More

    Tak Percaya KPU, Bahayakan Demokrasi

    Aksi BEM SI di kawasan CFD, Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu, (17/02/2019). Dok. Istimewa

    Pemilihan Umum 2019 tinggal menghitung hari. Suasana panas antara dua kubu pun makin terasa baik di dunia maya maupun nyata. Tak terkecuali mereka yang percaya (melegitimasi) dan tidak percaya (mendelegitimasi) penyelenggaraan Pemilu 2019, terutama Komisi Pemilihan Umum.

    Soal legitimasi dan delegitimasi Pemilu 2019, Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM melalui Laboratorium Big Data Analytics melakukan analisis big data tentang isu-isu tersebut. Data diperoleh melalui percakapan di dalam media social twitter dan 270 media online selama rentang waktu 10 hari, 22 Maret – 1 April 2019.

    Data hasil analisis percakapan di twitter, tercatat sebanyak 6.945 percakapan tentang legitimasi maupun delegitimasi terhadap pemilu 2019. Dari data tersebut sebanyak 4.405 percakapan menampilkan ketidakpercayaan terhadap KPU. Sementara legitimasi pemilu 2019, yaitu sebanyak 2.540 percakapan.

    - Advertisement -

    “Kami menemukan terdapat percakapan yang mendelegitimasi (ketidakpercayaan) KPU, yang secara sistematis dibuat dan disebarluaskan melalui platform media sosial twitter, dan banyak dari akun-akun tersebut yang mematikan setting lokasinya,” ujar Sigit Pamungkas, S.IP., M.A, saat menyampaikan data analitik terkait legitimasi dan “delegitimasi Pemilu 2019 bertajuk Peta Ancaman Legitimasi Pemilu 2019″ di Digilib Café Fisipol UGM, Kamis (04/04/2019).

    Sigit menyebut secara sebaran geografis, dari 1.705 percakapan yang berhasil dideteksi lokasinya, percakapan terkait dengan isu delegitimasi pemilu 2019 banyak terkonsentrasi di Jawa Barat (465) dan DKI Jakarta (352). Sementara itu, secara kualitatif-kuantitatif melalui analisis word-cloud serta penelusuran akun-akun terkait, ditemukan netralitas penyelenggara atau KPU menjadi poin yang sering diputar dan menjadi isu krusial baik bagi kelompok yang melegitimasi maupun yang mendelegitimasi pemilu 2019.

    “Dulu ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu itu bersifat natural, tidak ada proses mengakselerasi, merekayasa untuk mengatakan KPU berpihak, untuk mengatakan KPU curang. Untuk saat ini proses itu ada semacam fabrikasi dan memproduksi itu sedemikian rupa sehingga benar-benar menancapkan ke benak pemilih (public) bahwa benar KPU curang, padahal faktanya tidak demikian,” ucapnya.

    Bagi Sigit, upaya delegitimasi, baik dengan gerakan-gerakan demontrasi maupun terus mengkampanyekan ada kecurangan, akan merugikan siapapun yang memenangkan pemilu. Selain itu juga membahayakan bagi tatanan demokrasi.

    “Meski begitu, semua bisa dinetralkan dengan munculnya civil society yang menampilkan data pemilu itu apa adanya karena ujung dari kontestati ini adalah hasil pemilu, hasil pemilu itu adalah mahkotanya pemilu,” terang Sigit.

    Menurut Sigit, harus ada civil-society yang mau menampilkan data pemilu sehingga semua pihak bisa melihat dan bisa mereduksi kecenderungan akselerasi delegitimasi. Namun tambahnya, sebenarnya, adanya pemantau internasional, bukan barang baru. Sejak 1999 dan pemilu 2004 sudah diundang, baik itu perwakilan kedutaan, lembaga-lembaga yang mengkontruksikan dirinya dalam pemantauan, dan penyelenggaraan pemilu di luar negeri.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here