamai place evolution rock art heritage unit atau PERAHU yang diseponsori oleh Australia. Jadi revolusi industry 4.0 dengan data besar telah membuka identitas kepribadian individu  bangsa manusia, membuka indentitas bangsa-bangsa, identitas dulu dan sekarang.

     Identitas Sebagai Kepribadian Kebudayaan

    Kembali ke pokok utama pembicaraan, masih dalam ingatan saya, bahwa ketiganya, genetika atau bibit dalam bahasa jawa atau saliroh dalam bahasa arab, bahasa atau bebet dalam bahasa jawa dan siroh dalam bahasa arab dan artefak (karya budaya) atau bobot dalam bahasa jawa dan suroh dalam bahasa arab, ya ketiganya adalah bagian kepribadian peradaban individu manusia, sebagai kepribadian peradaban bangsa manusia atau peradaban bangsa-bangsa. Untuk itu menakar kepribadian adab manusia tidak lain dan tidak bukan melalui tiga hal. Takaran adab manusia tiga tadi, yaitu bagaimana genetika-bahasa-artefak(karya)nya…… bagaimana bibit-bobot-bebetnya….. bagaimana saliroh-surah-sirohnya.

    Dalam pandangan bangsa Barat,…. bangsa Arab dan….. bangsa Indonesia (Jawa dan Sunda) menakar perkawinan hendaknya ketiga unsur tadi. Ketiga unsur takaran tadi minimal telah diteliti oleh tiga kampiun ahli genetika-bahasa-artefak yaitu Oppenheimer-Blust-Bellwood3,4,5, yang berusaha menjelaskan peran masing-masing unsur dalam peradaban bangsa tadi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, ijinkanlah saya sebut saja secara ringkas genetika-artefak(karya)-bahasa sebagai s e g i t i g a i d e n t i t a s m a n u s i a (Si Manu).

    Tidak jarang manusia bertanya diantara dirinya pada masa lalu, sekarang dan depannya sebagai bagian identitas, bagian jati dirinya … bagaimana genetika-bahasaartefak(karya)nya …… bagaimana bibit-bobot-bebetnya ….. bagaimana saliroh-surahsirohnya itu bagian yang disakralkan dalam hidup manusia. Itulah pertanyaan sacral takala remaja laki mau melamar perempuan di masyarakat Indonesia, khususnya JawaSunda.

    Itu masalah yang krusial, yang penting dalam menjalani hidup sebagai orang tua untuk anaknya dan sebagai bangsa negara bagi anak negerinya. Sehingga Soekarno sendiri berpendapat bahwa sebaiknya d a s a r dan f a l s a f a h Negara didirikan atas dasar perasaan dan falsafah bawah sadar masyarakatnya, atas dasar kemauan kebudayaannya, atas dasar b i b i t – b o b o t – b e b e t n y a s e n d i r I bukan dari masyarakat bangsa lain, bukan masyarakat Eropa, bukan masyarakat China dan India, bukan juga atas masyarakat Arab, bukan sama sekali, tapi dari b i b i t – b o b o t – b e b e t masyarakat Indonesia s e n d i r i . Walaupun jasa bhakti sebagai bangsa tetangga dekat dan tetangga jauh itu banyak juga. Atau saya ringkas saja ….genetika diperoleh dari perkawinan orang tua…. artefak atau karya diperoleh dengan belajar-bekerja …dan…bahasa diperoleh dari orang tua asuh. Coba perhatikan genetika-artefak(karya)-bahasa adalah bagian identitas individu manusia, bagian identitas bangsa manusia atau lebih umum lagi …bagian identitas bangsa-bangsa.

    Sekali lagi saya sebut saja genetika-artefak-bahasa sebagai s e g i t i g a i d e n t i t a s m a n u s i a (Si Manu). Sebagai contoh terkait genetika, bahasa dan artefak (karya budaya). Pakistan barat dan timur pecah karena perbedaan bahasa. Sehingga Pakistan Timur adalah memisahkan diri jadi Bangladesh. Bangsa Arab pecah belah karena secara budaya terfragmentasi antara Arab Jazirah, Arab Afrika dan Arab Persia perbedaan budaya sebelum agama Islam yang rohmatan lil alamiin itu datang. Memang perpecahan tidak hanya bersumber pada unsur peradaban di atas, tapi minimal ketiga unsur itu memberikan asuhan, memberikan panduan atau memberikan pedoman, memberikan garis besar bahwa ketiganya bagian adab manusia, bagian adab bangsa manusia, bagian adab bangsa bangsa yang telah ada sebelum agama-agama itu datang di nusantara. Sebagai peradaban baru maka bersinergi dengan nilai peradaban lama sehingga secara umum bibit-bobot-bebet masyarakat akan muncul tengelam membentuk suatu e n t h r o p h i kebudayaan baru, membentuk t a t a n a n keseimbangan baru. Ini semua membawa kepada arah identitas kepribadian bangsa kita sendiri sekarang ini.

     Austronesia

    Dalam tiga dekade terakhir ini, perdebatan terkait peran genetika-bibit-saliroh, peran bahasa-bebet-siroh dan artefak-bobot-suroh telah digunakan sebagai pisau analisis untuk menenggok (pra)sejarah suatu bangsa, bangsa itu adalah bangsa A u st r o n e s i a , bangsa yang the great genetics (ethnic), the great artifact (culture), dan the great linguistics yang pernah ada di muka bumi, bangsa kepulauan di bumi bagian selatan. Yang oleh beberapa peneliti disebut sebagai kerajaan Atlantis yang melegenda itu. Oleh karena itu, ijikan saya mengangat permasalahan umum disini adalah …… Mengapa Austronesia menarik dibicarakan oleh banyak ahli dengan multi disiplin ilmu yang meliputi genetika, artefak atau karya manusia atau kebudayaan dan terakhir sebaran dan keanekaragaman bahasa….padahal melewati lorong waktu prasejarah umat manusia di Asia Pasifik…suatu kawasan yang mencangkup kurang lebih dua puluh negara kepulauan atau s e b a r a n n y a s e p a r u h b o l a b u m i pada masa 5000 tahun silam. Ini semua menjadi enigma atau pertanyaan besar yang tidak habisnya untuk dijawab dengajn tutur atau tulisan ilmiah sekalipun.

    Karenanya setiap individu manusia memeliki genetika, memiliki karya dan memiliki bahasa, dan setiap bangsa manusia atau bangsa bangsa memiliki karya budaya seberapa banyak kemiripan karya budaya atau artefaknya? Ini semua menjadi suatu pertanyaan yang tidaklah mudah menjawabnya karena perlu banyak bukti, mega evidence. Begitu juga, terkait bahasa. Setiap manusia yang lahir dimuka bumi memiliki bahasa dari ibunya, baik bahasa tutur atau tulis atau bahasa ibu yang mengasuhnya biasanya disebut bahasa daerah. Indonesia memiliki tidak kurang 718 bahasa daerah. Bahasa satu dengan yang lain punya kemiripan. Yang sering menjadi diskusi para ahli Austronesia seberapa jauh kompatibelitas bahasa ini dengan bahasa turunan Austronesia? Lagi lagi menjadi hal yang menarik dibicarakan karena juga Indonesia memiliki 80% warisan Austronesia, sehingga sebagai konsekuensinya menjadi tempat untuk bertanya sekaligus menjawab persoalan Austronesia itu, persoalan prasejarahnya duapuluhan Negara kepulauan Asia Pasifik. Itulah peran strategis Indonesia, peran penting Indonesia ditunggu tunggu oleh Asia Pasifik.

    Untuk itu maka akan saya nukilkan ringkasan masalahnya saja, bahwa genetika, bahasa dan artefak adalah masalah masyarakat manusia, masalah akar oyotnya masyarakat manusia, sejak manusia ada. Sejak itulah tiga unsur peradaban dan kebudayaan terbawa dalam laku dan dinamikanya perkembangan masyarakat manusia.

    Saya akhiri saja diskusi ini dengan ungkapan, pentingnya menghargai peradaban dan kebudayaan, seperti ini bahwa p e r (a d a b) a n dan k e (b u d a y a) a n  itu adalah selalu hidup bersama dalam h a t i dan p e r a s a a n masyarakatnya demikian kata Mahatma Gandi. Ijinkanlah, saya tambahi saja per(adab)an dan ke(budaya)an itu ada sejak manusia itu ada, menyatu dengan diri manusia, jejak-jejaknya tergurat-gurat di genetika, di bahasa dan di artefak, sejak manusia ada di muka bumi ini, termasuk per(adab)an dan ke(budaya)an Austronesia, ya A u s t r o n e s i a.

     Melanisia

    Setelah H. erectus (2 juta-150 tahun lalu) menjelajah bumi sampai Jawa, dan Nusantara gelombang berikutnya imigran primitif H. Sapiens (150.000-30.000 tahun lalu) sampai Nusantara kedatangan dua gelombang migrasi juga table 1.

    Sebagaian besar para ahli bersepakat masalah siapa manusia penghuni Nusantara yang pertama kali yaitu Melanisia (melan artinya hitam dan nesos artinya kepulauan), yang sampai hari ini kita jumpai seperti suku terasing di bagian tengah Pulau Papua, Kalimantan Pedalaman, Sulawesi Pedalaman dan Halmahera Pedalaman. Sedangkan untuk bagian pesisir Papua, Kalimantan dan Sulawesi telah mengalami alkuturasi dengan bangsa pendatang sesudahnya yaitu Austronesia, membentuk Austromelanisia. Nah, yang unik Melanisia atau Negroid Indonesia memiliki hubungan kerabat yang dekat dengan Negroid Afrika dengan mengalami pola mutasi genetika yang berbeda, demikian Robecca Cann, dalam karya Evolution and Human mtDNA…..tahun 1987. Tampaknya ras Melanisia pernah bermigrasi melewati jembatan Asia Tenggara dan benua Australia yaitu jembatan Sundaland dan Sahuland sebelum runtuh, yaitu 15-20 ribu tahun lalu, demikian menurut beberapa pendapat setengah ahli Geologi dan Arkeologi. Tulisan saya tentang “Papua: Mutiara Hitam yang Mencari Jadi Dirinya” pada PalangkarayaPost tahun 2013, memberikan orientasi bagaimana sisi jati diri Melanisia dapat dijawab dalam kontek arkeologi dengan merujuk pada genetika, merujuk pada perkawinan antara Melanisia dan Austronesia yang terdiskripsi, yang tergambar pada morfologinya, yaitu ras baru Austromelansia atau bagi yang lebih teliti daripada saya dapat merujuk pada aspek bahasa dan tinggalan arkeologis atau artefak, seperti yang pernah dilontarkan dalam seminar Arkeologi di Banjarmasin tahun 2012 oleh Irfan, peserta dari Balai Arkeologi Papua.

    Sedikit lagi saya jelaskan, untuk Austronesia, suatu bangsa yang bermigrasi ini yang terjadi setelah tangan-tangan jembatan Sudaland-Sahuland tidak bersatu lagi, setelah tidak mampu menahan beban Geologi global, es kutub mencair. Yang beberapa penulis menyebutnya sebagai tenggelamnya kerajaan Atlantis itu, oleh Prof. Arysio Santos dari Berazilia.

     Kitab Arkeologi Prasejarah Austronesia

    Baiklah pembaca kita mulai pendapat ahli, tentang Austronesia, yang pertama, intinya pandapat yang beralasdasarkan kumpulan data tinggalan arkeologis atau artefak dan itu sebagai candela untuk memahami suatu peradaban bangsa, maka pembaca kalau berminat dapat merujuk pada kitab aslinya itu.

    Pendapat pertama, oleh Prof. Peter Bellwood, di dalam kitab Indo-Malaysian Prehistory, pendapatnya tumbuh dan berkembang yang banyak pengikutnya dari para arkeolog, ada banyak arkeolog yang berpikiran hanya China-Taiwan sebagai Homeland saja, sebagai rumah peradaban besar Austronesia, dengan berbagai alasan-alasannya terutama temuan arkeologis saja. Pada hal, apa iya, hanya itu saja, saya ulang sekali lagi, …..a p a i y a h a n y a i t u s a j a data tinggalan arkeologis atau artefak saja,

    hanya satu candela saja, hanya karya manusia saja, bagaiana dengan candela yang lainnya, bukankah unsur peradaban manusia adalah genetika, artefak dan bahasa atau si manu itu. Walaupun demikian itu, Bellwood berjasa atas hal ini, saya apresiasi jasanya atas koleksi sebegitu banyak informasi (pra)sejarah Asia Tenggara dalam “Prasejarah Indo-Malaysia”. Yang saya pahami ilmu prasejarah memang tidak terkait administrasi Negara saat ini demikian saya sepaham dengan Bellwood, tapi dengan lokasi penyelidikan di Indonesia dan Malaysia mestinya menyebut suatu lokasi penyelidikannya dalam arti tidak ambigu, rancu, atau bersayap ganda istilahnya. Istilah terminologi Indonesia merujuk juga pada suatu geografis yang legal-formalnya diakui oleh adminitrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sehingga menyebutkan terminologi atau istilah dengan memotong bagian tertentu artinya bisa beda sekali dan tendensius.

    Seperti yang dilakukan Bellwood, memotong istilah I n d o n e s i a menjadi I n d o. Cobalah renungkan istilah I n d o C h i n a atau artinya keturunan China bukan Indonesia-China, maka Indo-Malaysia, bukan berarti Indonesia-Malaysia, tapi konotasinya bisa Indonesia keturunan Malaysia. Hal ini tidaklah tepat dengan isi buku yang dia tulis dan mencerminkan arti tidak begitu. Dan dengan tidak mengurangi rasa

    hormat pada siapapun, istilah Indo-Malaysia tidak terlalu mengembirakan terdengar di telingga Indonesia, meskipun penerjemahnya adalah dulunya mahasiswa doctor-nya Prof. Bellwood ini juga, dari Indonesia. Dan begitu pula Tiongkok disebut sebagai China, dimana istilah yang berasal dari dinasti Chin, suatu dinasti yang terbodoh di sejarah Tiongkok, tentu tidak mengembirakan negeri Beijing itu. Satu lagi istilah yang menjerumuskan, wife dutch artinya guling atau bantal panjang, arti lugasnya istri Belanda atau istri Holland juga tidak mengembirakan warga Belanda. Ini adalah politik pembrangusan terminologis yang menjerumuskan dan mendistorsi generasi yang tidak peka (pra)sejarah, ya generasi yang tidak peka (pra)sejarah itu.

    Inti kitab Indo Malaysia, berisi ulasan tinggalan arkeologis baik dari jenis, jumlah jenisnya, umur dan analisisnya, sebagian lokasi penyelidikannya Indonesia, Malaysia, Taiwan dan China dan lainya. Setelah meramu analisis pada berbagai kebudayaan daerah-daerah penyelidikan maka kebudayaan Huabian China dirujuk sebagai awal konklusi, awal kesimpulan untuk mengatakan Taiwan sebagai pusat sebaran Austronesia.

    Saya katakan di sini bahwa sebaran adalah merupakan bagian cara menakar kekuatan sejarah Negara bangsa itu. Semakin luas sebarannya semakin kuat sumber daya bangsa itu. Sumber daya yang di maksudkan adalah alam pendukung, antara lain bahan pangan, hewan domestikasi, dan skill dasar atau ketrampilan dasar atau live skill bangsa Austronesia itu, demikian juga seperti yang disampaikan

    Oppenheimer itu. Ya, Bellwood juga mengulasnya sedikit saja dalam kajian sumber daya pendukung ini, kecuali bahan pangan padi-padian yang merujuk pada kebudayaan Huabian dan desakan jumlah penduduknya yang mendorong migrasi dari daratan China ke pulau Taiwan.

    Kitab Genetika “Surga di Timur itu”.

    Kedua pendapat, Prof. Oppenheimer8 di dalam kitab Eden In The East, seorang ahli genetika, kedokteran, yang bertugas lama di Asia Tenggara, Papua dan Kalimantan Utara, ujarnya bahwa kepulauan Nusantara-lah yang sebagai Homeland bagi Austronesia, Asia Tenggara-lah rumah bagi Austronesia. Pendapatnya ini juga banyak dianut dan tumbuh berkembang yang pengikutnya para arkeolog progressive. Oppenheimer dalam bukunya Eden in the East, merumuskan pusat migrasi manusia Austronesia adalah Asia Tenggara bagian utara, barangkali seiring koleksi data yang melimpah di bank DNA, dan mengalisisnya lebih teliti akan memberikan jawaban yang berbeda, atau jawaban yang bergeser dari Asia Tenggara bagian ke utara ke Asia Tenggara bagian Selatan. Hebatnya juga Oppenheimer mengunakan dalih dan dalil, mitos banjir dan artefak perahu untuk menjelaskan argumentasinya, dan sekali lagi itu sah-sah saja, itu bagian sciencetific thinking.

    Bagi saya mencermati kedua pandangan ahli tersebut, adalah sama-sama mengunakan data realitas, data empiris, data berupa fakta, axioma untuk berdialog dengan masa lalu, masa prasejarah. Nah, keduanya kadang saling menguatkan, kadang saling melemahkan atau tidak cocok, tidak kompaltible, saya katakan k a d a n g k a d a n g, dan t i d a k s e l a m a n y a. Ini masalah klasik pada orang yang berteori itu, oleh karena itu waktu dan analisis temuan para ahli berikutnya yang akan mengoreksi keduanya. Tapi nyatalah dua kampium ilmuwan prasejarah itu telah membantu dengan setulus-tulusnya memberikan pencerahan bagi 350 juta penduduk Nusantara, siapa dia sebenarnya, itulah sebagai akar oyotnya Nusantara adalah Melanisia, Austromelanisia dan Austronesia, atau warna kulit adalah si hitam, si sawo matang sekali, si sawo matang atau dilihat rambutnya adalah si rambut kriting, si rambut ikal dan si rambut lurus, ini ditinjau apa yang disebut sebagai segi badani atau ragawi manusia, jasmani manusia sebagai antropologis ragawi saja, an sich.

     Homo Sapiens dan Austronesia

    Ijinkankanlah sedikit menjelaskan sekali lagi, awal peradaban sebenarnya dimulai sejak manusia itu ada, itu sering diungkap oleh para budayawan saat bicara civilization, saat dialog kebudayaan, sering terlontar perkataan peradaban dan budaya sama tuanya dengan manusia itu sendiri. Bagi yang tekun di bidang paleontologi, timbul pertanyaan manusia yang mana? Untuk itu perlu saya sampaikan orientasi dua manusia yang dekat dengan produksi kebudayaan yaitu Homo erectus dan Homo Sapiens.

    Sapiens Afrika bermigrasi sekitar 150 ribu tahun lalu dan tiba di Nusantara diperkirakan 30.000 tahun yang lalu, sebagai Melanisia. Imigran berikutnya, bangsa Austronesia sebagai pembawa budaya neolitikum/perunggu dan berbahasa Austronesia tiba sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu. Beberapa pulau telah dihuni oleh populasi early H. Sapiens sebelum kedatangan bangsa Austronesia. Temuan fosil early H. sapiens Punung-Pacitan (sekitar 30 ribu tahun), Wajak Tulung Agung (20 ribu tahun) dan Homo floresiensis-Flores (sekitar 15 ribu tahun) menjadi bukti bahwa pulau Jawa dan Flores telah ada penghuninya. Sebenarnya, terminologi Austronesia merujuk pada bangsa penutur bahasa Austronesia. Dalam perkembangannya terminologi di atas berubah menjadi bangsa Austronesia. Keanekarageman atau diversitas populasi HVS mtDNA manusia (bangsa Austronesia) yang hidup saat ini dapat digunakan melacak arah penyebaran manusia zaman prasejarah, dengan diketahuinya pusat sebaran suatu wilayah negara bangsa, maka negara bangsa tersebut dapat meningkatkan pride dan dicnity-nya, mengetahui jadidiri, sangkan paraneng dumadi-nya12. Itu yang dilakukan oleh ahli genetika, Richards, tahun, 2000. Berupaya menentukan arah pusat sebaran.

    Pride Austronesia

    Nah, sampailah kita ke dalam inti persoalan Austronesia yang mesti kita bicarakan, kita tinggalkan era dibawah 5.000 tahun lalu, menuju era 5.000 tahun lalu sampai sekarang. Austronesia, suatu bangsa yang berdiam di kepulauan bumi, suatu kepulauan yang panorama alamnya diasuh oleh angin puting beliung yang meniup-niup langitnya, suatu kepulauan yang panorama alamnya diasuh oleh gelombang laut yang menghantam-hantam tebing karangnya, dan suatu kepulauan yang panorama alamnya diasuh oleh gempa yang mengelepar-geleparkan laut-daratnya, dan suatu kepulauan yang panorama alamnya diasuh oleh halilintar petir yang memetir-metir, menggledekgledek dan menyambar-nyambar buminya. Ya …. dialah adalah kepulauan Asia Pasifik, kepulauan hunian Austronesia dan induk kepulauan ini adalah Dipantara artinya pulau pulau benteng pertahanan, ya …..dia induk kepulauan itu adalah n u s a n t a r a.

    Ya….Nusantara yang telah ratusan ribu lamanya sebagai ring of fire sebagai kepulauan vulkanis yang dikelilingi gunung api laut daratnya, yang akrab dengan petir halilintar, yang akrab dengan puting beliung dan gempa tsunami. Dia telah menjadi anak gadis nusantara yang kuat jiwa raganya. Dan yang pada akhirnya bangsa ksatria Austronesia itu telah bersemayam di jantung-hatinya gadis nusantara itu, dia telah bersatu-padu dengan tanahnya dan airnya nusantara itu. Dia, ksatria Austronesia itu telah bergandengan tangan buat bersama dengan gadis nusantara, melewati badai petir halilintar, melewati debu-debu gunung api, melewati gelombang gempa laut-darat bersama, melewati badai laut Pasifik puluhan ribu kilometer bersama, melewati lautan India puluhan ribuan kilometer bersama. Suatu bangsa yang dicirikan sebagai the great genetics, the great culture dan the linguistics datang bersemayan abadi di jantunghatinya gadis nusantara itu, bukan buat ribuan tahun saja lamanya, tapi buat selamanya, ……..ya saya ulang buat selama-lamanya. Itulah mengapa beberapa penyair dan pujangga berkata nusatara sebagai gugusan intan permata bak mutu nikam, ditaburkan Tuhan di antara dua benua dan dua samudra, di katulistiwa dan tempat bersemayamnya bangsa ksatria itu, si Ksatria Austronesia.

    Para peneliti (pra)sejarah dan arkeologi sepakat bahwa ksatria dan gadis itu mengunakan perahu bercadik yang sakti kalau dihantam laut dari depan-belakang dia terbang, dihantam dari samping kanan-kiri dia akan hanyut saja…..ya dia mengunakan perahu bercadik, minimal 7-5 ribu tahun lamanya.

    Sekarang ksatria ini disoal asal usulnya, entah dari mana datangnya dan entah kapan, dari utarakah? dari diri nusantarakah? Dan sekarang seperti saya katakan, bahwa persoalan ksatria Austronesia adalah menjadi potensi bangga-pride suatu Negara bangsa. Karena ksatria ini, sebagai suatu bangsa yang agung dalam era prasejarah dunia yang pernah ada, ya saya ulang y a n g p e r n a h a d a. Karena ksatria Austronesia adalah me-regenerasi bangsa manusia supaya agung getihdarahnya, mendidik bangsa manusia supaya agung mahakarya-nya dan terakhir mengajari para bangsa manusia supaya agung tutur-bahasanya. Oleh karena penting nilai pride itu, para gembong dan kampium penyelidik Austronesia berburu data pengetahuan tanpa henti kurang 50 tahun lamanya di mana data 80% Austronesia ada di Indonesia, sampai sekarang ini.

    Saya sendiri ikut terlibat penyelidikan selama dua decade trakhir, sampai saat ini, dibantu oleh mahasiswa yang hebat-hebat itu. Terkait penyelidikan itu sebagian kecil akan saya nukilkan sedikit saja, melalui komentar saya terhadap beberapa penyelidik baik genetika, arkeologis dan linguistik. Ketiga bagian ini, sengaja saya cermati dan perhatikan serius dalam dua decade ini.

     Teori Out of Sundaland atau OOS.

    Saya harap pembaca budiman tidak bosan membaca tulisan lanjutan karena perlu memahami bagaimana orientasi peradaban dapat dibaca dengan genetika. Teori OOS12 ini merujuk istilah Out of Africa yang pembaca telah baca sebelumnya. Baiklah kita akan menggali informasi Austronesia, dari beberapa literatur yang saya baca saat menyusun disertasi, minimal ada 2 kelompok teori migrasi prasejarah penyebaran bangsa Austronesia. Pertama, teori berbasis data genetika yaitu Teori Out Of Daic (OOD) dan Teori Out Of Sundaland (OOS) di era 2000an. Kedua, teori berbasis data arkeologi-linguistics yaitu teori Out Of Taiwan (OOT), teori Meacham dan teori Solheim. Sebagian teori berbasis data genetika cocok atau compatible dengan teori berbasis data arkeologi-linguistics. Untuk teori berbasis data genetika, pertama, teori OOS diusulkan oleh Oppenheimer, pada tahun 2004, yang dibuktikan oleh Soares, pada tahun 2008. Teori OOS kongruen (congruence) dengan teori Meacham dan teori Solheim yang berbasis pada data arkeologi. Teori ini mengusulkan bahwa arah penyebaran bangsa Austronesia dari Sundaland (Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara) dan menyebar ke seluruh Nusantara.

    Kedua, teori OOD dipelopori oleh Li tahun 2008. Laporan penyelidikan menyarankan bahwa populasi Daic diusulkan sebagai mainland bagi semua populasi Austronesia. Teori ini mengusulkan penyebaran bangsa Austronesia melalui barat ke tenggara (Vietnam ke Semenanjung Malaka dan menyebar ke Nusantara). Ya, Oppenheimer tidak berhenti di situ saja, dia berteori bahwa agriculture atau bercocok tanam ubi, talas, pisang, sagu adalah tanaman khas Austronesia, dilengkapi dengan hewan domestikasi seperti sapi, kerbau, babi, anjing dan unggas binatang peliharaan Austronesia. Beberapa setengah ahli seperti Prof. R. P. Sujono begawannya arkeolog Indonesia itu, agriculture adalah bagian peradaban manusia yang primitif.

    Sebelumnya adalah tahapan meramu atau mengumpulkan hasil buruan hewan atau tanaman. Selanjutnya, berkembang peternakan sebagai hasil domestikasi itu. Namun, setengah ahli berpendapat sebaliknya yaitu beternak dulu baru menyusul pertanian. Itu proses tahapan peradaban, saya bependapat itu sah-sah saja, tapi yang terpenting di sini bukan proses itu, tapi bagaimana tanaman dan hewan itu dapat dibaca bahasa genetikanya untuk menjelaskan beberapa teori. Itu jauh lebih penting daripada berdebat proses itu….. saya ulang yang terpenting adalah membaca bahasa g e n e t i k a yang ada di tanaman dan hewan domestikasi di atas itu.

    Ijinkanlah saya menyampaikan sedikit ulasan hal ini seperti yang sampaikan di atas. Karena pekerjaan baru selesai sedikit terkait DNA kerbau, dalam laporan penyelidikan saya, saya sampaikan bahwa pusat sebaran kerbau ada di sekitar China. Bukan di Taiwan, jadi tidak compatible dengan teori OOT. Demikianlah, hewan yang sebagai sumber daging ini awalnya dari China bukan dari Afrika. Meskipun, sebaran manusia dari Afrika, berbeda dengan arah sebaran kerbau. Kerbau ini menyebar menuju Eropa,

    Asia dan Afrika. Dalam kerangka waktu yang berbeda, belum ada teori yang  mengungkap ini sebelumnya, ini adalah penyelidikan yang baru selesai beberapa bulan Maret 2018. Sedangkan bagaimana pusat sebaran anjing, sapi, unggas, babi, kuda, dan kambing? Atau bagaimana pusat sebaran pisang, ubi, talas, dan sagu? Itu semua dengan kerendahan hati, akan saya tulis artikel yang berbeda berikutnya. Walaupun itu sangat penting untuk menjelaskan Asutronesia, karena keterbatasan, sekali lagi karena t e r b a t a s.

     Teori Out of Taiwan atau OOT

    Taiwan adalah pulau kecil, 2-3 kali lipat pulau Bali, dengan sumber daya alam yang terbatas, ungkapan ini bukanlah maksud saya abai dan tendensius atas alas an dibangunnya teori OOT, bukan sama sekali. Justru kami ingin melihat sisi lain, seperti bagaimana sumber daya tanaman atau pohon yang potensial untuk bahan baku pangan dan alat transpotasi berlayar atau pembuatan perahu. Ini penting karena kembali bahwa bangsa Austronesia ini hidup dekat dengan air dan mobilitas tinggi, karena transportasi perahu yang hebat itu masa itu. Jadi bagaimana potensi ini terlihat di Taiwan?. Tentu Bellwood yang dari Inggris itu, yang berteori ini bukan orang remeh temeh, berdasarkan penyelidikan sepanjang hidupnya, telah berusaha berorientasi, berpikir, bekerja yang luar biasa untuk Austronesia, sebagai dedikasi hidupnya, tercermin dengan jelas di atas guratan-guratan tulisan di kitab ”Prasejarah Indo Malaysia itu13” terbitan era 1990an.

    Untuk ini selayaknya kita angkat topi, atas kerja kerasnya. Dia banyak bicara aspek arkeologis, dengan sedikit melihat koleksi dan potensi tanaman dan hewan yang potensial untuk survival of live-nya Proto-Austronesia atau Austronesia yang awal. Sebagai seorang arkeolog, dia sebenarnya peka atas potensi berkembang kebudayaan secara umum, en toch, dia masih memerlukan para Biolog, untuk melihat sisi observasinya luar tanaman dan hewannya, dan aboservasi tingkat biomolekul-nya oleh para (bio)kimiawan. Saya tidak melihat semacam itu dalam kitab itu. Saya pikir hal yang wajar bahwa Austronesia yang begitu agung, bisa dikuasi oleh hanya satu orang ahli saja. Oleh karena itu hadirnya orang seperti Oppenhaimer dari Inggris juga, seorang genetist, merupakan pelengkap dalam menyempurnakan analisis yang lebih variatif yang sama-sama diuji kebenaran oleh temuan-temuan baru seiring waktu berjalan. Ini adalah hukum sains yang mesti terbuka oleh analisis temuan-temuan baru, oleh puzzle baru, sehingga orang peyelidiknya mengikuti pola ini yaitu berpikir terbuka saja. Saya sendiri pernah berdikusi keduanya via email.

    Sekali lagi saya angkat topi kedua kali untuk sikap terbukanya kedua tokoh ini. Ini bukan berarti melupakan tokoh Truman Simanjuntak yang hebat itu, atau Hari Widianto yang luar biasa itu, keduanya dibawah Balai Arkeologi Nasional-Jakarta… sama sekali tidak. Dengan maksud tidak mengurangi rasa hormat siapa saja, nyatalah setiap orang itu tidak bisa mengklaim segala-segalanya tahu dan menguasai sains…saya ulang sekali lagi……….ilmuwan tidak bisa mengklaim s e g a l a – s e g a l a t a h u. Saya bersyukur dalam hampir dua dekade bergumul juga dengan antara genetika, bahasa dan artefak Austronesia itu di bantu oleh teman sejawat Dewi dan Oni yang hebat dan mahasiswa saya yang luar biasa. Oleh karena dengan segala daya, stamina, potensi yang dimiliki, saya curahkan untuk reanalisis, menganalisis ulang, mengamati ulang dan berkomentar kembali atas temuan empiris baru sebagai cara melengkapi perspektif dan orientasi terhadap Austronesia yang agung itu. Dan saya memang berkerja untuk itu, saya abdinegara untuk itu, sekaligus passion-nya untuk itu.

     Kitab Bahasa Austronesia itu

    Ya, kitab The Austronesian Languages yang ditulis Prof. Roberts Blust, bukan kitab sembarangan, kitab yang berisi kumpulan berbagai jenis bahasa turunan Austronesia, bahkan Prof. Robert Blust sebagai salah satu komandan penyusun kamus bahasa Austronesia juga. Kitab ini didukung oleh data arkeologi, oleh Prof. Peter Bellwood yang ternama itu. Baiklah saya akan coba jelaskan inti persoalan dan inti jawabannya terhadap apa itu pusat sebaran Austronesia beralasdasar, berpijak atau berbasis data bahasa ini dan bagaimana nalar-pikirnya penyelidik hebat ini. Karena si Austronesia punya rongga mulut dan dia punya ruang dengung sehingga mampu menyebut kata-kata yang sekian ribu banyaknya, dengan urutan abjad tertentu.

    Dengarkan kata saya dengan u r u t a n a b j a d tertentu, dengan s u b c r i b tertentu. Maka penyelesaian pertanyaan dimana pusat sebaran adalah menjawab persoalan bagaimana kekerabatan u r u t a n abjad dan geografisnya. Saya ulang u r u t a n dan g e o g r a f i s-nya bahasa itu diselidiki. Semakin variasi, semakin beraneka macam, semakin berbhineka atau tamansari di suatu geografis atau daerah kepulau itu maka kepulaun itu sebagai pusat sebaran induk bahasa Austronesia itu. Nah, cara ini namanya metode filogenetik. Berasal dari kata phylum (kerabat) dan genetics (gen).

    Jadi cara menakar sebaran itu sama dengan cara menentukan sebaran genetika, berdasarkan u r u t a n DNA14. Seperti yang saya sitir di sebelumnya. Di Indonesia terdapat 817 bahasa Austronesia (70%) dan Austromelanisia/Melanisia (30%), seperti yang dijelaskan oleh Prof. Koentjoroningrat, antropolog itu. Robert Blust mengumpulkan hampir semua turunan bahasa si Austronesia ini dan menganalisisnya dengan metode filogenetik, sehingga akurasinya disamping jenis dan jumlah kata tetapi jumlah bahasa sebagai data di dalam metode ini.

    Pendek kata para pembaca kalau ingin dan tertarik dalami linguistics ini tersedia di web. Silahkan cari sendiri. Nah ini, yang perlu dipahami oleh ahli bahasa kita, belum banyak melihat tulisan ahli bahasa kita mengunakan metode filogenetik ini. Untuk membahas bahasa Austronesia, saya telah membuat tulisan khusus yang terkait dengan judul “Manakar kekuatan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah, kenapa tidak?, Artikel ini merupakan bagian makalah seminar yang telah saya sampaikan pada tahun ini 2018, di Banjarmasin. Dan juga saya sampaikan di Balikpapan tahun 201615. Kekuatan bahasa yang kita pakai hari ini, boleh jadi merupakan contoh ideal bagi diberbagai Negara di dunia, karena visi nasional berbangsa menyatu dengan visi nasional berbahasa. Beberapa negaranya telah gagal melakukan ini, seperti China, Malaysia, dan India. Visi berbangsanya terbelah dengan  visi berbahasa suatu hal yang tragis sekali. Dia berbangsa India tetapi bahasa nasionalnya Inggris tetapi bukan India. Dia berbangsa Malaysia tetapi bahasa nasionalnya Inggris, bukan bahasa Malaysia. Dia berbangsa China tetapi bahasa nasionalnya bahasa Mandarin bukan China. Itulah beda visi berbangsa dan berbahasa. Tragis karena dia, menyanjung-nyanjung Inggris yang menjajah negerinya selalu didengungdengungkan ditelingga anak bangsa sendiri sebagai pahlawan yang patut disujudsyukuri setiap saat, setiap detiknya, itulah tragisnya, yaitu lewat tutur bahasanya.

    Dia punya anak bangsa yang cas cis cus keinggrisan dan melupakan kejahatan kemanusiaan ratusan tahun lamanya, dan menjadikan tuan Reffles itu pahlawan besarnya, sekali lagi tragis, ya tragis sekali. Nah, pada titik ini, kita meski angkat topi pada Bung Karno dan Sutan Takdir Alisyahbana itu untuk menyatukan visi dan misi   berbangsa bersatu padu dengan misi dan visi berbahasa, karena bahasa adalah jantung hatinya kebudayaan, jantung hatinya perasaan bangsa itu, demikian saya ulang nasehat Gandhi itu. Dan kebudayaan itu adalah ibu kandungnya pendidikan bangsa itu.

    Baiklah Pembaca budiman, saya akan nukilkan sedikit tentang bahasa Tagalognya Filipina itu. Tuan telah mengenal sejarah Filipina, dimotori Jose Rizal, bapak Filipina yang hebat itu yang terkenal dengan semboyan “don’t quit me”. Pembaca budiman tahu-lah, mengapa Filipina menjadi keamerika-amerikaan? Padahal Amerika adalah yang menjajah negeri bangsanya? Setelah Spanyol dan Portugal gagal menguasai Filipina secara kebudayaan, maka lain halnya Amerika sukses menguasai kebudayaan Filipina. Karena Amerika berhasilkan mengamerikakan Filipina dengan bahasa Inggris Amerika itu. Dan mulailah Tagalog yang digunakan oleh bangsa Filipina ribuan tahun lamanya tergerus nyaris habis hanya beberapa puluh tahun saja, di era tahun 1900an, saja. Saya sendiri bukan berarti anti bahasa asing, sama sekali bukan, tapi alangkah baiknya bahasa asing itu dikuasai, bukan menguasai bangsa kita, seperti contohnya di kampung Pare Kediri itu, Inggris ala Pare, bukanya Pare ala Inggris, Inggris citarasa Indonesia. Inilah maunya bapak kita, menjinakan, sekali lagi m e n j i – n a k a n kebudayaan asing termasuk bahasanya.

    Mongoloid dan Migrasi Balik

    Baiklah pembaca budiman mungkin mulai banyak bertanya-tanya, bagaimana matarantai kronologi waktu munculnya Austronesia kok bisa berbeda. Bukankah genetika, bahasa dan artefak adalah satu kesatuan bersamaan kronologinya?.

    Jawabanya adalah klasik yaitu bahwa tidak semua data diperoleh itu cocok satu sama lain, tidak semuanya juga ditemukan, ada missing link-nya. Tapi ada jawaban lain yang bisa ditawarkan walaupun tidak harus dengan mengumpulkan data sendiri semua. Baiklah begini, mari kita lihat mundur ke belakang dulu, sebelum si Austronesia ini muncul. Kita lihat cendela dari peta ras penduduk dunia yang lebih luas, atau dilihat dari matarantai Mongoloid khususnya, yang Bellwood dan Oppenheimer kurang tertarik menganalisis matarantai ini. Tetapi itu semua adalah analisis, semua yang punya batang hidung bolehlah menganalisis tanpa kecuali. Oleh karena itu ijinkan saya menganalisis dengan mengunakani isi batok kepala sendiri, tanpa abai kepada siapapun, ya tanpa meremehkan siapaun. Begini di dalam prinsip analisis, setiap orang punya database pengetahuan di kepala masing-masing, baik data genetika, bahasa atau artefak dengan jumlah dan jenis yang berbeda-beda, dan yang penting lagi dalam kerangka waktu yang beda, dengarkan kata saya sekali lagi j u m l a h, j e n i s d a n k r o n o l o g i d a t a b a s e y a n g b e r b e d a. Setelah diolah di alam pikiran muncullah buah pikiran itu atau apalah namanya, apa itu gagasan baru atau gagasan re-inovasi dan lainya.

    Begitulah alam pikiran saya bekerja di dalam karya disertasi saya itu ”Penentuan Laju Mutasi dan Sebaran Manusia Ancient Sangiran16”. Telaah dan telaah urutan DNA,  mencernak, merajut dan menganyam literatur selanjutnya melakukan sintesis antara fakta-fakta dan axioma-axioma. Setelah itulah data berbicara, berbisik pelan ada hal yang berbeda dengan keduanya, yaitu setelah saya mencernak analisis matarantai ras Mongoloid di Asia Tengah yang menelurkan keturunan kebudayaan Huabian di China.

    Ijinkanlah saya berasumsi, berhipotesis bahwa ras Mongoloid ini yang bermigrasi ke nusantara kisaran sebelum jembatan Sundaland-Sahuland tenggelam atau 10-15 ribu tahun lalu. Yang melakukan perkawinan dengan kelompok Melanisia, penghuni sebelumnya, disamping kelompok internalnya sendiri di Indonesia bagian barat dan selanjutnya sukses mendominasi, melahirkan si Austronesia, si sawo matang kulitnya dan si ikal rambutnya. Pada akhir jembatan itu putus, pada saat katastropik, bencana gempa laut dan darat, banjir bandang-tsunami dan gunung erupsi, mulai akrab di kawasan Nusantara itu, seperti yang diungkap dalam mitologi banjir oleh Oppenheimer itu, dengan keadaan alam yang demikian, tanah dan air yang dihuni situasinya berbeda dengan tanah lelulhur Asia Tengah Itu.

    Si Austronesia ini mengalami paedagogic, pendidikan, atau gemblengan lahir-batin secara alami setelah beberapa ribu tahun lamanya, setelah kenal dengan kebudayaan perunggu dan besi, setelah mengenal tungku tanah liat, setelah mengenal kebudayaan besi-perunggu atau kebudayaan Dong Son sekitar 5 000 tahun. Maka Bellwood menyimpulkan tidaklah mungkin ketrampilan bikin perahu melebih era Dong Son ini. Memang iya kebudayaan besi perunggu itu hal yang fenomental, tapi itu bagian puzzle, bagian potongan kebenaran saja, an sich, tidak lebih itu, tidaklah sebagai alat generalisasi kurun waktu karya budaya. Saya ulang saja……D o n g S o n itu sebagai s a l a h s a t u p o t o n g a n k e b e n a r a n s a j a.

    Oleh karena itu, sekarang si Austronesia mulai memiliki ketrampilan untuk berburu, bercocok tanam dan berlayar berkat kemampuannya melebihi si Mongoloid tadi dan si Melanisia di Indonesia Barat. Khusus kemampuan berlayar si Austronesia, saya bahas sendiri dalam kasus tersendiri dalam perahu kayu di artikel selanjutnya. Setelah itu, perkawinan juga dilakukan oleh si Austronesia dengan Melanisia Timur sekitar pantai Papua, kisaran 4.000 tahun lalu, kemampuan berlayar terus menanjak naik. Jadi si

    Austronesia inilah yang nantinya berpetualang dan menyebar seluruh dunia. Ini bukanlah dramanisasi prasejarah Austronesia bukan samasekali, dramanisasi seenak perut saya, bukan sama sekali. Saya sudah merenungkan hampir satu decade semenjak disertasi saya itu, walaupun sudah saya sitir di disertasi, hampir satu decade lalu juga. Coba kita lihat dengan teliti matarantai kronologinya Bellwood berasumsi 6000an tahun lalu, ada Austronesia migrasi dari Taiwan adalah logis, dan 7.000an tahun lalu, Oppenheimer mengatakan bahwa ada si Austronesia bermigrasi keluar nusantara adalah logis Tetapi menurut saya bahwa ada kisaran 10.000an tahun lalu berdasarkan umur dan analisis urutan DNA manusia encient yaitu ada migrasi Si Austronesia ke utara dan balik lewat Taiwan ke selatan, ke Filipina dan Kalimantan dan selanjutnya di sebut retro migrasi atau migrasi balik, seperti saya sitir data ada H. Sapien di Musium Sangiran itu. Sebenarnya istilah retro bukanlah hal yang asing dalam mengungkap ada kemungkinan migrasi oleh setengah peneliti, tapi masih sayup-sayup, masih terlalu lembut rasanya itu.

    Jadi pandangan saya dan setengah ahli lainnya sahsah saja, bahwa arah migrasi tidaklah kaku, tidak rigid, tidaklah searah, ………sekali lagi tidaklah kaku dan searah saja, yang selama ini terdiskripsi di berbagai kitab dan journal ilmiah itu. Sebagaimana orang sekarang, kadang tidak merantau terus, tetapi pulang kampung. Begitulah si Austonesia datang dan pergi ke kampung barunya, kampong Nusantara itu, kampung yang penuh dinamis anginnya, dinamis lautnya, dinamis tanahnya, dinamis airnya, ya dinamis tanah airnya itu, di Tamansari Nusantara.

    Penyelidikan Situs-situs Barito dan Bukit Bangkai

    Baiklah sekarang, kita menuju Barito, sungai yang pernah bergandengan tangan dengan bengawan Solo, berjalan bersama, lenggak lenggok bersama dan bermuara bersama di Laut China Selatan purba, sebelum keduanya tenggelam 3-20 M, pada 10- 15 ribu tahun lalu. Kita mulai melihat penyelidikan oleh Mahirta di tepian bengawan Solo  pada tahun 2006. Penyebaran bangsa Austronesia di pulau Jawa menarik untuk dikaji karena masyarakat Jawa merupakan pendukung kebudayaan Austronesia terbesar di Indonesia. Sayangnya, data ancient tulang, artefak atau tinggalan arkeologis diduga terkubur di sekitar sungai-sungai besar Jawa. Kesimpulannya bukti-bukti empiris kebudayaan Austronisia di Jawa banyak terkubur di delta bengawan Solo sekitar 5-12 M, di lapisan tanah alluvial bengawan itu.

    Bagaimana kalau bangsa Austronesia di sungai Barito? Saya bagian orang yang sangat bersyukur karena diperkenalkan dengan penyelidikan sendiri dan sebagian dibantu teman sejawat saya, ada teman dekat dan teman sejawat, kolega dari Balai Arkeologin Banjarmasin, dan mahasiswa saya sejak 2011. Sebagian data sudah saya publikasi lewat proceeding17 sebagian belum, seminar Nasional dan Internasional atau atau tulisan kebudayaan di koran.

    Gambar 1. Berjejer serangkai 12 situs sebagai bekas hunian Austronesia di Tepian Sungai Barito.

    Perahu Tua Di Musium Lambung Mangkurat dan Rock Art

    Yang istimewa adalah temuan artefak dua perahu jukung atau jukung sudur yang bersemayam di Kecamatan Margasari, berkisar 5.000an tahun itu dan 2.000an tahun lalu. Bayangan saya, imajin saya terhadap Barito, bahwa pasar terapung itu bagian pasar purba, pasar yang ada kira-kira lima ribu tahun lamanya, sama umur perahu (jukung) tua itu. Demikian ini pernah saya ungkap dalam seminar yang di Banjarmasin tahun 2013. Disamping itu, yang terpenting juga, terdapat 12 situs proto-sejarah di sepanjang sungai Barito (Gambar 1), yaitu beberapa temuan artefak ada yang berumur 2000 tahun lalu yang mencerminkan bahwa tepian sungai adalah tempat hunian yang nyaman bagi Austronesia di Kalimantan.

    Selanjutnya, penyelidikan menuju ke Situs Bukit Bangkai, ada banyak hal yang penting di situs ini. Sebagian informasi besar belum dipublish, ada dua hal yang telah di publish yaitu terkait dengan bahan lukisan gua dan bahan pangan kerang yang ada di situs itu. Tentang lukisan gua (rock art) 18,19, penelitian menunjukan bahwa dengan  mengunakan radio karbon dating menunjukan umur sekitar 5000 tahun dan warna hitam pada bahan lukisan gua bukan arang karbon yang selama ini di duduga oleh para arkeolog.

    Daftar Pustaka Pilihan:

    1. Schwab, K (2016), The Fourth Industrial Revolution, Switzerlnand:World Economic forum.
    2. Palanivel, R., and Kumar, U. R., (2009), Thermal and spectroscopic analysis of ancient potteries, Rom. Journ. Phys. Vol. 56, nos. 1-, p. 195-208.
    1. Oppenheimer, S (2012), Eden in the East, the drowned continent of Southeast Asia, Proceeding The 4th International Conference on Indonedian Studies, Bali 9-11 February, FIPB-UI, pp 1
    1. Bellwood, P. (2000), Praejarah Kepulauan Indo-Malaysia, PT. Gramedia Pustaka
    2. Soejono, R. P. (1981). Tinjauan tentang perkerangkaan Prasejarah Indonesia, Aspek-aspek Arkeologi Indonesia (Aspects of Indonesian Archaeology) No. 5. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.
    1. Cann, R.L., Stoneking, M., dan Wilson, A. C., (1987), Mitochondrial DNA dan human evolution, Nature, Vol.325, p.p.31-36.
    1. Ibid 4
    2. Ibid 3
    3. Tanto Budi Susilo, Adang Suwandi Ahmad, Yan Rizal, and Akhmaloka, (2011), New evidence of proto-Austronesian from Sangiran, Proceedings of the 2nd International Seminar on Chemistry (pp. 93-97), Jatinangor, 24-25 November 2011, ISBN 978-602-19413-1-7
    1. Tanto Budi Susilo, Adang Suwandi Ahmad, Yan Rizal, and Akhmaloka, (2011), Nucleotides analysis of of human ancient from Sangiran (11.883 ± 93 BP), Proceedings of the 2nd International Seminar on Chemistry (pp. 260-263), Jatinangor, 24-25 November 2011, ISBN 978-602-19413-1-7.
    1. Ibid 5
    2. Ibid 3
    3. Ibid 4
    4. Tanto Budi Susilo, Adang Suwandi Ahmad, Yan Rizal and Akhmaloka (2012), The Incompatibility Between Genetics and Linguistics Data From Sangiran Population, Twelfth International Conference on Austronesian Linguistics, 2-6 July 2012 Bali, Indonesia
    1. Tanto Budi Susilo, (2018), Menakar Bahasa Indonesia Adalah Bahasa Ilmiah Antara Tutur dan Tulis, Prosiding Seminar Nasional Kebudayaan, Banjarmasin, 10 Maret 2018.
    1. Susilo, T. B., (2010), Penentuan Umur dan Sebaran Manusia Ancient Sangiran melalui Jarak Genetika D-loop mtDNA, Disertasi Doktor ITB, unpublish.
    1. Susilo, T. B., Rohman, T., Maslamah, F., Soesanto, O and Sunarningsih, (2017), Characterization of Brick Artifact from Candi Agung Site, Barito River-Kalimantan, BASICth8, UB.
    1. Susilo, T. B., Sugiyanto, Saputro, O. K., dan Soesanto, O, (2015), Sebaran Bahan dan dating C14 Lukisan Dinding Gua Situs Batu Batulis, Kotabaru, Prosiding Seminar Nasional Kimia Universitas Negeri Jember, 10 Agustus 2015.
    1. Sugiyanto, B., Jatmiko dan Nurtanti,Y., (2013), Survei dan ekskavasi situs Liang Bangkai Desa Dukuhrejo, Kecamatan Mentewe, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Laporan Penelitian Arkeologi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Arkeologi Banjarmasin.
    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here