Oleh : Eka Dharmayudha
Pada tanggal 19 Maret 2020, Presiden Donald Trump melakukan konferensi pers terkait coronavirus dan langkah-langkah yang akan diambil pemerintah Amerika Serikat dalam menanggulanginya. Namun bukannya mempertanyakan kebijakan yang diambil Trump, para jurnalis gedung putih mempernyatakan sikap Presiden Trump yang selalu menyebut “Chinese virus”. Perdebatan antara para jurnalis dan Presiden Trump pun tak terelakkan. Bahkan, melalui sebuah analisa yang dilakukan oleh CGTN America, Trump 14 kali, baik secara langsung maupun tidak, mengucapkan bahwa virus itu berasal dari China.
Tentu bukan suatu kebetulan Trump melakukan itu. Bahkan dari sebuah foto yang beredar di dunia maya, Presiden Trump mencoret corona virus menjadi Chinese Virus di naskah pidatonya. Sumber Gedung Putih mengatakan bahwa ini sudah merupakan SOP dalam pemerintahan Trump.
Dalam sesi konferensi pers tersebut, jurnalis Gedung Putih berulang kali mempertanyakan bias dalam penggunaan nama Chinese Virus kepada Presiden Trump. Bahkan muncul pertanyaan apakah masyarakat Amerika keturunan Asia tidak akan menerima perlakuan tidak menyenangkan. Bukan Trump namanya kalau tidak bisa mengelak. Ia berujar, masyarakat Amerika keturunan Asia tidak keberatan dengan istilah tersebut karena secara kenyataan virus tersebut berasal dari China dan mengatakan, ia sangat mencintai seluruh warga amerika serikat.
Namun kenyataannya tak seperti itu. Rasisme terhadap warga keturunan China terus terjadi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial. Kata Chinese Virus sempat menjadi trending di Twitter yang berisi ujaran kebencian serta video-video kekerasan terhadap warga keturunan China di Amerika Serikat. Masyarakat yang seharusnya bersatu untuk menghadapi pandemic ini, justru semakin terpolarisasi.
Narasi Chinese Virus terus menyebar ke banyak tempat. Putra Presiden Brazil mengungkapkan dukungannya terhadap penamaan Chinese Virus oleh Presiden Trump. Terlebih ayahnya telah didiagnosa positif Covid-19 yang tentu saja semakin membuatnya membutuhkan sesuatu untuk disalahkan. Tak hanya dari Brazil, Inggris dan Italia melaporkan hal serupa. Kini, seluruh dunia seperti berkompromi untuk menyalahkan China dan orang keturunan China menjadi pusat kemarahan warga dunia.
Pada 25 Januari 2020, Trump menulis tweet bahwa ia terkesan dengan penanganan virus yang dilakukan oleh China dan berterimakasih kepada Presiden Xi. Namun, sejak Maret ini, ia menggunakan istilah Chinese Virus. Trump mungkin memiliki alasan politiknya sendiri menggambarkan Covid-19 sebagai Chinese Virus. Dia seperti telah menjadi bagian dari sejarah panjang Amerika Serikat yang mengasosiasikan virus dengan negara-negara tertentu. Sejarah membuktikan hal tersebut mengarahkan kepada diskriminasi etnis dan ras, menghalangi efektifitas penanganan kesehatan, dan mendistorsi memori publik.
Amerika Serikat memiliki sejarah panjang pengecualian imigran atas dasar penyakit. Dulu sekali, imigran China pernah datang ke California dan diperlakukan sebagai kambing hitam dalam dunia medis dan eksklusi mereka atas penyakit selama bertahun-tahun. Pada tahun 1882, muncullah istilah imigran legal dan illegal dengan stereotype bahwa imigran China membawa penyakit kolera dan cacar.
Bias dalam mengaitkan penyakit dengan imigran kemudian berlanjut selama abad 20. Pandemic flu 1957-1958 yang diidentifikasi sebagai flu Asia lalu flu Hongkong pada tahun 1968-1969. Lalu ada Flu H1N1 pada tahun 2009-2010 yang sebenarnya terekam pertama kali di Amerika Serikat namun tidak menjadi flu Amerika. Meksiko harus menerima kenyataan mereka menjadi kambing hitam atas flu tersebut atas peran media yang akhirnya menyebabkan kecemasan atas kebijakan perbatasan Amerika Serikat pada saat itu.
Labelisasi seperti ini tidak hanya menyebabkan pelecehan atau tindakan rasisme seperti yang telah terjadi terhadap orang keturunan China, namun juga menumbuhkan kesadaran ke dalam diri seseorang bahwa mereka akan aman bila tidak berada dalam kelompok yang diindentifikasi sebagai pembawa penyakit tersebut. Sehingga polarisasi antar ras dan etnis semakin tajam dalam kehidupan bernegara di suatu wilayah yang terdampak hal tersebut.
Presiden Trump dan China memang sedang dalam skala perang dagang yang menyebabkan keduanya tak menurunkan tensi sedikit pun untuk terus menyerang. Saling tuduh satu dengan lainnya menghiasi perjalanan dunia melawan pandemic Covid-19. Terlebih, Trump selalu membangga-banggakan kinerja pemerintahannya melawan pandemic ini walau kenyataannya jumlah kasus positif di Amerika Serikat yang tercatat lumayan banyak. Ekonomi dunia juga sedang jatuh-jatuhnya, pertumbuhan ekonomi melambat, dan pasar saham dunia rontok dalam dua bulan terakhir. Perang harga minyak antara Russia dan Arab Saudi semakin menambah ketidakpastian ekonomi global.
Menjelang Pilpres Amerika Serikat 2020, laporan-laporan merah tersebut tentu bisa saja menggagalkan Trump mempertahankan Gedung Putih. Ekonomi adalah kebanggaannya selama 4 tahun terakhir memimpin Amerika Serikat. Untuk itu, guna mempertahankan kekuasaannya, dengan mengulang kembali sejarah lampau Amerika Serikat terhadap penyakit, ia melabeli pandemic dengan nama suatu negara tertentu.
Kini masyarakat Amerika Serikat punya sesuatu untuk disalahkan, dunia menerimanya sebagai sebuah kebenaran bersama, dan China harus menerima kenyataan pahit “lagi” atas sikap Trump tersebut.
*Penulis adalah Anggota Geostrategy Study Club