More

    Deus sive Natura

    5/

    Sebagian besar keyakinan kita mungkin bersifat seperti di atas, seperti pembuktian logika simbolis di atas, bermakna meski bukan merupakan gambaran realitas apa pun. Kenapa? Karena sebagian besar keyakinan kita adalah soal “permainan bahasa”. Apa yang kita pertahankan dan bela mati-matian dalam permainan itu? Tak ada. Sebagian besar pertikaian metafisis atau teologis kita pada hakikatnya adalah pertikaian soal kata “atau”, “dan”, “jika…., maka….”, “negasi”—pertikaian perihal kata-kata yang sama sekali tak memiliki “jangkar” di dalam realitas. 

    Lalu, apakah yang benar-benar nyata, apakah yang layak dipertahankan dan diperjuangkan? Cinta, mungkin salah satu dari hal yang sungguh-sungguh layak dipertahankan dan diperjuangkan. Cinta adalah pengakuan kita atas “yang lain” di dalam realitas. Jika Tuhan adalah alam itu sendiri, maka cinta kita bukanlah hal yang abstrak, cinta platonik yang solipsis itu, melainkan cinta terhadap segala hal yang lain, yang nyata, di dalam dan di luar diri kita. Itulah sebabnya, di akhir perjalanan menempuh “peta imajinatif”, para spiritualis besar dunia hanya bicara soal etika, perihal yang sungguh-sungguh nyata, mereka hanya bicara bagaimana menurunkan surga ke bumi, ke tempat kita kini tinggal, di rumah kita sendiri. Mereka bicara soal mengasihi sesama, menghormati perbedaan, berbagi kebaikan, mewujudkan keadilan, mencipta keindahan demi membuktikan bahwa kebermaknaan hidup adalah soal kebergunaan yang seluas-luasnya bagi sesama. 

    - Advertisement -

    Mungkin, surga bagi Spinoza tak ada di sana dan nanti, tetapi di sini dan saat ini. Dan, Itu pula sebabnya, saya “yakin” (maafkan bila sekarang saya justru menggunakan kata yang menghindari pembuktian logis), mengapa Spinoza menamai bukunya yang sungguh amat logis itu sebagai “Ethics, Demonstrated in Geometrical Order”. 

    ———————————–

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here