BANDUNG, KabarKampus – Bagi suku Bajo, lautan adalah rumah. Orang-orang yang umumnya tinggal di daratan akan sulit memahami betapa terikatnya mereka dengan laut. Kebijiakan pemerintah mestinya mempertimbangkan karakteristik suku berjuluk sea gypsies itu.
Perbincangan tentang suku Bajo terungkap dalam diskusi usai acara nonton bersama film The Bajau karya Dandhy Dwi Laksono yang digelar Geostrategy Study Club (GSC) di Kaka Kafé, Jalan Sultan Tirtayasa, Bandung, Kamis (24/1/2020) malam. Diskusi menghadirkan narasumber Fajar Arif Budiman yang menyoroti suku Bajo dari sisi kebijakan publik.
“Masyarakat suku Bajo dirugikan keuasaan, yakni kapital,” kata Fajar Arif Budiman, mengomentari film The Bajau.
Suku Bajo sejak berabad lalu hidup nomaden dari perairan Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Selama itu, mereka hidup di atas perahu. Pemerintah berusaha membujuk mereka agar mau hidup di darat dan memiliki kewarganegaraan.
Menurut Fajar Arif Budiman, perlu pemahaman yang utuh dalam melakukan pendekatan terhadap suku Bajo. Sejauh ini, suku Bajo termasuk suku yang belum banyak diteliti. Suku ini juga tidak masuk dalam kelompok etnik yang dipelajari ilmu-ilmu antropologi. Beda dengan suku pedalaman lain seperti Baduy di mana sudah banyak literatur yang membahasnya.
Suku Bajo tentu berbeda dengan suku Baduy yang ingin mempertahankan kemurnian tradisi leluhurnya. Suku Bajo tampak menerima perubahan zaman, kecuali soal ketergantungannya ada lautan. Ini dapat dilihat dari akrabnya mereka dalam menggunakan perahu mesin, BBM, bahkan anak mudanya ada yang menggunakan ponsel.
Karakter mereka yang nomaden lintas negara membuat mereka merasa tidak perlu memiliki kewarganegaraan. Di sisi lain, pemerintah ingin mereka memiliki kewarganegaraan dan KTP. Dengan begitu, pemerintah bisa memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara.
“Kalau mereka menjadi warga negara apakah kita punya kemampuan untuk melindungi mereka, termasuk kesejahteraannya?” kata peneliti lulusan Magister Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran yang kini aktif di Akar Rumput Strategic Consulting.
Diskusi yang dipandu Adhi Kuntul dari GSC tersebut memancing hadirin turut berkomentar. Salah satunya Gugum yang juga aktivis GSC. Gugum berasal dari Kepulauan Riau. Ia mengaku pernah meneliti suku pedalaman di Kepulauan Riau yang karakternya mirip dengan suku Bajo, namanya sukul Laut.
Dalam film The Bajau dikisahkan suku Bajo yang hidup di perairan Sulawesi Tenggara menghadapi konflik dengan pertambangan. Suku Laut pun demikian. “Suku Laut semakin tersingkir dan hidupnya semakin tidak jelas,” kata Gugum.
Hidup suku Laut tambah tidak jelas ketika pemerintah menggulirkan program permukiman yang dibangun berdasarkan paradigma orang-orang daratan, yang tidak paham dengan karakter suku Laut. “Yang terjadi ada culture shock seperti sakit-sakitan ketika mereka tinggal di rumah darat. Akhirnya rumah tak ditinggali. Celakanya dari keadaan itu mereka terpecah.”
Sebagian anggota suku Laut ada yang tidak suka disebut sebagai suku Laut. Mereka lebih senang disebut Melayu namun tak diakui oleh orang-orang Melayu. Bahkan mereka mendapat stigma yang memperburuk keadaan. Mereka disebut jarang mandi, punya ilmu sihir, dan cap miring lainnya.
Diskusi tersebut juga dihadiri warga Sulawesi yang tinggal di Bandung, salah satunya Emil yang berasal dari Buton. Menurut Emil, di Buton juga terdapat kampung suku Bajo. Buton juga menghadapi maraknya pertambangan sebagaimana yang dihadapi suku Bajo di Sulawesi Tenggara.
“Buton sebagai penghasil aspal, nikel, kesejahteraan di sana masih jauh, jalannya rusak,” kata Emil.
Emil mengaku miris dengan nasib warga-warga tradisional seperti suku Bajo. Mereka menjadi korban pembangunan besar-besaran tanpa memperhatikan kearifan lokal. Pembangunan sepertinya dijalankan bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan segelintir orang.
Sementara pendiri GSC, Furqan AMC, menimpali bahwa suku Bajo menghadapi masalah kompleks, mulai sejarah, identitas, kebijakan, imigrasi, pendidikan dan lain-lain.
Mereka menghadapi masalah sejarah atau asal usul yang belum tergali. Menurutnya, ilmu antropologi pun masih belum mendefinisikan mereka secara utuh. Namun ada benang merah yang menghubungkan suku Bajo dengan kesultanan Sulu di Filipina. Mereka kemudian berinteraksi dengan masyarakat Malaysia.
Isu lain yang diahadapi suku Bajo ialah imigrasi. Suku ini mengalami keterbatasan akses sejak lahirnya negara-negara modern yang menerapkan batas-batas negara. “Mereka tak butuh identitas karena hidup sebagai orang maritim. Bahkan doktrin maritim tak pernah menerapkan batas wilayah,” katanya.
Padahal Indonesia memiliki leluhur yang kental dengan budaya maritim, misalnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. “Suku Bajo merupakan suku di nusantara yang karakter maritimnya masih kental, namun di daratan karakter ini terkebiri oleh penjajahan (Belanda),” katanya.
Dalam isu imigrasi ini, menurut Furqan suku Bajo memerlukan perhatian dunia internasional, khususnya PBB. Isu lain yang dihadapi suku Bajo ialah masalah pendidikan. Jika pemerintah ingin memberikan layanan pendidikan kepada mereka, sebaiknya dilakukan dengan cara jemput bola, misalnya mengirim guru ke sana.
Namun yang terjadi saat ini pemerintah cenderung memaksakan kebijakan berdasarkan standar yang justru menyisihkan suku Bajo. Mereka diminta tinggal di daratan, anak-anaknya didorong sekolah, dan di saat yang sama kehidupan mereka dijauhkan dari laut. Bagi suku Bajo, laut bukan hanya sumber pencaharian, melainkan sumber spirit yang tak mereka dapatkan di daratan. []