More

    Mawang, Pembunuhan Lagu Cinta, dan Krisis Identitas Estetika

    Moch Gumilang Dwi Bintana

    Mawang

    Pagi ku tiga hari lalu dibuka dengan ledakan tawa persis di atas bantal tipis berbungkus sarung bercorak daun berwarna coklat yang senada dengan sprei yang lepas satu ujungnya dari kasur. Kebiasaan buruk hampir mayoritas orang di dunia, bangun lalu membuka media sosial bahkan saat belum beranjak dari kasur. Tawa ku membahana mengagetkan burung geraja yang sedang mandi mentari di dahan pohon mangga depan jendela.

    Mawang, begitu panggilan yang sering dipakai teman-temannya yang notabene mengenalnya secara langsung di salah satu perguruan tinggi seni ternama di kota kembang ini. Laki-laki gondrong dengan kumis tebal mendeklamasikan sebuah pengantar dari lagunya yang ia mainkan bersama tiga pemain musik lainnya. Dimulai dari putaran chord gitar dengan progressif chord standar blues, bukan negative harmony, bukan modal exchange, bukan lainnya. Bahkan tak ada chord augmented, suspended, dominat seven, atau diminished untuk menggambarkan betapa dramatisnya lagu ini.

    “LAGU INI, SAYA PERSEMBAHKAN UNTUK ORANG TUA SAYA. SEMUANYA SEMOOGA BISA MELUAPKAN ISI HATI, KASIH SAYANG KEPADA ORANG TUA”. LALU COBAAN PUN DIMULAI

    “NUU HANAA HINUU HUNA HINU HIYAAA
    NUU WANAA HINUU WANA HINU HUAAAA
    NUU HUWAANAA HINUU WANA HINU EEAHHAAA
    NUU WANAA HINUU WANA HINU YAH~
    AAAAAAAAAAAAAAAAAA…
    AAAAAAAAAAAAAAA…
    AAAAAAAAAAAAAAAAAA..”

    - Advertisement -

    Saya tertawa bergelung-gelung, menggaung-gaung, meraung-raung, eh enggak deng! Tapi Mawang memang memberi saya suntikan kesenangan dan keisengan hingga serta merta saya mengunduh video ini dan ikut mempopulerkan Mawang lewat instastory saya. Dan hari itu tidak kurang lima waktu saya mendengar orang memutar video yang sama, bahkan lebih sering dari kewajiban ibadah saya. Andai ibadah bisa semudah itu.

    Dalam berbagai penjelasan, Mawang telah menyatakan secara implisit bahwa ungkapan rasa kasih sayang kepada orang tua itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan ada yang keterlaluan mengatakan bahwa Mawang menggunakan bahasa Tuhan. Warganet kafir, telah berbai’at pada Nabi Mawang (netizen jiper,2019). Lagu ini menurut beberapa ahli seni yang karbitan maupun tidak, mengandung makna filosofis yang sangat mendalam bahkan menyentuh ranah kosmologis dan ma’rifat.

    Absennya kata-kata dan bahasa dalam lagu Mawang ini jika dibongkar dengan definisi diatas telah membunuh semua lagu cinta pada tataran makhluk kasat mata. Bahkan Lagu Cinta Melulu-ERK yang dengan secara gamblang mengemplang kepala para penyair dan musisi romantis yang layu dan mendayu, masih menggunakan kata-kata dan bahasa bergaya sarkas. Usaha-usaha Nosstress meciptakan lagu cinta yang sederhana dan paripurna lewat lagu Ya, Kamu telah kehilangan makna. Tapi lagu cinta tetaplah menjadi tema utama dan mayoritas dalam dunia musik. Di hadapan cinta semua orang adalah pemula.

    Pembunuhan syair cinta oleh Mawang telah terjadi. Mawang tidak hanya membunuh wujud Eros dan Phileo, tapi juga Agape dan Storge yang katanya jauh lebih tulus dari Eros dan Phileo (ya memang Eros dan Tulus beda angkatan). Storge yang didefinisikan sebagai cinta dalam hubungan timbal balik atara orang tua dan anak telah naik ke rahmatullah. Lalu sampailah kita pada kedukaan yang berlanjut hingga akhir dunia. Kabarkan! Kepada para penyair romantis cari saja kesenangan lain. “Aku ingin mencitai mu dengan sederhana” halaahh bangun pak Sapardi, tidak ada romantisme. Kata-kata cinta sudah diharibaan Al-Waduud. Bahkan Tuhan pun harus memberi nama dan kata untuk Kemaha-CintaanNya. Mawang sudah keterlaluan! Melampaui Firman Tuhan.

    Kegemparan terjadi di Astana Seni. Mustika Estetika telah dipertanyakan karomahnya. Estetika sebagai kata untuk mewakili kemampuan merasakan dan perumusan makna telah hilang setengah definisinya. Seperti para seniman bersepakat untuk menghilangkan aliran dan -isme dalam seni. Jika ungkapan perasaan, cinta, telah dibunuh oleh Mawang. Maka bagaimana estetika diartikan kembali jika ia tidak lagi berwujud dalam kata? Apakah Estetika telah kehilangan identitas?

    Selamat datang di zaman tanpa pernyataan rasa cinta. Selamat datang pada estetika yang tinggal kriteria. Oh kecerdasan puitik! Kau harus panik! Kecerdasan artifisial bahkan sudah menggantikan kepala besar para penyair. Akan datang masa bagi snoobish musik yang bercakap “dengerin lagu apa? Hah lagu cinta? Halooo yang avant-garde dong! mana ada lagi lagu cinta. Udah mati kapan tau!”

    *Mahasiswa Program Studi Master Arsitektur ITB dan Anggota Geostragy Study Club.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here