More

    Unjuk Rasa Masuk Kampus, Mahasiswa Australia di Hong Kong Diminta Pulang

    ABC AUSTRALIA

    Mahasiswa Australia yang berada di Hong Kong diminta untuk segera pulang, mengingat para demonstran pro-demokrasi membawa pergerakan mereka masuk ke kampus.

    Mahasiswa di Hong Kong telah melakukan barikade di kampus-kampus dan menyimpan senjata sementara di tengah meningkatnya kekerasan, termasuk munculnya dua kematian.

    - Advertisement -

    University of Sydney telah mulai menghubungi mahasiswanya di kota pulau itu, setelah Universitas Hong Kong (HKU) dan lembaga lainnya menangguhkan kelas selama beberapa minggu terakhir semester ini.

    “Keamanan Anda adalah perhatian utama kami dan berdasarkan semua informasi yang kami terima, dan mengingat HKU kini telah menangguhkan / membatalkan semester, Universitas Sydney mengharuskan Anda untuk segera meninggalkan HK dan kembali ke Australia,” begitu bunyi email yang dikirim kepada mahasiswa Australia oleh koordinator pertukaran mahasiwa pada hari Jumat (15/11/2019) pagi.

    “Jika anda sudah meninggalkan HK, tolong beri tahu kami di mana anda sekarang.”

    “Jika Anda membutuhkan bantuan dan saran tentang cara meninggalkan HK, beri tahu kami dan USYD akan membantu anda.”

    Para pengunjuk rasa di universitas-universitas Hong Kong, termasuk Politeknik Hong Kong dan Universitas Hong Kong China, telah melemparkan bom bensin dan batu bata dan bahkan menembakkan panah ke polisi dalam beberapa hari terakhir.

    Pihak berwenang telah menghadapi peningkatan kekerasan itu dengan gas air mata, peluru karet dan meriam air yang diisi dengan pewarna biru.

    Peringatan kembali ke Australia tak memiliki pengecualian bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi mereka, karena HKU mengizinkan kursus dan ujiannya dilakukan secara online.

    “Ini adalah berita baik karena itu berarti Anda bisa menyelesaikan sisa studi Anda dan masih menerima kredit akademik asalkan Anda lulus semua unit,” kata email itu.

    “Kami berharap Anda akan menyelesaikan studi dari jarak jauh untuk menyelesaikan mata kuliah semester ini.”

    Dua tewas

    Seorang petugas kebersihan jalanan berusia 70 tahun, yang dalam video di media sosial terlihat terpukul kepalanya oleh batu bata yang dilemparkan oleh “perusuh bertopeng”, meninggal pada hari Kamis (14/11/2019), kata pihak berwenang di Hong Kong.

    Awal bulan ini, seorang mahasiswa pengunjuk rasa meninggal setelah jatuh dari tempat parkir selama demonstrasi.

    Pada hari Selasa (12/11/2019), polisi Hong Kong menembakkan gas air mata di jantung distrik keuangan dan di dua kampus universitas untuk membubarkan protes pro-demokrasi – sehari setelah penembakan seorang demonstran dari jarak dekat, yang melukainya.

    Seorang “perusuh” juga menyiram seorang pria dengan bensin sebelum membakarnya. Pria itu, yang menderita luka bakar di badan dan kepalanya, tetap dalam kondisi kritis.

    Pada hari Kamis (14/11/2019), Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengatakan hal yang “penting” bagi polisi setempat untuk menanggapi protes itu “secara proporsional”.

    “Kami menegaskan kembali pandangan kami bahwa penting bagi semua pihak – polisi dan demonstran – untuk menahan diri dan mengambil langkah-langkah nyata untuk mengurangi ketegangan,” kata Senator Payne dalam sebuah pernyataan.

    Protes di Hong Kong masuk bulan kelima dan belum menunjukkan tanda berakhir, karena pendukung pro-demokrasi terus menuntut kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mundur dari pemerintah setempat dan peninjauan kembali terhadap perilaku polisi harus dilakukan.

    Aksi mahasiswa disebut mendekati terorisme

    Ribuan mahasiswa tetap bersembunyi di beberapa universitas, dikelilingi oleh tumpukan makanan, batu bata, bom bensin, ketapel dan senjata rakitan lainnya.

    Polisi mengatakan Universitas China yang bergengsi telah “menjadi basis manufaktur untuk bom bensin” dan tindakan para mahasiswa “selangkah lebih dekat dengan terorisme”.

    Sekitar 4.000 orang, berusia antara 12 dan 83 tahun, telah ditangkap sejak kerusuhan meningkat pada bulan Juni.

    Kerusuhan bermula sebagai reaksi terhadap upaya pemerintah kota yang didukung Beijing ini untuk segera mengesahkan RUU (rancangan undang-undang) yang akan memungkinkan ekstradisi para terduga kriminil ke daratan China.

    Para pengunjuk rasa marah tentang apa yang mereka lihat sebagai kebrutalan polisi dan campur tangan Beijing terhadap kebebasan yang dijamin di bawah perjanjian “satu negara, dua sistem” ketika wilayah itu kembali ke China dari pemerintahan Inggris pada tahun 1997.

    China membantah ikut campur dan telah menyalahkan negara-negara Barat, termasuk Inggris dan Amerika Serikat, karena menimbulkan masalah ini.

    Namun kemarahan baru-baru ini beralih ke siapa pun yang terlihat berafiliasi dengan China.

    Pada hari Jumat (15/11/2019), Menteri Kehakiman Hong Kong Teresa Cheng, yang berada di London untuk mempromosikan kota pulau yang dikuasai China itu sebagai pusat penyelesaian perselisihan dan kesepakatan, menjadi sasaran oleh sekelompok pengunjuk rasa yang meneriakkan kata “pembunuh” dan “memalukan”.

    Pemerintah Hong Kong mengatakan, Cheng menderita “luka tubuh yang serius”, tetapi tak memberikan rincian.

    Kedutaan besar China di Inggris mengatakan Cheng didorong ke jalan dan mengalami cedera tangan.

    “[Cheng] dikepung dan diserang oleh puluhan aktivis anti-China dan pro-kemerdekaan,” kata Kedutaan Besar China dalam sebuah pernyataan.

    Insiden itu menunjukkan bahwa “pelaku kekerasan dan pelanggar hukum” kini membawa kekerasan mereka ke luar negeri, katanya.

    China telah mengajukan aduan resmi ke Inggris dan mendesak Pemerintah Inggris untuk membawa pelaku ke pengadilan.

    Pada hari Jumat (15/11/2019), rekaman video dari markas besar pasukan Tentara Pembebasan Rakyat China di dekat distrik bisnis Hong Kong menunjukkan lebih dari selusin tentara yang melakukan latihan anti huru-hara terhadap pengunjuk rasa palsu yang membawa payung hitam.

    Pada hari Kamis (14/11/2019), sebuah badan penasehat kongres mendesak Kongres AS untuk memberlakukan undang-undang yang akan menangguhkan status ekonomi khusus yang dinikmati Hong Kong di bawah hukum AS jika China mengerahkan pasukan keamanan untuk membasmi aksi protes itu.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here