Skema kedua adalah ketika muncul dan tumbuhnya pihak swasta atau privat, yakni para pengusaha angkot atau pebisnis transportasi perkotaan itu di era pra big data, dan keberadaannya masih ada sampai saat ini. Maka pemerintah negara-pun “menyerahkan” tanggungjawabnya kepada para korporat tersebut dalam mengelola bisnis transportasi dengan kewajibannya untuk membayar pajak kepada negara. Nah, ketika tidak ada pesaingnya, maka penyelenggaraan bisnis ini dalam penyediaan dan pengelolaan angkot, berkemungkinan terjadi monopoli. Pasar monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual (jasa transportasi) yang menguasai pasar yang juga menentukan harga pada pasar, biasanya disebut sebagai “monopolis”. Ketika harganya murah berkemungkinan pelayanan pun “seadanya”, dan karena dimonopoli, maka para konsumen atau penumpang juga tidak punya pilihan lain. Maka tidak mengherankan jika kemudian muncul pesaing dalam bisnis transportasi bahkan dengan pelayanan yang berbeda atau lebih baik, maka skema kedua ini bisa berubah. Perubahannya adalah pada bertambahnya kuantitas pemain pasar dan kualitas pelayanan dalam bisnis transportasi.
Skema ketiga (dan mungkinkah ini menjadi kontra-skema bagi skema-skema sebelumnya?) adalah ketika belakangan ini muncul, tumbuh, dan berkembangnya bisnis transportasi yang didukung oleh kemajuan dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), namun berkonsekuensi pada harga yang lebih mahal bagi para konsumen. Layanan transportasi itu yang biasa kita sebut sebagai ojek online, semacam mengkoplokeun (istilah para Anggota GSC) antara layanan transportasi dengan TIK yang bisa diakses melalui aplikasi di handphone/mobilephone setiap orang, memang menawarkan hal yang berbeda dengan ojek tradisional (sebut saja begitu) seperti angkot. Bahwa skema turunan dari skema kedua ini juga melibatkan lebih banyak orang (dalam hal ini para sopir atau driver), tapi substansinya dalam relasi produksi atau permodalan/kapital tidak bergeser dengan optimal atau lebih jauh. Memang para pemodal atau sang kapitalisnya bertambah intensif pelakunya (pemodal di aplikasi dan juga pemodal alat transportasinya seperti motor dan mobil), termasuk para buruh/pekerjanya (driver). Sebagian besar para sopir ojek online yang pernah saya wawancarai adalah mantan buruh/pekerja di pabrik-pabrik dan perusahaan lainnya yang dipecat, tidak berlanjut kontraknya, atau pilihan sadar karena menjadi sopir ojek online lebih bebas atau bekerja dengan fleksibel, dan bisa lebih banyak mengumpulkan uang. Ojek online ini juga menawarkan pelayanan yang lebih personal karena calon penumpang dijemput langsung dan diantar langsung ke lokasi asal dan tujuan dengan lebih tepat dan cepat. Meskipun variabel cepat ini juga dipengaruhi faktor lain: macet atau tidaknya jalan raya/jalur yang dilalui!
Jadi, skema ketiga yang diharapkan menjadi kontra-skema dari dua skema sebelumnya itu apa? Sederhananya yaitu ketika pihak yang menyediakan pelayanan dan pengelolaan bisnis transportasi itu sejak hulu sampai hilirnya adalah juga para sopir dan para penumpangnya sekaligus. Apakah itu terbaca sebagai sesuatu yang rumit? Sederhananya, relasi produksinya berubah, yakni menjadi koperasi. Tentu saja ini akan berdampak besar dalam perubahan skema bisnis transportasi, khususnya hubungan atau relasi antara negara dengan warga negara yang juga konsumen dalam pasar transportasi, dan korporasi yang menjadi koperasi. Berbagai pengetahuan dan pengalaman tentang pengelolaan dan pelayanan bisnis transportasi yang sudah ada, kemudian diubah relasi produksinya. Tentu saja ini bisa menjadi revolusi bisnis transportasi, masalahnyanya adalah mau atau tidak mau kita melakukannya?
Penulis: Virtuous Setyaka, Dosen HI FISIP Unand, Mahasiswa S3 HI Unpad, Aktivis Koperasi MDM, dan Anggota Gostrategy Study Club (GSC) Indonesia.
Terima kasih banyak Kanda, sudah membuka hati saya untuk membaca sejarah Banten, ini sangat penting untuk di publikasikan ke orang-orang banten khususnya.
Mantap pokonmah kanda Kuntul hehe