More

    Alienasi, Eksistensi dan Manusia Otentik Indonesia

    Penulis : Mochamad Gilang Bintana

    Ilustrasi / Foto : Adi Constantin

    “…i am alien, i am the legal alien, i’m Englishman in New York… Be your self no matter what they say…”

    Englishman in New York selalu menjadi salah satu lagu favorit saya, lagu yang entah bagaimana selalu terdengar tanpa sengaja di cafe-cafe yang mengantarkan kesendirian, dalam hiruk pikuk Kota Kembang yang dingin dan sedang dingin-dinginnya belakangan ini. Terlepas bagaimana Sting menuliskan liriknya, namun lagu tentang kisah Quentin Crips, temannya ini meransang saya untuk berpikir tentang identitas, eksistensi, dan hal-hal yang mendefinisikan manusia sebagai makhluk bernilai dan bebas.

    Dinginnya Bandung tidak menjadi dingin ketika kita menemukan kawan-kawan yang hangat dalam berdiskusi dan dapat meransang diri untuk berkelana lebih sering dalam alam idea.

    Alienasi atau proses menuju keterasingan kian hari kian terasa akrab. Bahkan serta merta sadar atau tidaknya kita semakin berubah menjadi orang-orang asing, alien bahkan untuk diri sendiri. Konsep keterasingan yang populer, merujuk pada teori yang dikemukakan Marx untuk menjelaskan keadaan yang dialami oleh kaum buruh atau pekerja yang tentu saja keadaan ini identik dengan kritik terhadap kapitalisme. Alienasi dipandang sebagai akibat dari kapitalisme yang paling nyata yang dialami oleh para buruh atau pekerja. Menurut Marx muda ada empat keadaan dimana buruh teralienasi dalam masyarakat borjuis: pertama, oleh hasil kerjanya, yang menjadi “objek asing yang memiliki kekuasaan atas dirinya”; kedua, terasing dari aktivitas kerjanya, dimana aktivitasnya justru ‘ditujukan untuk melawan dirinya sendiri’, seolah-olah aktivitas kerja itu ‘bukan miliknya’; ketiga, terasing dari ‘dirinya sendiri sebagai manusia/man’s species-being”, yang ditransformasukan menjadi ‘sesuatu yang keberadaannya asing baginya’; dan keempat, oleh manusia lain, dan dalam hubungannya dengan ‘kerja mereka dan objek kerja’.

    - Advertisement -

    Alienasi sendiri sudah menjadi tema populer dalam kajian eksistensialisme di Prancis pada awal abad 20 sebagai reaksi atas terlepasnya individualitas manusia terhadap dunia pengalamannya. Selama berpuluh tahun alienasi pun banyak menjadi konsep yang dibahas dalam berbagai ranah keilmuan namun cenderung terlepas dari hubungannya dengan fenomena sosial. Tentu hal ini sebenarnya jauh dari teori yang dikemukakan Marx muda kala itu. Namun pada tahun 1960an akhir, corak kajian alienasi mulai dipahami kembali sebagai teori yang berhubungan dengan keadaan sosial. Munculnya publikasi karya Marx tua memunculkan sebuah solusi untuk mengatasi alienasi dalam praktik menuju aksi politik dan pergerakan sosial untuk mengubah kondisi sosial kelas buruh dan pekerja. Pada momen ini istilah alienasi mulai populer bahkan tidak hanya ada dalam kuliah dan kelas-kelas filsafat tapi ramai diperbincangkan di jalan-jalan dan ruang-ruang pergerakan sebagai kritik kepada masyarakat borjuis secara umum.

    Percakapan semakin menarik saat saya mencoba menghubungkan alienasi dengan pemikiran Zlavoj Zizek yang menyatakan bahwa subjek merupakan dialektika itu sendiri. Keterasingan menurut Zizek justru menegaskan identitas dan membentuk identitas itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Simone de Beavoir tentang menjadi manusia bebas adalah menjadi subjek. Muncul istilah subjek dan liyan  untuk menjelaskan sesuatu yang esensi dan sesuatu yang lepas dari esensi yang juga dikonstruksi oleh budaya. Subjek-subjek ini dapat dipandang sebagai subjek secara individu maupun subjek secara kolektif. Subjek menjadi dialektika sejarah yang bergerak, dengan menggunakan kacamata subjek hegelian, subjek menciptakan realitas. Realitas sendiri adalah hasil dari kesadaran subjek kolektif dan memiliki pengaruh yang timbal balik pada perkembangan subjek. Subjek menjadi imitasi dari realitas dan realitas adalah ciptaan kesadaran subjek yaitu masyarakat. Subjek inilah yang menjadi subjek dialektis tersebut yang bersifat paradoksal.

    Membahas subjek dalam individu tentu akan mengaitkan dengan eksistensi manusia bagaimana fetisisme komoditas menjadi hal-hal yang eksis dan populer untuk mendefinisikan manusia kekinian. Hal ini suda dikemukakan Marx dan kembali disinggung oleh Zizek dalam karyanya. Munculnya nilai kenikmatan yang mempengaruhi manusia, membelai eksistensinya dalam mendefinisikan realitas yang malah semakin mengasingkan manusia dan semakin menjadikan realitas itu kosong dan semu. Manusia secara tidak sadar mengalami alineasi yang bersetubuh dalam fenomena zaman, manusia ini bukan lagi kaum buruh atau pekerja tapi juga para konsumen.

    Di tahap ini, konsumerisme memiliki hubungan kuat dengan keterasingan. Manusia berlomba-lomba mencapai kehidupan-kehidupan yang simbolik, yang semu, dan menjauhkan eksistensi dan esensi. Manusia semakin tidak mengenal dirinya sendiri.

    Menilik pada fenomena populer yang muncul dan terdeteksi dalam banyak karya seni kekinian yang sering membicarakan tentang kesembuhan mental yang berarti ada mental yang sakit, dan sakit mental ini tidak lagi subjektif individu tapi subjektif kolektif, dijumpai di dalam masyarakat. Munculnya lagu-lagu seperti album Mantra-Mantra Kunto Aji, beberapa lagu dari Hindia, Barasuara dan banyak karya seni lainnya menandakan fenomena penyakit mental ini sedang terjadi dalam masyarakat. Tanda ini pun memunculkan sebuah pencerahan atas kesadaran tiap subjek bahwa ada yang salah dan ada yang tercerabut dalam kehidupan kini, yaitu kebebasan. Ketiadaan kebebasan membuat manusia menjadi tidak manusiawi dan dapat berdampak pada masalah-masalah psikologis misalnya skizofrenia sosial, disfungsi sosial dan lain-lain. Sebagai mana yang tadi disinggung bahwa kebebasan itulah yang menjadikan subjek menjadi subjek yang sejati. Kemudian eksistensialisme mengambil peran penting disini yaitu bagaimana subjek bertransformasi menjadi manusia otentik.

    Hal ini menjadi menarik ketika mengaitkan fenomena beberapa tahun kebelakang tentang kehidupan yang otentik menjadi tema yang populer. bahkan muncul tagar-tagar seperti #liveauthentic dan sejenisnya yang malah merujuk pada gaya hidup ala hipster atau sub-kultur yang tidak menjadi populer atau menjadi cikal bakal kultur populer itu sendiri. Tapi apakah otentisitas ini menjadi benar-benar otentik atau tidak? Otentisitas menjadi indikator bagaimana manusia memberikan kontra skema atau solusi terhadap alienasi, pun dalam hal ini kita dapat melihat keterasingan atau alienasi itu menegaskan identitas subjek dan membentuk subjek itu sendiri. Sampai saat ini manusia semakin berlomba-lomba menjadi otentik, tetapi otentisitas yang seperti apa? dan apakah otentisitas sama halnya dengan gaya hidup?

    Istilah manusia otentik secara singkat merujuk pada kebebasan dan kebahagiaan yang didapat dalam kesadaran optimal. Artinya disini manusia sebagai subjek memahami benar tentang hakikatnya hidup dan mewujudkannya kembali dalam sikap dan cara hidup mereka sendiri, yang mereka definisikan sendiri (bahkan menjadi liyan). Sebenarnya manusia otentik sendiri telah menjadi cara hidup dan obsesi manusia, misalnya kehidupan para seniman. Seniman selalu dipandang menjadi subjek yang otentik hal inilah yang membuat seniman mendapatkan tempat khusus dalam dunia sosial, karena otentisitas mereka yang liyan menjadikan mereka mampu melihat dunia dalam kacamata yang otentik.

    Zaman berubah menjadi semakin terbuka, hubungan sosial semakin cair dalam munculnya media sosial. Proses internalisasi nilai dan sikap manusia selalu dilaksanakan dengan dua hal meniru dan membandingkan. Selanjutnya manusia menginternalisasikan nilai dan mengadaptasi-memodifikasi nilai tersebut kedalam sikap. Sikap menjadi cara hidup yang selalu tergambar dan membanjiri semua media sosial. Dalam cara hidup yang menjadi gaya hidup yang biasa, subjek menyadari eksistensi dan mulai mendefinisikan eksistensinya sendiri. Lewat proses internalisasi nilai-nilai yang otentik tersebut, subjek mulai bersikap, subjek-subjek ini secara cerdas menemukan pola yang sama sehingga membentuk subjek kolektif dan memploklamirkan diri sebagai manusia otentik. Proklamasi ini berubah menjadi tagar-tagar populer, dan dimulailah tahap paradoksal penyempitan makna otentik sekaligus menjadi kontra skema alienasi ini. Kehidupan otentik berubah menjadi gaya hidup dan menjelma dalam bentuk gaya hidup apapun. Subjek-subjek kolektif berubah menjadi komunitas-komunitas senasib seperjuangan.

    Kesadaran-kesadaran ini adapula reaksinya baik bereaksi positif dan negatif. Tidak sedikit manusia yang otentik lebih dahulu merasa ego nya terganggu karena penyempitan makna dan nilai otentik itu sendiri. Munculnya kritik sarkas terhadap orang-orang yang menikmati senja, puisi dan kopi yang termaktub dalam lirik Senja Tai Anjing yang dinyanyikan oleh Project Hambalang  bisa menjadi contoh kecil bagaimana cara hidup otentik para penyair atau seniman dalam menikmati senja dalam proses kreatifnya menjadi kurang otentik lagi. Walau senja sudah terlalu pop tapi tetap saja senja adalah sesuatu yang estetis.

    Tetapi daripada terjebak dalam diskursus siapa yang paling otentik, mungkin ada baiknya kembali pada teori Marx tentang solusi untuk mengatasi alienasi dalam praktik menuju aksi politik dan pergerakan sosial. Rasanya cara hidup ini masih memiliki nilai otentik yang cukup besar. Karena cara hidup ini tidak hanya tentang cara hidup yang bermakna tetapi membutuhkan kesadaran yang paripurna. Bukan hanya kesadaran naif  tapi melampaui itu adalah kesadaran kritis atas alam material dan realitasnya.

    Seperti kata salah seorang teman dan mentor, jalan ini masih menjadi jalan sunyi padahal inilah jalan untuk merubuhkan keterasingan atau alienasi itu. Berserikat, berkumpul dan bergerak adalah cara hidup otentik yang harus diramaikan. Dan tentu saja untuk orang yang lebih dulu melakukan cara hidup ini tidak perlu merasa risih ketika jalan ini menjadi ramai. Perasaan risih itu juga adalah sedimentasi alienasi yang membuat identitas paradoksal yang harus disadari bahwa ini adalah mental blok yang harus coba diruntukan pula. Otentisitas inipun penting untuk dijaga agar tidak jatuh pada fanatisme belaka apalagi menjadi fetisisme yang malah dapat dijadikan komoditi dan merubahnya menjadi bentuk kapitalisme lainnya. Butuh kesadaran kritis yang mumpuni agar tidak jatuh dalam eksploitasi otentisitas.

    Dalam beberapa fakta tahun 2015 disebutkan bahwa kata sosialisme menjadi kata yang paling banyak dicari di kamus daring Merriam Webster. Menunjukkan kalangan pemuda terpelajar mulai melirik sosialisme sebagai cara untuk meredefinisi eksistensi dunia, realitas, dan alam-alam materialnya. Merujuk pada Zizek yang secara terang-terangan dalam bukunya “Living in The End Times” (2010) mengatakan bahwa kita berada pada masa Post-Kapitalisme dan menuju akhir dan kematian dari kapitalisme.

    Tentu saja sebagai pemuda Indonesia kita memiliki corak tersendiri untuk menjadi manusia otentik ini, memahami dunia, merawat Indonesia. Merawat Pancasila yang sudah menjadi nilai dan jiwa bangsa Indonesia, serta menggaungkannya ke seluruh penjuru dunia. Inilah pengantar untuk menjadi Manusia Otentik Indonesia.

    *Mahasiswa Program Studi Master Arsitektur ITB dan Anggota Geostragy Study Club.

     

     

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here