Koperasi mondragon (tulankide.com)
BANDUNG, KabarKampus – Sistem kapitalisme sedang limbung. Kesenjangan atau rasio gini antara yang kaya dan yang miskin semakin besar. Diperlukan sistem alternatif yang menghentikan penumpukan modal pada segelintir orang. Alternatif ini ada pada koperasi.
Sistem koperasi bukan sesuatu yang asing bagi Indonesia. Bahkan Bung Hatta sebagai pendiri bangsa merumuskan bahwa koperasi sebagai soko guru perekonomian. Sayangnya sistem ini tidak berkembang kalah populer dari sistem kapitalis.
Padahal jika mau sabar dengan koperasi, sistem ini bisa menjelma menjadi korporasi besar seperti yang dipraktikkan Mondragon di Spanyol. Mondragon Cooperative didirkan pastor muda Don Jose Maria Arizmendiarreta pada 1956, pascaperang saudara yang mencabik negeri Matador.
Waktu itu, kemiskinan dan pengangguran menjadi potret sehari-hari rakyat Mondragon. Jose Maria lantas mendirikan lembaga pendidikan untuk meningkatkan skill warga setempat. Dari lembaga pendidikan ini, Jose dan lima pemuda muridnya mendirikan usaha. Jose lantas mengkolaborasikan lembaga pendidikan dengan perusahaan tersebut.
Kini, Mondragon menjelma menjadi perusahaan raksasa berbasis pekerja sekaligus pemilik yang jumlahnya puluhan ribu dengan ratusan unit usaha yang bergerak di sektor pendidikan, manufaktur, keuangan dan lain-lain. Kegiatan bisnisnya tidak hanya di Spanyol melainkan terlibat dalam ekspor ke negara-negara Eropa, bahkan Amerika Serikat dan Asia.
Bahkan Mondragon punya universitas, Mondragon Unibertsitatea, yang menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka di Spanyol. Bahasa pengantar di Mondragon Unibertsitatea memakai tiga Bahasa: Basque, Spanyol, dan Inggris.
“Kini Mondragon tercatat sebagai perusahaan nomor 7 terbesar di Spanyol, perusahaan milik karyawannya yang bergotong royong membangun ekonomi kolektif,” kata Furqan AMC, Sekjen Geostrategy Study Club (GSC) & CEO Kabarkampus.com, dalam diskusi “Café Philosophique: Hidup, Bertahan, Melangkah” di Apero Café – IFI Bandung, Jalan Purnawarman, Kamis malam (31/1/2020).
Dalam diskusi yang banyak dihadiri mahasiswa, aktivis, komunitas tersebut Furqan yakin, sistem ekonomi kolektif berupa koperasi akan mampu menjadi alternatif di tengah iklim kapitalisme yang rakus di mana modal hanya berkumpul pada segelintir individu, rasio gini semakin menganga, dan rentan terjadinya krisis ekonomi.
Kata Furqan, di tengah situasi rentan kapitalisme, diperlukan agenda bersama yang bisa menjadi solusi untuk menghadapi krisis. Karena itulah ia mendirikan GSC, sebuah klub yang lahir dari media online Kabarkampus.com, 3 tahun lalu. GSC lahir dari keresahan akan pentingnya sebuah kanal atau ruang bersama untuk menghadapi geopolitik internasional yang dikuasai kapitalisme. GSC berusaha menentukan titik koordinat yang tujuannya merawat Indonesia.
Agenda utama GSC, antara lain, gerakan budaya lewat pendidikan kritis. Hingga kini GSC sudah menggelar 34 kelas kritis dan kelas ilmiah yang berlangsung di Kaka Kafe, Bandung. Lewat agenda ini, anggota GSC diajak untuk melampaui berbagai macam cangkang atau atribut, entah itu filsafat, ilmu, organisasi, ormas, mahasiswa. Agenda difokuskan menyusun tesis bersama, bukan persoalan personal, untuk untuk membangun perubahan. Tujuannya tidak lain untuk merawat Indonesia sebagaimana tagline GSC.
Furqan menegaskan, setiap diskusi akan bermakna jika dilanjutkan dengan menyusun agenda bersama. GSC juga punya agenda kemandirian ekonomi yang dilatarbelakangi kondisi ekonomi kapitalistik yang mencerabut kemanusiaan. Sistem yang ada saat ini membuat para pekerja menghabiskan waktunya untuk bekerja, mengorbankan waktunya bersama keluarga, kalaupun ada waktu senggang dia akan mengisinya dengan mengutak-atik handphone. Sementara hasil kerja kerasnya cuma memperkaya pemodal.
Di era disruptif ini, sistem kerja pun tak lepas dari pemodal. Contohnya, perkembangan transportasi online yang semakin meluas namun justru tidak memihak sepenuhnya kepada para driver. Pihak yang paling diuntungkan tetap pemilik modal. “Bayangkan kalau ojol yang valuasinya lebih besar dari Garuda, bayangkan kalau itu dimiliki bersama oleh kawan-kawan drivernya? Apakah realistis?” kata Furqan.
Pertanyaan tersebut realistis karena sudah dibuktikan oleh Mondragon, koperasi pekerja yang telah mempraktekkan sistem kerja berasaskan kekeluargaan. Para pekerja Mondragon sekaligus pemilik saham perusahaan. Mereka yang menendukan posisi direktur perusahaan sekaligus mereka pula yang memecatnya. Sementara pada sistem kapitalis, hal itu justru terbalik.
Di tubuh Mondragon ada asas gotong royong yang dijalankan. Ekonomi gotong royong inilah yang ingin dipraktekkan GSC sebagai modal kemandirian ekonominya. Ekonomi gotong royong sekaligus menjawab tantangan di tengah kapitalisme yang rentan ambruk oleh resesi.
“Di GSC kita melakukan perjuangan bersama, lewat pendidikan kritis tiap kota, dengan membangun fondasi ekonomi mandiri, maka kita optimis akan bisa,” lanjut Furqan.
Tanpa menjalankan agenda bersama, ia khawatir sumber daya manusia Indonesia sekarang ini akan terkena getahnya akibat ketidakadilan dari sistem yang merusak. Sebagai contoh, pada sistem kapitalisme yang merusak lingkungan, ada generasi yang kemudian memilih menjadi aktivis untuk melakukan pengobatan terhadap lingkungan tersebut. Ketika terjadi masalah sosial, ada generasi yang menjadi aktivis untuk mengatasi masalah sosial tersebut.
“Kita harus hati-hati, jangan-jangan kita jadi tisu toilet, ada kapitaliame melahirkan residu, meninggalkan kotoran, terus kita jadi pegiat, pembersih kotorannya,” katanya.
Kesetaraan CEO dan Tukang Sapu
Sistem kerja yang kapitalistik rentan memicu protes dari kalangan pekerja. Sistem ini memeras tenaga, waktu, dan masa depan pekerja. Seorang pekerja dituntut bekerja sepanjang waktu dengan mengorbankan kebersamaan dengan keluarga atau sesama. Padahal manusia adalah makhluk sosial. Namun sistem kapitalis justru telah mengikis fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
Di sisi lain, besarnya pengorbanan pekerja dalam sistem kapitalis tak sebanding dengan yang dia dapatkan. Gaji mereka tetap kecil dan habis untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak punya tabungan untuk masa depan. Gaji besar justru dinikmati para petinggi perusahaan.
“Gaji CEO di perusahaan fast food setara dengan 1.000 kali gaji anak muda yang membolak-balikkan burger,” kata pegiat IT, Ahkam Nasution, salah satu peserta diskusi Café Philosophique.
Menurutnya, kelemahan sistem kapitalis bukan hanya dilontarkan oleh kaum kritis, melainkan diakui pula oleh kaum 1 persen (kaum terkaya dunia) seperti Bill Gates yang baru-baru ini menyatakan adanya ketidakadilan dari sistem ekonomi kapitalis.
Indikasi dari kerawanan sistem kapitalis tampak dari berbagai demonstrasi dunia yang dilakukan kelas pekerja. Yang terbaru terjadi di Prancis di mana demonstrasi dilakukan masyarakat “berompi kuning”. Mereka memprotes kebijakan pensiun yang akan diterapkan pemerintah Prancis.
Di Indonesia, kesenjangan ekonomi juga sangat besar. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat. Ahkam menyebut, saat ini ada 26 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan yang sama dengan separuh jumlah umat manusia. Kesenjangan ini akan semakin menganga jika tidak ada model ekonomi alternatif yang tidak mengandalkan kapitalisme. Diperlukan perusahaan yang adil dan memberikan jaminan bagi pegawainya. Perusahaan yang tidak hanya menguntungkan pemilik modal, tetapi juga memberi masa depan yang pasti bagi pekerja.
Kata Ahkam, Mondragon bisa menjadi model perusahaan untuk diterapkan di Indonesia. Dalam perusahaan ini, status pegawai sama dengan direktur. Gaji tukang sapu setara dengan gaji CEO.
Sistem kerja Mondragon bisa diterapkan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan teknologi. Misalnya pada ojek online. Ia menuturkan, di awal kemunculan transportasi online, ada beberapa pengemudi yang bisa mengambil mobil dan sanggup membayar cicilan tiap bulannya. Namun belakangan ini tidak sedikit driver yang tak bisa melanjutkan cicilan mobilnya. Penyebabnya tidak lain karena skema insentif yang tidak lagi mendukung para driver.
Ahkam yakin, di Indonesia bisa mendirikan perusahaan koperasi seperti Mondragon yang awalnya cuma dibangun oleh Jose Maria dan lima orang muridnya. Kini perusahaan tersebut sudah memiliki lebih dari 100 anak perusahaan dengan nilai miliaran. “Bedanya dengan kapitaliame yang dikuasi oleh beberapa orang, di Mondragon setiap pekerja pemilik saham dan setara.” []