YOGYAKARTA, KabarKampus – Kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) berujung damai. Terduga pelaku berinisial HS dan Agni (bukan nama sebenarnya) korban, telah menyepakati memilih penyelesaian secara internal atau non litegasi.
Hal ini seperti diungkapkan Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., Rektor UGM dalam keterangan persnya di Gedung Pusat UGM, Senin, (04/02/2019). Jalur non litegasi ini disebutkan rektor juga merupakan keinginan Agni.
Menurut Panut, terduga pelaku telah menyatakan menyesal dan memohon maaf atas peristiwa yang terjadi pada saat KKN di Maluku pada bulan Juni 2017 lalu dan telah diwajibkan mengikuti mandatory counseling dengan psikolog klinis. Sementara Agni akan mengikuti trauma counseling dengan psikolog klinis.
“UGM memfasilitasi dan menanggung sepenuhnya kebutuhan dana konseling kedua pihak,” kata Panut.
Kemudian, tambah Panut, mereka juga memberikan dukungan dana kepada Agni sesuai dengan yang dibutuhkan untuk penyelesaian studi setara dengan komponen beasiswa BIDIK MISI. Biaya tersebut berupa pembiayaan UKT dan bantuan biaya hidup.
Untuk kedua Fakultas tempat keduanya bernaung, Panut memberikan mandat untuk mengawal proses pendidikan bagi terduga pelaku dan Agni. Mereka diberikan kesepakatan untuk dapat menyelsaikan pada bulan Mei 2019 mendatang dan memastikan bahwa seluruh klausul dalam kesepakatan penyelesaian perkara ini dilaksanakan oleh para pihak.
“Baik Agni maupun HS dan UGM menyatakan bahwa perkara ini telah selesai, tinggal menyelesaikan proses-proses yang harus dijalani tersebut,” terang Panut.
Selanjutnya kedepan, UGM akan melakukan pembenahan tata kelola penanganan perkara serupa. Kemudian juga melakukan upaya-upaya preventif agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si., Dekan Fisipol UGM menegaskan keputusan ini diambil oleh Agni maupun HS bersama UGM secara sadar tanpa ada tekanan ataupun paksaan dari pihak mana pun. Ia juga telah mengawal proses pembicaraan di antara para pihak tersebut dan mendengarkan keinginan dari mahasiswinya untuk memastikan munculnya penyelesaian yang adil bagi masing-masing pihak.
“Munculnya kesepakatan ini lewat proses yang secara sadar diambil oleh saudari AN, bukan kami yang mendikte. Tugas kami adalah mendengarkan dan mengawal agar saudari AN mendapatkan keadilan, kami tidak ingin memaksakan pendapat kita,” jelasnya.[]