More

    Tantangan Kepolisian Pasca Kisruh Pemilu

    Penulis : Arinaldo Habib Pratama

    Ilustrasi

    Kisruh Pemilu yang sangat menyita perhatian (terutama karena adanya ancaman pembunuhan terhadap berbagai tokoh nasional), membuat semua mata tertuju kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Investigasi terus berjalan dan berbagai aktor sudah mulai ditemukan, bahkan modus operandi juga sudah dipaparkan satu persatu di depan media.

    Selama dua minggu ini (pra kejadian-pasca kejadian), ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari penggelaran polisi (termasuk brimob) di berbagai lokasi strategis di ibukota:

    - Advertisement -

    Pertama, di lapangan,polisi berhasil menangkal massa yang berasal dari luar DKI Jakarta, sehingga demonstrasi yang berlangsung menjadi terpecah dan tidak terkonsolidasi dengan baik.

    Kedua, Kapolri saat ini, Tito Karnavian, mampu menjadi panutan masyarakat dengan menggelar investigasi secara teliti dan berhasil menangkap berbagai aktor intelektual. Wibawa Polri saat itu semakin diperkuat dengan pernyataan “People Power tak patuh aturan sama saja dengan makar”.

    Ketiga, Polisi berhasil merebut simpati masyarakat yang jengah dengan berbagai provokasi dan hoax yang berujung pada mobilisasi massa.

    Namun, di sisi lain, gambaran besar yang bisa kita tarik disini adalah bagaimana Polri menegakkan UU yang secara langsung dan tidak langsung sangat berkaitan dengan keberlangsungan aksi tersebut (terutama Pasal 107 KUHP dan UU ITE). Penanganan dan edukasi masyarakat terhadap hoax dianggap tidak berlangsung secara mumpuni oleh kementerian atau dinas terkait, namun penangkapan terus berlangsung. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai polisi terlalu mudah menjerat seseorang dengan pasal tersebut.

    Hal selanjutnya yang patut dijadikan pertanyaan adalah penangkapan yang berlangsung dengan semangat restorative justice dalam Grand Strategi Polri 2005-2025. Untuk perkara hoax dan kabar bohong, terhadap pihak-pihak yang bersengketa Polri terkadang menggunakan restorative justice terhadap pihak yang bersengketa. Namun untuk situasi saat ini, pelaku-pelaku yang tidak memahami berita asli atau palsu bahkan tidak dipertemukan dengan pihak yang mengadukannya.

    Jadi, pertanyaan yang bisa terlintas adalah bagaimana wewenang Polri pasca kisruh ini selesai.

    Pada masa lalu (Orde Baru), Polri bergerak berdasarkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN 1993, pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur yang memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan. Kedua, penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas tapi manusiawi berdasarkan atas kepastian hukum, tertib sosial dan disiplin nasional serta mendukung pembangunan, stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Disiplin nasional, tertib sosial, stabilitas dan istilah lain adalah hal yang berada dibawah interpretasi pemerintah dan hal-hal tersebut haruslah mendahului hukum (baca Bambang Yuniarto, Kedudukan dan Fungsi Polisi dalam Sistem Politik). Pada saat yang sama, sebagaimana ABRI, Polri bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan.

    Sedangkan saat ini, sesuai dengan UU Kepolisian, Kapolri langsung bertanggung jawab kepada Presiden, dan segala tindakan yang berkaitan dengan gerakan politik atau aliran yang dapat mengancam kesatuan bangsa, diawasi dan jika ada gerakan massa, langsung diterima izinnya oleh Kepolisian Republik Indonesia (lihat pasal 15 UU Kepolisian). Berbeda dengan TNI yang berada di bawah Kementerian Pertahanan, Kepolisian didampingi oleh Komisi Kepolisian Nasional yang berwenang memberi masukan terkait pengembangan Kepolisian Republik Indonesia, termasuk tindak tanduk yang sudah diambil.

    Situasi yang sudah dijelaskan ini berkontribusi pada situasi-situasi seperti berikut :

    Situasi pertama adalah semakin tegasnya pemisahan tugas antara TNI dan Polri, membuat masyarakat dan civil society semakin teliti mengawasi Polri jika tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebagaimana pameo yang disampaikan oleh Bapak Sosiologi Indonesia Prof Dr Selo Soemardjan menyatakan; “Polri institusí yang paling transparan karenanya Polri banyak dicerca ketimbang dipuja. Pameo; jika saya salah tak seorangpun lupa, jika saya baik tak seorangpun ingat”.

    Situasi kedua adalah dengan revisi petunjuk pelaksanaan Polri (yang tentunya terpisah dari TNI) dan reformasi institusi Polri, Polri (seharusnya) bergerak ke arah community policing, yakni selain menegakkan hukum, tapi juga membantu masyarakat memecahkan masalahnya.

    Situasi terakhir adalah dengan Polri sebagai tulang punggung keamanan nasional, cara-cara militeristik dan abusif sebaiknya mulai di jauhi, dan perbanyak interaksi dengan masyarakat sehingga permasalahan yang bisa memunculkan tindakan pidana (seperti upaya pecah belah) bisa diatasi.

    Isu-isu seperti makar di satu sisi akan memperkuat posisi Kepolisian dalam menegakkan ketertiban, namun di satu sisi bisa menghasilkan overeaching jika masyarakat sipil tidak mengawasi . Untuk makar, misalnya, merupakan delik biasa yang akan terus berlangsung pengusutannya (bahkan jika pihak yang dianggap dirugikan ternyata tidak berpikir demikian dan mediasi berjalan), hingga bisa dibuktikan secara objektif (saksi ahli) apakah hal tersebut sesuai dengan UU ITE (menghasut permusuhan) atau sesuai dengan pasal 107 KUHP. Belum lagi, masyarakat harus terus mengawasi profesionalisme Polri dalam melakukan penyelidikan dan mengamati apakah tersangka mendapatkan hak-hak yang seharusnya didapatkan selama penahanan.

    Jika seandainya UU ITE belum bisa direvisi dalam waktu dekat (termasuk perubahan dari delik biasa menjadi delik aduan) sehingga UU ITE hanya bisa diselidiki dengan adanya aduan, setidaknya koordinasi dengan lembaga dan kementerian seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme harus terus berlangsung, sehingga bisa diketahui mana yang punya kapasitas untuk melakukan kekerasan dalam skala besar atau masyarakat awam yang hanya membagikan berita yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya. Untuk golongan kedua, sebaiknya dilakukan restorative justice dan edukasi mengenai berinternet secara sehat.

    Selanjutnya, Kepolisian juga harus memperhatikan demografis penduduk yang sering membagikan kabar bohong. Tindakan preventif yang bisa diambil adalah melakukan pelatihan di tingkat RT sampai kota, melalui bimbingan petugas polisi yang ditugaskan. Masyarakat bisa berdiskusi tentang bagaimana cara membedakan berita yang bisa diverifikasi dan yang tidak.[]

    *Alumnus Program S2 Universitas Pertahanan, Pengamat Pertahanan dan Keamanan

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here