ABC AUSTRALIA
Menurut sebuah survei internasional, sebagian warga di Australia berpendapat bahwa perempuan perlu berparas menarik dan berotak cerdas untuk mencapai kesuksesan dibandingkan dengan tuntutan terhadap laki-laki.
Hasil itu mncul dalam riset pasar perusahaan Ipsos dan King’s College London yang melakukan survei terhadap 20.000 orang dari 28 negara.
Survei tersebut adalah tentang persepsi partisipan terhadap kategori kesuksesan dengan beragam variabel, mulai dari kepintaran, kerja keras, koneksi hingga paras menarik bawaan lahir.
Di Australia, 12 persen dari pengikut survei mengatakan penampilan bagi perempuan menjadi salah satu faktor penting untuk kemajuan karier mereka.
Angka tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan lima persen jumlah responden yang mengatakan bahwa penampilan adalah faktor penting untuk kemajuan karier laki-laki.
Jane Esther, mahasiswi jurusan Ilmu Memasak Komersil dan Manajemen Perhotelan yang bekerja di sebuah restoran di Melbourne, Australia pernah diminta untuk bekerja sebagai kasir karena penampilannya.
“Saya ada pengalaman sih di tempat kerja waktu mereka minta saya kerja di bagian depan,” kata perempuan dari Bandung itu.
“Manajernya bilang perlu yang cantik untuk jaga di depan. Tidak harus cantik sih, tapi menarik, begitu.”
“Cantik itu bonus saja”
Walau demikian, Jane mengatakan bahwa faktor kecantikan bukanlah segalanya bila dibandingkan dengan faktor ‘kerja keras’.
“Menurut saya [kecantikan] tidak [menjadi faktor]. Karena untuk bertahan hidup di sini [Australia] harus kerja keras dan mau terus belajar hal baru dan bertahan,” kata dia.
“Terutama kalau kamu kerja di bidang perhotelan, kamu harus kuat fisik dan juga mental karena kebanyakan koki di sini adalah laki-laki.”
Menurut survei, 25 persen responden melihat kepintaran sebagai salah satu faktor utama bagi perempuan untuk dapat maju dalam dunia karier. Angka ini lebih tinggi 10 persen dari tuntutan untuk laki-laki.
Jane mengatakan bahwa faktor ‘kecerdasan’, di antara yang lainnya, memang dibutuhkan untuk kemajuan karier perempuan.
“Kerja keras, disiplin dan kecerdasan adalah faktor paling penting yang dapat membantu karier perempuan,” kata dia.
“Kalau cantik menurut saya bonus saja.”
Menurut Dr. Rheny Pulungan, kualifikasi dan pengalaman adalah faktor pendukung dari pekerjaannya sebagai pustakawan di Monash University di Melbourne.
Walau menurut Dr. Rheny kecantikan tidak jadi faktor di tempat kerjanya, ia mengatakan tidak terkejut akan hasil survei yang mengatakan bahwa hal tersebut turut berpengaruh terhadap kemajuan karier perempuan.
“Saya cenderung tidak kaget kalau survei mengatakan bagi sebagian perempuan penampilan menjadi faktor penting bagi karier mereka,” kata dia.
“Khususnya mungkin di beberapa area pekerjaan tertentu seperti retail, perhotelan dan lain-lain.”
Menurut survei di Australia, baik untuk perempuan dan laki-laki, faktor menuju kesuksesan meliputi kerja keras, diikuti kepercayaan diri dan kualifikasi.
Meski angkanya lebih tinggi dari laki-laki, faktor penampilan bagi perempuan berada di urutan kedelapan, tepatnya di bawah ‘sifat pantang menyerah’ dan ‘koneksi’.
Maskulinitas tinggi jadi penyebab
Dr. Rheny berpendapat bahwa persentase faktor ‘paras menarik’ dan kepintaran bagi perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki di Australia merupakan cerminan masyarakat negara tersebut saat ini.
“Menurut saya itu mencerminkan masyarakat Australia yang masih pro-maskulinitas dan ketidaksetaraan gender,” katanya.
“Walaupun kalau dibandingkan dengan Indonesia masyarakat di sini sudah sangat paham masalah kesetaraan gender.”
Pendapat perempuan yang sudah bekerja di perpustakaan Monash University selama tiga tahun ini ternyata sesuai dengan pengamatan Jessica Elgood, direktur humas Ipsos, perusahaan yang melakukan survei.
Menurut Jessica, fenomena ini memang disebabkan oleh kebudayaan yang tumbuh di tengah masyarakat Australia.
“Saya kira ini adalah faktor kebudayaan Australia dan laki-laki Australia yang secara relatif masih memikirkan kejantanan,” katanya kepada ABC Triple J Hack.
“Di Australia, 16 persen responden merasa kurangnya bimbingan untuk laki-laki [terkait kesetaraan gender] dan mereka pada umumnya tidak membantu perempuan mencapai kesetaraan.”