Geostretagy Study Club (GSC) kembali menggelar majelis online yang berlangsung pada hari Selasa, (28/01/2020). Kegiatan yang dipandu oleh Desmond S. Andrian (Mentor GSC) ini mengambil tema “Gotong Royong sebagai Demokrasi Akar Rumput”.
Majelis Online GSC dimulai dengan beberapa pertanyaan :
- Pertama, mengapa implementasi demokrasi menjadi begitu plural dalam praktiknya?
- Kedua, mengapa demokrasi cenderung tidak sesuai harapan konstituen?
- Ketiga, bagaimana meletakkan demokrasi sebagai sebuah resolusi konflik?
- Keempat, bagaimana menjelaskan gotong royong sebagai sebuah wujud demokrasi akar rumput?
Keempat pertanyaan ini dibuat sebagai jalan untuk menjawab tema yang ada. Dari diskusi yang berlangsung dari pukul 20.00 – 22.00 ini, ada beberapa catatan yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
Peranan Elit
Demokrasi telah membuka banyak pintu bagi warga Negara untuk menyuarakan pendapat sebagai bentuk respon dari kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan kehidupan warga. Selain itu demokrasi berkesempatan hadir dengan pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di Indonesia. Tetapi, persoalan demokrasi selalu bermuara pada perilaku elit.
Elit menentukan bentuk implementasi dari demokrasi. Kemudian, pengalaman masa lalu sebuah Negara sedikit besarnya mempengaruhi keputusan elit dalam menentukan cara implementasi demokrasi. Kemudian keadaan sosial sebuah Negara juga mempengaruhi keputusan elit dalam menentukan cara implementasi demokrasi. Artinya, dalam demokrasi setiap warga Negara dijamin haknya dan realitas yang sangat plural memberi peluang yang besar bagi demokrasi. Tetapi, tidak lupa pula dengan peran elit yang menjadi decision making dalam sebuah Negara.
Peran Warga (grassroot)
Dalam demokrasi peran ini sangat penting. Untuk menangkal elit mengkooptasi partai politik sehingga peran partai politik yang idealnya sebagai mesin demokrasi untuk memperjuangkan aspirasi konstituen berbalik arah cenderung membela kepentingan kelas elit semata. Selain itu, hari ini cenderung mengalami pergeseran political attitude dari Ideal Interest (marjinalisasi, perampasan hak sosial, HAM) ke Material Interest (peningkatan pendapatan, lapangan pekerjaan, kualitas hidup). Selanjutnya, sikap apatetis konstituen dalam demokrasi telah mendorong rendahnya kontrol konstituen terhadap partai politik (Political Behaviour). Sehingga demokrasi cenderung mengalami kemunduran kualitas dan jauh dari kehendak konstituen. Untuk itu, peran warga sebagai bentuk partisipasi politik dalam mengawasi berbagai tindakan politik elit, membantu perbaikan dari demokrasi.
Komitmen terhadap bentuk demokrasi yang sudah dipilih
Realitas kehidupan politik hari ini merupakan sebentuk demokrasi yang sudah dipilih. Tetapi hal ini bukan sesuatu yang tidak bisa dirubah, jika ada sistem yang lebih baik dari demokrasi, kenapa tidak. Komitmen ini dapat diurai dengan, memperkuat lembaga demokrasi melalui komitmen kuat para konstituen terhadap peran institusi demokrasi. Selanjutnya, mendorong konstituen untuk aktif sebagai gladiators (terlibat langsung) atau spectators (tidak terlibat langsung). Hal ini merupakan komitmen untuk menjaga bentuk dari demokrasi yang sudah dipilih. Dari sini, aktivasi ruang publik untuk tujuan mencegah kemunculan dominasi gagasan otoriterianisme demi tegaknya demokrasi yang ideal.
Merawat spirit gotong royong melalui ruang publik,
Era modern hari ini kehidupan bersama semakin terkikis oleh jaman. Disepakati bersama, bahwa gotong royong telah ada di bumi pertiwi sejak dulu kala. Menyelesaikan masalah dengan duduk melingkar, kiranya menjadi kegiatan aktivasi ruang publik di tataran akar rumput, sehingga warga dapat terbuka atas pandangannya terhadap situasi sosial yang dihadapi, dengan musyawarah untuk mufakat bersama (gotong royong).
Demokrasi sebagai konsep hadir dalam perkembangan masyarakat, telah membuka seluas-luasnya ruang publik untuk warga berdialog dalam menyelesaikan berbagai masalah, termasuk kehidupan sehari-hari. Selain itu, dengan ruang publik yang terbuka bagi warga, dapat menghindari dominasi dari elit, juga untuk keluar dari sistem monarki di masa lalu.
Di masa lalu, konflik cenderung berujung pada gencatan senjata. Sejarah perkembangan manusia telah membuka pintu bagi demokrasi sebagai resolusi konflik, walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Banyak ditemukan dalam berbagai kebudayaan di penjuru dunia yang menggantikan konflik bersenjata dengan tradisi duduk melingkar, dan bertukar pikiran sekaligus bernegeosiasi. Sebutlah tradisi Buhippun di Lampung, Sabilulungan, Ngariung, Nagari, dan Serasan Sekundang, dan sebagainya.
Maka, tradisi ini hakikatnya adalah resolusi konflik yang dapat menghindarkan penyelesaian masalah melalui tindakan kekerasan. Sebutlah gotong royong (bersama-sama), aktivasi ruang di tataran akar rumput mendorong banyak kesempatan warga untuk berdialog dalam menyelesaikan masalah, dan inilah salah contoh bahwa, gotong royong mampu perkuat demokrasi di tataran akar rumput. Dalam demokrasi, partisipasi politik warga merupakan salah satu unsur penting untuk menjaga demokrasi agar tetap sehat yang berkehendak pada keinginan warga. Karenanya gotong royong mampu menjadi penguat demokrasi ditataran akar rumput (warga).
Dalam demokrasi hari ini, lembaga-lembaga demokrasi harus dipertahankan dengan tetap dikawal secara kritis. Mengawal lembaga demokrasi ‘sendirian’ rasanya tak cukup, karenanya harus dengan gotong royong (bersama-sama) untuk mengawal jalannya demokrasi. Gotong royong sebagai demokrasi akar rumput, modal itu kiranya dapat menjadi pondasi bersama untuk Indonesia lebih baik lagi. Kemudian untuk mencapai hal tersebut, rasanya kita harus bergotong royong.
Sekali lagi, Gotong Royong!
Penulis: Try Adhi Bangsawan, anggota Geostrategy Study Club (GSC).