More

    Gandhi dan Feminisme

    Dian Andriasari*

    Prolog

    Sejak saya menentukan tema besar dalam pembahasan buku “All Men Are Brothers” sebuah oto biografi yang ditulis oleh Gandhi semasa hidupnya, pengamatan saya langsung tertuju pada sebuah sub bab XI tentang “Kaum Wanita”. Kalimat pembuka di awal paragraf yang menyentuh hati saya, sebagaimana ditulis Gandhi:

    Saya sangat yakin bahwa keselamatan India ditentukan oleh pengorbanan serta pencerahan kaum wanita”.

    - Advertisement -

    Tentu kalimat tersebut memadatkan banyak peristiwa[1]

    Gandhi Ilistrasi : Sumber : behance.net / Damos

    Totalitas Gandhi dalam menerapkan ajaran “ahimsa” mempengaruhi Gandhi menjadi pribadi yang lebih bersikap terbuka dan menerima segala perbedaan. Khusus yang akan saya paparkan dalam tulisan ini adalah bagaimana sikap dan pandangan Gandhi menyoal kedudukan, peran yang dimiliki  perempuan baik dalam ruang domestik maupun ruang publik.

    Pengamatan saya kemudian tertuju pada paragraf selanjutnya, Gandhi menuliskan:

    “Saya yakin bahwa karena pada pokoknya pria dan wanita manunggal, masalah mereka pun pasti manunggal pula. Keduanya mempunyai jiwa yang sama pula. Masing-masing menjalani “kehidupan yang sama dan mempunyai perasaan yang serupa. Yang satu merupakan pelengkap bagi yang lain. Masing-masing tidak akan dapat hidup tanpa bantuan aktif dari pasangannya”

    Kalimat tersebut secara tegas menggambarkan persepsi Gandhi bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah egaliter. Persoalan ini kemudian akan saya geser pada konsep “feminisme” dari sisi akar sejarah, bagaimana proses pergumulan dalam bathin Gandhi hingga ia dengan lugas dan berani mengatakan “kesetaraan” antara perempuan dan laki-laki merupakan perwujudan dari sebuah ajaran kasih yang universal. Pertanyaan mendasar yang menggelitik saya adalah bagaimana proses pergumulan itu bermula? Siapah tokoh yang dengan pemikirannya peduli atau bahkan serius terlibat dalam perjuangan hak-hak perempuan? [2]

    Saya yakin bahwa kondisi yang dialami Gandhi ketika itu diantaranya kondisi sosial yang diwarnai konflik, kenyataannya banyak merugikan perempuan, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan diranah kolektif sangat dibatasi, bahkan sama sekali ditiadakan. Tentu dengan ajaran pantang kekerasan yang diusung Gandhi mestilah mengharuskan dirinya untuk memberikan ruang khusus (perhatian) serius kepada nasib kaum perempuan. Kultur masyarakat India yang sangat kental dengan dominasi agama Hindu dan Islam ketika itu, secara lamat-lamat mendoktrinasi perempuan untuk tidak perlu ambil bagian terlalu besar. Cukup peran-peran kecil saja yang diberikan, tak jarang perempuan ditempatkan hanya sebagai properti atau barang kepemilikan.

    Paragraf yang saya soroti diatas juga tidak dapat dilepaskan dengan kalimat berikut:

    kaum wanita percaya kepada ajaran yang berpamrih dari kaum pria, bahwa kaum wanita lebih rendah martabatnya, namun pria yang berpenglihatan tajam menyadari bahwa kaum wanita sebenarnya sederajat.”

    Sikap Gandhi yang terasa ingin dipandang objektif, bahwa kemungkinan besar tidak semua lelaki bersikap atau berpandangan sama terkait posisi, peran perempuan. Ia mencoba menempatkan pengamatannya yang objektif, secara tidak langsung Gandhi mengisyaratkan bahwa ia adalah salah satu dari lelaki yang tampil untuk membela perempuan. Hal yang ingin saya telisik adalah bagaimana tutur laku gandhi dalam kehidupan kesehariannya, apakah pemikirannya linier dengan sikap atau pilihan tindakan-tindakannya? Mau tidak mau saya harus menggali manuskrip lain, tulisan tangan orang lain yang secara khusus menguliti kehidupan pribadi Gandhi atau bagaimana formulasi relasi Gandhi dengan perempuan sebagai lawan jenis sekaligus partner Gandhi dalam pergerakannya membumikan Ahimsa.[3]

    Sekilas dari pengamatan saya terhadap cerita di novel itu, saya merasa Gandhi tidak mulus dalam mengeksekusi buah pikirnya kedalam tindakan pribadinya. Saya menilai fragmen Gandhi dari mulai memberikan peran hingga ia menjauhi Mira adalah bentuk teks otoritatif yang menggambarkan dominasi patriarkinya. [4] Soal dimensi ketubuhan perempuan, Beauvoir menulis

    “Pembudakan betina bagi spesies dan keterbatasan dari kekuatannya yang beragam adalah fakta yang sangat penting; tubuh perempuan adalah salah satu elemen esensial dalam situasinya di dunia. Tetapi tubuh itu tidak saja cukup mendefinisi perempuan; tidak ada kenyataan hidup yang sesungguhnya kecuali yang dimanifestasikan oleh individu, yang sadar melalui kegiatan dan apa yang ada di dalam masyarakat.”

    Dalam buku otobiografi yang Gandhi tulis, tercatat banyak sekali teks-teks yang berpihak pada perjuangan perempuan untuk merebut kesetaraan. Paragraf yang kiranya cukup penting saya kutip dalam paparan ini adalah:

    “Andaikan saya lahir sebagai wanita, saya pasti akan berontak menentang pandangan kaum pria seakan-akan wanita lahir untuk dijadikan permainan saja. Secara mental saya berperan sebagai wanita untuk menghayati perasaan hati mereka. Saya tidak dapat menghayati kalbu istri saya, sebelum saya bertekad mengubah perlakuan saya terhadap dirinya dan dengan demikian saya pulihkan seluruh haknya, dengan melepaskan pula apa yang disebut hak saya sebagai suaminya.” Selanjutnya Gandhi juga mengkritsi soal kesucian perempuan dan hal lainnya yang berhubungan dengan dimensi ketubuhan perempuan. Lalu sejauhmana ajaran Gandhi langgeng seiring perkembangan zaman, pemikiran Gandhi soal ruang-ruang publik yang seharusnya juga dapat diakses oleh perempuan.

    Kondisi hari ini khususnya di Indonesia, kajian terhadap isu-isu perempuan dan feminisme dalam ranah akademik di Indonesia sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 1980-an, dengan munculnya berbagai perkuliahan mengenai isu perempuan dalam berbagai disiplin ilmu di Universitas. Para ilmuwan  tidak hanya menciptakan mata kuliah baru, tetapi juga mendirikan berbagai lembaga studi dan mengembangkan berbagai kajian mengenai permasalahan yang dihadapi perempuan. Masa ini menandai babak baru sejarah masuk dan berkembangnya studi perempuan di dunia akademik.

    Studi perempuan juga memasuki ranah studi hukum, dimulai pada tahun 1990an awal, ketika nama mata kuliah “hukum dan perempuan” mulai diajarkan di Universitas Indonesia. Gerakan pemikiran ini kemudian mendapat sambutan cukup hangat di berbagai fakultas hukum lain, sehingga sesudah belasan tahun kemudian sudah ada kurang lebih 23 fakultas hukum di seluruh Indonesia. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang terjadi di Amerika pada tahun 1970-an ketika semakin banyak mahasiswa perempuan masuk sekolah-sekolah hukum dan melahirkan aliran pemikiran “feminist jurisprudence” dan “feminist legal theory

    Maka berpikir dalam alur kausalitas sebagai suatu proses yang tak kenal ujung akhir dan tak percaya lagi akan adanya apa yang disebut pre-estabilished order maka para pemikir dan pengguna hukum yang positivis ini mengklaim juga bahwa kajian ilmiah mereka tidak lagi sebatas kajian dalam bilangan jurisprudence (yang berarti “kearifan yuris”). sekalipun di Eropa pada abad ke-19 kajian-kajian hukum nasional secara positivistik ini sudah dipopulerkan  dengan sebutan sebagai postitive jurisprudence di Amerika Serikat, pada akhir abad itu, di tangan Langdell yang guru besar hukum ddi Universitas Harvard kajian hukum yang positivistik seperti itu lebih tegas lagi disebut legal science.[5]

    Epilog

    Manusia sebagai makhluk supraorganik yang indeterministik dan tidak pernah sekalipun dikenali sebagai makhluk anorganik dengan perilakunya yang deterministik punya kehendak bebas yang demi terjaganya ketertiban dalam kehidupan kolektifnya, perlu dikontrol dan diarahkan secara normatif berdasarkan hukum yang keniscayaannya itu telah dipositifkan. Spektrum isu-isu perempuan (gender) kemudian akan dilihat dalam konstruksi-konstruksi gender/seks oleh media, agama, budaya dan negara akan diidentifikasi, khususnya yang cenderung mengorbankan/mendiskriminasi kelompok warga negara tertentu, seperti perempuan. Keterbatasan akses, KDRT, seksual harassment, poligami, human trafficking dll. Adalah contoh-contoh kasus yang dapat dianalisis untuk merefleksikan dampak-dampak konstruksi gender/seks dalam konteks penundukan tetapi seringkali dianggap normal.

    Hari ini saya menilai bahwa masih banyak yang menganggap hukum yang baik adalah hukum yang netral atau objektif. Bagi para feminis (pembela hak-hak asasi perempuan) anggapan seperti ini sebenarnya malah melegetimasikan ketidaksetaraan gender, orientasi seksual, etnisitas, ras dan kelas yang ada dalam masyarakat. Begitulah, pada akhir tahun 1960-an dan khususnya selama tahun 1970-an, di Amerika dan Eropa para feminis mulai mengkritik netralitas hukum. Sejak itu mereka berusaha membentuk teori hukum berperspektif feminis (feminist jurisprudence). Para feminis menganggap hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada perempuan (dan tentunya siapa saja) yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut. Persoalannya adalah mungkinkah teori hukum dan hukum positif seperti ini diwujudkan tanpa menghasilkan berbagai bias tersebut?kenyataannya perempuan dikorbankan dalam bayang-bayang netralitas hukum.

    Secara pribadi saya melihat Gandhi sebagai sosok yang unik dan memiliki jiwa revolusioner. Terlepas dari narasi-narasi yang berkembang hari ini yang menguliti Gandhi dari berbagai sisi. Faktanya ajaran pantang kekerasan memang sebuah ajaran yang memuat nilai-nilai yang universal. Persoalan bagaimana gandhi mencoba mengkonsepsikan dirinya, pemikirannya terhadap isu perempuan ketika itu saya pandang sebagai sikap yang didasari oleh akal budi.

    Saya akan mengutip satu paragraf yang ditulis Goenawan Muhamad dalam Catatan pinggir ke 10, satu bagian sengaja ia beri judul ahimsa, dari tulisannya yang renyah itulah saya berselancar mengencani Gandhi dalam teks-teks lain.  Entah GM jatuh hati atau mungkin frutasi dengan kekerasan yang tak kunjung dapat dipukul mundur dari peradaban manusia, GM menulis seperti ini;

    “tapi jangan-jangan kita berlebihan. Perjuangan politik bukanlah drama moralitas tentang yang “luhur” dan yang “berdosa” Ahimsa sebagai sebuah strategi dan setiap strategi bisa keliru. Jika ada yang tak keliru itu adalah keberanian untuk berkata “tidak” kepada yang lalim tapi punya bedil. Di dalamnya ada keberanian untuk gugur dan tertawa.”

    Dalam imajinasi saya, Simone De Bouvoir kemudian tersenyum dan mengucap terimakasih kepada Gandhi, entah apakah sempat Gandhi membaca buah karya “the second sex” buah karya Simone atau tidak, yang pasti Simone De Bouvoir akan tenang disana karena teori feminisme yang dilahirkannya dapat tumbuh melintasi batas teritorial negara dan rezim budaya bercorak patriarkis yang diwariskan turun temurun. Mungkin juga hingga hari ini di Indonesia.

    Dalam bagian epilog yang benar-benar epilog, izinkan saya mengutip mantra Simone De Bouvoir yang pasti diaminkan oleh Gandhi;

    “Freedom Is Source from which all significations and all values spring. It is the original condition of all justification of existence”

    (Simone De Bouvoir)

    Penulis adalah Dosen dan Aktivis, Alumna SPK VII CRCS UGM.

    Tulisan singkat ini pernah dipresentasikan dalam acara diskusi Tadarus Buku  Asia Afrika Reading Club (AARC), 4 Oktober 2017.

    [1] Narasi tersebut dilatarbelakangi oleh sejarah pergerakan kemerdekaan di India. Tercatat bahwa sejarah India yang panjang secara umum dipengaruhi oleh tiga invasi besar, Invasi Arya tahun 1500 SM. Invasi Islam tahun 1000-1700 M dan invasi Inggris tahun 1750 M. Selama itu pula India tidak pernah mengenal kesatuan politik yang riil, kecuali yang dipaksakan oleh Inggris. Padahal India mempunyai kesatuan geografis yang fundamental, kelihatannya hal ini disebabkan beragamnya ras dan setiap ras tidak saling membaur, tetap terpisah dan bermusuhan. Terpisah oleh keturunan, kebudayaan dan oleh kepercayaan. Keadaan ini berlanjut terus sampai India memperoleh kemerdekaannya dari Inggris. Peran Gandhi cukup signifikan, sejak ia tinggal di Afrika selatan selama kurang lebih dua puluh tahun dan beberapa kali masuk penjara. Pada 1896, setelah peristiwa kekacauan dan bentrokan dengan kaum kulit putih Afrika Selatan, Gandhi mulai membaca dan belajar tentang kebijakan perlawanan pasif dan non-cooperation terhadap otoritas Afrika Selatan. Gandhi mulai mengambil peranan dalam proses perlawanan terhadap Inggris. Pemikiran Gandhi sangat dipengaruhi oleh tulisan – tulisan Leo Tolstoy dan Henry david Thoreau. Pemikiran Thoreau inilah, khusunya mengenai civil disorbedience yang banyak mengilhami Gandhi dengan mengungkapkan istilah lain satyagraha, tetapi dengan maksud dan tujuan yang sama. Selama Perang Boer di Afrika selatan, Gandhi menorganisir pasukan ambulans untuk pasukan Inggris serta mengomandoi satu unit palang Merah. Seusai perang, dia kembali ke kegiatannya mengampanyekan hak – hak orang India. Akhirnya pada tahun 1914, Pemerintah Uni Afrika Selatan mengeluarkan suatu konsesi penting terhadap tuntutan Gandhi yang berisi pengakuan akan pernikahan dan keturunan India sebagai warga Negara Afrika selatan dan abolisi (penghapusan) untuk pajak khusus bagi kelompok mereka.  Setelah itu, Gandhi kembali ke India dan memimpin perlawanan terhadap penjajah Inggris. Orang – orang India menginginkan kemerdekaan penuh dengan Undang – Undang dan aturan sendiri bagi negara mereka. Sama halnya dengan apa yang dilakukannya di Afrika Selatan, Gandhi mengadvokasikan satyagraha, melancarkan aksi – aksi dan gerakan tanpa kekerasan melawan Pemerintah kolonial Inggris. Selain satyagraha, Gandhi juga mengajak seluruh rakyat dan masyarakat India untuk tidak tergantung kepada Pemerintah kolonial dalam pemenuhan kebutuhannya. Ia mengampanyekan independensi ekonomi untuk India, boikot barang – barang produksi Inggris, dan sebagainya. Konsep perlawanan Gandhi ini kemudian dikenal sebagai swadeshi atau self governing yang sangat ampuh dan signifikan hasilnya bagi sebuah perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme. Bentuk perlawanan ini sebenarnya dilakukan atas dasar asumsi bahwa eksploitasi perusahaan – perusahaan industri milik Inggris terhadap rakyat India tidak menghasilkan apa – apa selain kemiskinan yang tidak kunjung usai dan matinya industri rumah tangga di India. Sebagai bentuk perlawanan, Gandhi mengampanyekan untuk menggunakan barang yang dihasilkan oleh rakyat India sendiri dari industri – industri kecil di desa dan gubuk penduduk. Bentuk perlawanan rakyat India dengan model ini ternyata sangat efektif dan memukul industri penjajah sehingga pemerintah kolonial tidak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan industri – industrinya.

    [2] Mau tidak mau saya akan menjelaskan sejarah perkembangan feminisme bermula, Pada abad 18-19, ciri khas feminisme diawali dengan moral Victorian. Menurut Hegel Terome moral Victorian adalah di mana para perempuan di Inggris menggunakan Ratu Victoria sebagai gambaran ideal perempuan yang sebenarnya. “Pada masa itu, perempuan dikekang, bahkan sampai cara tertawanya saja diatur. Semua perempuan harus seperti Ratu Victoria yang anggun. Jane Austen di dalam tulisannya memperlihatkan bagaimana kehidupan perempuan dikekang dan dibatasi. Hal tersebut juga menistakan dan membuat perempuan menjadi frustasi. Lain halnya dengan George Meredith juga melukiskan ketidakadilan terhadap kaum perempuan di dalam tulisannya. Pembabakan sejarah perkembangan feminisme di dunia dimulai dari gelombang pertama feminisme dimulai pada abad 19-20,The Langham Place pun menjadi pusat pergerakan untuk membentuk komite lokal dan membuat petisi. Fokus gerakannya adalah hak pendidikan, hak suara perempuan, kondisi kerja, dan penghapusan standar ganda. Sedangkan pada Abad 20, gerakan feminisme mulai menunjukkan adanya keberhasilan. Seperti perubahan pola pikir Victorian menjadi Edwarian. Perempuan lebih bebas dalam berpakaian, kekakuan hukum berkurang, hingga perempuan boleh aktif bekerja di masyarakat. Pada masa perang dunia pertama membuat perempuan di Eropa memasuki pasar kerja, dan sektor kerja yang baru. Dengan bekerja mereka mendapat upah namun sebagian besar tak mencukupi kebutuhan hidup. Banyak laki-laki yang mati dalam perang, sehingga terjadi perubahan komposisi demografis. Perang juga memecah belah kalangan feminist, ada yang menentang perang, ada yang pro perang dunia. Perang dunia menciptakan konteks baru di kalangan feminist, yakni nasionalisasi perempuan. Perempuan terus menentang diskriminasi dan menuntut hak-hak mereka. Hak selanjutnya yang dituntut oleh para perempuan adalah hak untuk berada di pemilihan dalam bidang politik. Di Indonesia sendiri saat ini, perempuan memiliki kuota 30% keterwakilan di legislatif dan ekskutif. Perjuangan masih terus dilakukan oleh para kaum feminist untuk menjadikan perempuan semakin setara dengan laki-laki baik di ruang pribadi maupun di ruang publik.

    [3] Dalam hal ini saya meriset beberapa rekam jejak kehidupan Gandhi melalui tangan atau pemikiran orang lain. Jadilah saya bertemu dengan “Sudhrir Kakar” yang menulis novel berjudul “Gandhi Cintaku”. Novel itu mengisahkan seorang tokoh sentral perempuan bernama Medeline Slade (Mira). Tokoh ini disebutkan mengenal Gandhi untuk pertama kalinya dari buku yang memuat biografi Gandhi yang ditulis oleh Romain Ronald, konon biografi tersebut meraih nobel sastra. Mira kemudian mendatangi Gandhi di India setelah sebelumnya diawali dengen korespondensi. Sikap Gandhi begitu hangat dan terbuka menerima Mira. Alhasil jadilah Mira mengabdikan hidupnya di Ashram Sabharmaji. Mira diberikan peranan besar oleh Gandhi, di novel itu diceritakan bagaimana Mira dan gandhi begitu intim, hingga membuat kasturba (Istri Gandhi) menjadi cemburu. Kisah itu akhirnya berakhir dengan sikap Gandhi yang pelan pelan menarik diri dari kehidupan Mira, ia beralasan bahwa cinta yang dimiliki Mira kepadanya sudah tidak murni lagi, karena dipenuhi nuansa kepemilikan. Jadilah Mira frustasi hingga ia kemudian bertemu dengen Privthvi Singh, namun ketidakberuntungan Mira belum berakhir, ia pun mendapat penghiburan sesaat dari Privthvi Singh namun akhirnya harus menelan kekecewaan, karena ia ditolak untuk dinikai Privthvi Singh. Mira kemudian pergi meninggalkan India dan menetap disebuah kota kecil di Wina Austria. Terlepas dari fragmen novel ini, pada intinya buku tersebut menggambarkan sosok Gandhi dari sisi yang berbeda, selain Gandhi sebagai sosok manusia yang besar nan dihargai, ia juga memotret sosok sensualitas Gandhi yang memiliki daya tarik kepada perempuan. Karena hal ini pula mungkin Gandhi lebih yaki untuk hidup sendiri dan tidak berpasangan lagi, kekhawatiran persoalan perempuan menghambat peregerakannya.

    [4] Untuk ini sedikit saya menambahkan catatan mengapa gerakan feminisme dapat berpengaruh dalam perkembangan pemikiran, juga mempengaruhi kultur masyarakat di dunia, measki arus atau gelombang ketidaksepahaman itu adalah niscaya. Adalah Simone de Beauvoir merupakan salah satu tokoh penting yang berkonstribusi sangat besar kepada gerakan hak asasi perempuan melalui pemikiran-pemikirannya. Karyanya, ‘Le Deuxième Sexe’ (1949) atau ‘The Second Sex” dicatat sebagai karya klasik yang memberikan gambaran tentang bagaimana ketertindasan perempuan terjadi, yang telah menginspirasi gerakan pembebasan perempuan di seluruh dunia. Dan jika dilihat dari sejarah perkembangan feminisme, Simone de Beauvoir dianggap sebagai pelopor teori feminisme yang sudah lebih subtantif dibandingkan dengan teori-teori yang sebelumnya. Secara umum pemikiran dari Simone de Beauvoir disebut dengan teori feminisme. Pemikiran dari Simone de Beauvoir sangatlah khas dan menarik, terutama mengenai eksistensialisme untuk perempuan, akar ketertindasan perempuan atas dominasi laki-laki. Dengan mengadopsi bahasa Ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Menurut Dorothy Kauffman Mc Call, opresi perempuan oleh laki-laki unik karena dua alasan: “Pertama, tidak seperti opresi ras dan kelas, opresi terhadap perempuan merupakan fakta historis yang saling berhubungan, suatu peristiwa dalam waktu yang berulang kali dipertanyakan dan diputar balikan. Kedua, perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan adalah tidak esensial. Perempuan telah disosialisasikan sejak mereka kanak-kanak untuk menerima, menunggu, bahkan bergantung. Mereka juga di doktrin untuk percaya bahwa nantinya akan ada seorang laki-laki yang datang menyelamatkan hidupnya dan melindunginya untuk selamanya seperti dalam cerita dongeng maupun mitos masyarakat. Dari hal tersebut Beauvoir mengungkapkan bahwa unsur ketergantungan perempuan tidak hanya bersumber dari mitos masyarakat saja, namun terlalu banyak faktor kehidupan di dalam sejarah yang tidak memungkinkan perempuan untuk mandiri. Beauvoir juga mengungkapkan bahwa dalam sebuah lembaga penikahan masih berlaku anggapan bahwa seorang suami adalah pelindung istrinya, namun kenyataanya dalam kehidupan rumah tangga sendiri banyak terjadi kasus kekerasan terhadap istri di dalam rumah tangga, dan ketika berada di masyarakat, gerak-gerik seorang istri masih terus diawasi hingga sangat mendetail dan masa depan istri seringkali dimanipulasi sesuai kehendak suami.

    Dalam teorinya Beauvoir juga menelaah bagaimana perempuan menjadi tidak hanya berbeda dan terpisah dari laki-laki, tetapi juga inferior terhadap laki-laki. Ia mengatakan bahwa meskipun ahli biologi, ahli psikoanalis Freud dan para ekonom Marxis telah membantu menerangkan alasan-alasan terhadap “ke-Liyanan” perempuan, para filsuf eksistensialis memberikan penjelasan yang terbaik atas fenomena itu. Beavoir berulang-ulang mengatakan bahwa fakta biologis tentang perempuan, -misalnya, peran utamanya dalam reproduksi psikologis relatif terhadap peran sekunder laki-laki, kelemahan fisik perempuan relatif terhadap kekuatan fisik laki-laki, dan peran aktif yang dimainkannya dalam hubungan seksual adalah relatif terhadap peran aktif laki-laki, dapat saja benar, namun bagaimana kita menilai fakta ini bergantung pada kita sebagai makhluk sosial.

    [4] Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-kajian Sosial dan Hukum, Setara Press, Jakarta, 2013, hlm. 115-116

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here