Penulis : Vian S (Abah Senja)
Tahun Tanpa Tuhan, Novel ini mencipta banyak ruang romantik, psikolosis, avountur, sosial dan budaya, hal itu bisa pembaca saksikan ketika mengarungi perjalanan kisah seorang pemuda yang bernama Maula dengan beban pengembaraan spiritualnya yang tidaklah dangkal dan biasa-biasa saja, bagaimana keadaan memaksanya untuk bersikukuh menggenggam cintanya ke hadapan Ilahi.
Seperti apa yang dipaparkan oleh Putu Wijaya, Novel adalah sebuah uraian mendalam tentang suatu tema yang diungkapkan dalam cerita. Ia bukan semata-mata kisah tetapi juga perenungan. Penukikan ke satu titik, sehingga menyentuh dasar persoalan. Sasarannya ialah memberi pengalaman baru kepada pembaca, baik karena caranya bercerita, daya ungkap dan kemampuannya membedah, maupun karena sudut pandang yang dipilihnya. Novel adalah usaha untuk menyingkap makna yang tersembunyi dalam kehidupan. Ceritanya sendiri bukanlah tujuan, tetapi alat jebak jaring rahasia yang disusup sisipkan secara lihai, membuat pembaca dapat diseret untuk ikut melakukan pengembaraan spritual.
Melihat pemaparan tersebut, sebagai seorang penulis, aku pikir Sanghyang Mughni Pancaniti dengan novel Tahun Tanpa Tuhan miliknya telah melewati berbagai situasi yang memaksanya keluar dari zona yang biasa-biasa saja, sekaligus mengajak pembaca untuk bertarung dan terluka di dalam zona yang ia ciptakan.
Perhatikan ungkapan hati Maula yang ia pinjam dari Cak Nun untuk perempuan yang cintanya ia Tuhankan berikut ini “Telah berpuluh kali jantungku meledak tak mati-mati, Salma sayang, duhai Salma sayang, rinduku untuk menyatu denganmu telah amat tua dan sakit.” Mughni begitu lihai tentang bagaimana caranya mengenalkan sebuah perasaan kepada pembaca, dia tidak main-main, suasana ini bahkan membuat dada pembaca meledak bertubi-tubi. Tanpa henti.
Di beberapa bagian, Mughni menyimpan banyak pesan tentang budaya, Dia meniupkan banyak kegelisahan pada diri tokoh-tokoh yang diciptakan, ada rasa getar gemetar dalam diri penulis yang terasa ke lengan dan dada pembaca, ketika dirinya merasa risau akan dominasi budaya asing hari ini, ia takut kehilangan jati diri, ia tidak ingin menjadi manusia yang lupa pada tanah yang terciprat darah ibunya. Sunda.
Cinta dan luka dibuatnya manunggal, jatuh, gemuruh menimpa banyak ruang di bawahnya, novel ini membangun keadaan yang semifiksi, dilihat dari settingan lokasi yang digunakan begitu akrab dengan penulis yaitu Bandung dan Garut. Secara alur, pembaca bisa saja menduga-duga bagaimana akhir dari perjalanan cinta Maula kepada Salma, tapi Mughni membuka ruang lain, yang membuat pembaca ketar-ketir mempermainkan perasaannya sendiri, sampai akhir. Menunggu bukti.
Penulis tidak gegabah dalam meniupkan ruh ke dalam diri tokoh-tokoh dalam novelnya, hal itu kian tampak dengan kehadiran Damar dan Jati. Kedua tokoh tersebut seoalah mimiliki tugas khusus untuk menegakkan alur cerita agar semakin manjur dan jujur. Keduanya membuat resep cerita yang dibangun Mughni menjadi sangat sempurna.
Begitu juga dengan tokoh lainnya, kisah ini semakin ngeri, tidak seperti yang saya bayangkan di saat awal membaca, Ismail Kholilullah, Mang Dorman, Purnama, Nendhen, Bajat, Bi Waro, Toni, Indah dan yang lainnya terlihat bahu membahu untuk menjelaskan kisah yang dititipkan pada mereka, ada adat (Sunda) yang lekat, kalimat yang ajimat, pengembaraan dari mula menuju tiada, dan sebuah perjalanan menuju Tuhan.
Mughni dalam novel ini, membangun cinta yang tidak berlebihan, sehingga kalimat yang ia bangun tidaklah gemerlap dengan pernak-pernik kata yang anggun dan gemulai, ia menampakkannya dengan sangat sederhana, begitu dekat dengan dada pembaca, sehingga semua detak yang ada dalam cerita terdengar kemana-mana, ungkapan-ungkapannya yang akurat dan padat seolah tak ingin berdamai dengan pembaca, sebagai penulis lagi-lagi Mughni menjelaskan bahwa cinta bukanlah rayuan, tapi perkelahian, sebagaimana Mughni berhasil mengajak para pembaca untuk berkelahi dengan dugaannya masing-masih yang ia kurung dalam kisahnya.
Mari kita simak salahsatu penggalan paragraf pada bab Tahun Tanpa Tuhan “Ya memang, cinta yang membenam di dada Maula kepada Salma bagai cinta yang membuat Sualaiman mendapatkan hikmat pengetahuan, cinta yang menetes pada Helena sehingga membuatnya menghancurkan Tarwada, cinta yang juga menggaung pada diri Cleopatra yang membuat lembah Nil diliputi kedamaian. Tapi, cinta Maula pun bagaikan cinta Rahwana kepada Shinta, yang membuatnya rela mengorbankan seluruh kerajaannya, serta membiarkan rakyatnya bersimbah darah. Atau seperti cinta Adam yang terciprat kepada Hawa, dan membuatnya melabrak larangan Tuhan Alam Semesta.” Kalimat ini terdengar begitu kuat, manis dan sungguh berani, bagaimana penulis menguak dua sisi cinta yang berperang di dada Maula, novel ini adalah pertempuran yang Mughni abadikan.
Hal yang begitu manis adalah ketika Mughni seolah mencoba memberi pemahaman bahwa romantis tak melulu harus puitis. Kalimat-kalimatnya yang jujur dan sederhana membuka jendela, menerangkan bahwa sikap romantis adalah pemberian yang tak bisa dicipta dan direka-reka.
Memasuki halaman demi halaman, novel ini terlihat biasa-biasa saja dengan alurnya yang maju mundur, sebelum pada akhirnya pembaca akan berbenturan dengan sebuah ruang dimana Mughni benar-benar menampakkan diri untuk mengajak para pembaca BERKELAHI.
Untuk mengetahui siapa pemenangnya, kita harus memasuki ruang demi ruang yang dibangun Mughni tersebut dengan membawa banyak amunisi, pembaca bisa saja menang dengan dugaannya, lebih dari itu pembaca juga bisa tersungkur penuh luka.[]
Cirebon, 2019