BANDUNG, KabarKampus – Lebih dari 20 penyandang disabilitas tunanetra tiba di depan gerbang Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung, Rabu (22/1/2020) sore. Mereka adalah mahasiswa yang tempo hari menginap di trotoar Wyata Guna, Jalan Padjadjaran. Di tengah hujan yang baru turun, mereka bermaksud menghadiri agenda Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Setelah petugas keamanan membuka gerbang Gedung Sate, mereka beriringan menuju gedung pemerintahan Provinsi Jawa Barat itu. Di antara mereka ada pelajar dan perempuan, ada yang membawa tongkat, ada pula yang pandangannya terbatas (low vision) sehingga harus memakai kacamata sangat tebal.
Setibanya di lobby, mereka harus kecewa karena agenda yang dituju sudah bubar. Situasi Gedung Sate sudah sepi, kecuali beberapa petugas keamanan dan aparatur sipil negara (ASN) yang beberapa di antaranya menyambut mereka, ada pula yang pulang karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul 17.00.
Para difabel pun terpencar di berbagai sisi lobby, yang perempuan memilih duduk lesehan di sudut kiri pintu utama, yang laki-laki juga lesehan di lantai sudut lainnya, dan sisanya berkerumun depan meja resepsionis atau bermain-main mengisi waktu di depan layar monitor yang tak jauh dari foto Wakil Gubernur Uu Ruzhanul Ulum.
Tersiar kabar bahwa Gubernur Ridwan Kamil bersedia meluangkan waktu menemui mereka. Namun jam terus bergerak. Petugas keamanan kemudian membawa sekardus minuman air mineral untuk mereka. Sampai magrib Gubernur tak kunjung tiba menemui mereka.
Warga difabel tersebut didampingi sejumlah aktivis mahasiswa dan aktivis senior, antara lain, Furqan AMC dan Priston, keduanya aktivis 98. Mereka berdialog dengan Kepala Biro Hukum dan HAM Setda Pemerintah Provinsi Jawa Barat Eni Rohyani tentang maksud kedatangan mereka.
Kata Furqan, mereka datang karena diundang untuk menghadiri agenda gubernur dengan Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Di dalam agenda itu ada pihak yang mengatasnamakan mahasiswa Wyata Guna padahal mahasisiwa sendiri tak merasa terwakili.
Dua jam berlalu sejak kedatangan mereka, belum ada kepastian akan harapan warga difabel hingga kemudian dikabarkan bahwa Gubernur batal menemui mereka. Furqan maupun Priston menyayangkan gubernur tidak mau menyempatkan menemui mereka.
Para mahasiswa difabel lantas diminta berkumpul dan membentuk lingkaran untuk mendengar penjelasan dari Pemprov Jabar. “Setelah berangkat buru-buru dari Wyata Guna, dan sore ini Gubernur tadinya mau menemui kita. Sekarang kesimpulannya pak gubernur belum berhasil bertemu kita sore ini, tapi sudah mengutus Karo Hukum yang mewakili Gubernur dan ingin menyampaikan pesan kepada kawan-kawan,” ungkap Furqan, kepada mahasiswa.
Eni Rohyani sekalu Karo Hukum dan HAM Setda Pemprov Jabar kemudian menyampaikan penjelasan kepada mahasiswa yang sejak awal sangat berharap bisa bertemu Gubernur. Eni menyampaikan permohonan maaf karena maksud kedatangan warga difabel untuk bertemu Gubernur tak bisa terpenuhi.
Eni menjelaskan, sebenarnya Gubernur sudah mengagendakan pertemuan dengan mereka pukul 16.00. “Tapi kehadiran kalian sedikit terlambat hingga pertemuan berakhir. Saya mohon maaf tidak bisa mengakomodirkan kalian pada pertememuan tadi,” kata Eni.
Ia berjanji, ke depan akan diagendakan kembali pertemuan Gubernur dengan mahasiswa Wyata Guna. “Saya ikut doakan semua akan berhasil baik. Mengenai agenda pertemuan akan diupayakan kembali audiensi dengan Gubernur spesial untuk kalian,” katanya.
Namun Eni menegaskan apa yang menjadi keluhan mahasiswa Wyata Guna sudah diakomodir Gubernur. Ia juga menyinggung soal kedatangan KSP untuk membahas masalah Wyata Guna. Menurutnya, jika KSP sudah turun tangan, maka peluang perjuangan mahasiswa Wyata Guna akan semakin kuat, termasuk mengenai tuntutan pencabutan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No 18/2018 tentang perubahan status Wyata Guna dari panti menjadi balai.
“Saya yakin KSP serius dan telah bertemu banyak pihak untuk memperjuangkan dengan caranya sendiri. KSP bosnya Presiden, kalau Presiden memerintahkan Kemensos maka seharusnya akan dipenuhi,” katanya.
Mahasiswa Wyata Guna yang diwakili Elda Fahlu diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya mengenai batalnya mereka bertemu Gubernur. Mahasiswa IKIP Siliwangi ini mengaku sedih tidak jadi bertemu Gubernur yang merupakan orangtua mereka.
“Walau sedih karena belum bisa bertemu orangtua (Gubernur), mungkin belum jodoh. Kami tetap berharap bisa bertemu Gubernur dan lebih baik lagi kalau Gubernur langsung menemui kami di Wyata Guna,” kata Elda.
Ia menjelaskan, yang menjadi korban dari Permensos 18/2018 bukan hanya mahasiswa dan pelajar Wyata Guna yang kemarin terusir dan harus nginap di trotoar. Generasi difabel tunanetra di masa depan pun akan menjadi korban kebijakan tersebut.
Ia juga memperingatkan kepada pihak lain yang berbicara atas nama mahasiswa Wiyata Guna namun tanpa melibatkan siswa di dalamnya. “Kami tak suka ada pihak yang bicara mewakili kami tanpa berunding dengan kami terlebih dahulu, apalagi membicarakan solusi ke depannya,” tandasnya.
Menurutnya, jika ingin membuat solusi bagi Wiyata Guna seharusnya membangun dialog dengan warganya. Tuntutan warga difabel sendiri sudah jelas, yakni pencabutan Permensos 18/2018. Dengan kata lain, kata Elga, pihaknya ingin mengembalikan status panti pada Wyata Guna.
Pertemuan tersebut diakhiri dengan menyanyikan lagu Bagimu Negeri. Suasana Gedung Sate yang sepi, menjadi bergemuruh. Usai menyanyi, mereka meneriakan hidup rakyat dan hidup disabilitas tunanetra. []