JAKARTA, KabarKampus – Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta. Menurut Presiden, rencananya ibu kota baru negara Indonesia akan berada di sebagian Kabupaten Penajam Pasir Utara dan Sebagian Kabupaten Kutai Kartenagara.
Meski telah diumumkan, masyarakat Indonesia masih mempertanyakan dimana publikasi kajian-kajian yang mendasari argumen pemindahan tersebut. Selain itu informasi lokasi dan luasan ibu kota baru seluas 180 ribu hektare dengan 40 ribu hektare sebagai kawasan induk, Pemerintah menutup seluruh informasi terkait pemindahan ibu kota.
Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan, Kalimantan Timur lokasi calon Ibu kota negara merupakan Provinsi di Indonesia yang wilayahnya paling “sengkarut”. Sampai dengan tahun 2017, 69 persen daratan di Kalimantan Timur telah dikuasai oleh izin-izin investasi rakus ruang seperti pertambangan, HPH, HTI, dan Perkebunan Kelapa Sawit.
Izin terbesar menurut FWI adalah HPH dengan luas mencapai 1,9 juta hektare, disusul Tambang seluas 1,30 juta hektare, Kebun seluas 1,20 juta hektare, dan HTI seluas 590 ribu hektare. Bahkan, sisanya ada 3,6 juta hektare wilayah yang berizin tersebut terjadi tumpang tindih pemberian izin.
Sehingga menurut Mufti Barri, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), pengumuman pemindahan ibu kota terkesan tergesa-gesa. Argumentasi-argumentasi pemilihan lokasi ibu kota baru yang terdengar sampai saat ini hanya sebatas pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut, tambahnya, belum terlihat dalam bentuk satu kajian yang komprehensif dan multidisiplin keilmuan. Jika pun sudah ada, dokumen tersebut seharusnya dibuka ke publik sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam penyelenggaraan negara.
“Ketertutupan ini menimbulkan pertanyaan apakah Ibu Kota baru akan mengikuti kondisi lingkungan yang ada, atau justru sebaliknya kondisi lingkunganlah yang akan berubah mengikuti kondisi Ibu Kota baru. Kajian-kajian seperti ini seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum ditetapkan, bukan ditetapkan dulu baru ada kajian. Bahkan, terkesan pemerintah sedang bermain “tebak-tebakan” dengan masyarakat terkait lokasi ibu kota baru tanpa ada basis keilmuan” tukas Mufti dalam keterangan persnya, Kamis, (29/08/2019).
Selain itu, lanjutnya, konsep forest city yang diusung oleh Pemerintah mungkin berdasar pengetahuan umum bahwa Kalimantan masih memiliki potensi tutupan hutan yang sangat luas. Padahal berdasarkan kajian Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 2017, tutupan hutan di dua kabupaten tersebut tinggal 824 ribu hektare, atau 29 persen dari luas daratannya yang seluas 2,83 juta hektare.
Selanjutnya, Agung Ady, pengkampanye Forest Watch Indonesia juga mempertanyakan hal lain, yaitu apakah pemerintah tidak melihat kondisi lokasi ibu kota terpilih dan sekitarnya? Pada tahun 2019 saja, luas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Timur mencapai 4.430 hektare, dan bahkan menjadi provinsi kedua dengan kebakaran terluas di Pulau Kalimantan.
“Meskipun pada periode yang sama,pada dua kabupaten yang menjadi lokasi ibu kota baru hanya ada 8 titik kebakaran. Lalu bagaimana dengan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan? Apakah tidak diperhitungkan dampak psikologis dan pengaruhnya bagi aktivitas di ibu kota baru?” ungkap Agung.
Bagi Agung, ketertutupan informasi atas kepastian lokasi ibu kota baru Indonesia oleh Pemerintah, menimbulkan banyak spekulasi yang berkembang di masyarakat. Prediksi FWI atas rencana 180 ribu hektare untuk ibu kota baru, akan melingkupi sebagian wilayah Kabupaten Penajam paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, termasuk Tahura Bukit Soeharto.
okasi areal prediksi ibu kota, dari hasil analisis spasial yang dilakukan oleh FWI, memiliki tutupan hutan alam seluas 1.370 hektare atau sekitar 1% dari luas total areal. Status kawasan di wilayah tersebut juga menunjukan hampir tidak ada areal yang tidak berizin. Wilayah di sekitar Tahura Bukit Soeharto sudah padat dengan izin tambang, perkebunan kelapa sawit, HPH, dan HTI. Ada sekitar 92 izin yang terdiri dari 1 izin HPH, 2 izin HTI, 12 IUP perkebunan, dan 77 IUP pertambangan.
Menurutnya, masifnya izin-izin konsesi industri ekstraktif di wilayah tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kemungkinan mekanisme tukar guling yang mungkin akan terjadi untuk lahan-lahan yang sudah berizin. Ketertutupan pemerintah terhadap informasi menimbulkan potensi tidak clean and clear-nya mekanisme tukar guling lahan dan juga dampaknya terhadap keuangan Negara.
“Hal lain yang tak kalah penting dan seharusnya menjadi pertimbangan oleh Pemerintah adalah keberadaan masyarakat adat dan lokal yang sudah lama bermukim di sana.Berdasarkan data BPS, ada 769.337 jiwa yang bermukim di Kukar, sedangkan di PPU ada 159.386 jiwa. Bagaimana nasib masyarakat terdampak kedepannya?” Dengan banyaknya pertanyaan yang timbul atas kebijakan pemindahan ibu kota ini, Pemerintah seharusnya membuka kajian kajian yang telah dilakukan berikut dengan proyeksi dampak positif dan negatif terhadap kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang bakal terjadi. “Ibu kota adalah milik seluruh rakyat Indonesia, Pemerintah seharusnya terbuka atas putusan pemindahan ibu kota tercinta ini!” tutup Mufti.