More

    Virus Corona dan Kelas Masyarakat

    Ilustrasi / NIVEK NESLO

    Tagar #workfromhome atau disingkat WFH, menjamur di media sosial setelah sebuah video unggahan akun Instagram @edwardsuhadi viral. Video tersebut berasal dari The Washington Post yang menunjukkan dampak positif jika seluruh masyarakat sama-sama melakukan kuncitara (lockdown). Hal tersebut akan membantu menekan penyebaran virus corona (Covid-19) yang semakin tidak terkendali.

    Namun, imbauan tersebut tidak lantas diamini oleh seluruh masyarakat. Bukan tidak mau, tapi memang beberapa profesi seperti tenaga medis, aparatur sipil negara tidak bisa memboyong pekerjaannya ke rumah begitu saja. Disamping itu, ada pula masyarakat yang merasa tidak punya pilihan, mereka tetap harus bekerja seperti biasa karena jika tidak, pemasukan akan terhenti sehingga membuat kondisi ekonominya terhimpit.

    - Advertisement -

    Memandang Isu Corona Dengan Kacamata Kelas dan Prisoners Dilemma

    Tak bisa dipungkiri, hal tersebut menimbulkan polemik baru. Semua orang tentu ingin menghentikan penyebaran virus ini, tapi permasalahan tiap masyarakat berbeda-beda. Maka, sepatutnya kita tanggapi dengan bijaksana. Ada dua pisau analisis yang bisa kita gunakan, yakni teori kelas marxisme dan dilemma tahanan (prisoners dilemma).

    Dari sudut pandang teori marxisme, dalam situasi ini akan muncul dua kategori kelas pekerja. Pertama, white collars workers, kategori ini memiliki jaminan keamanan sosial (social safety) dari perusahaan yang menaunginya. Kedua, blue collars workers, yakni para pekerja yang tidak memiliki jaminan keamanan sosial dari perusahaannya.

    Selanjutnya, kita hubungkan dengan teori dilemma tahanan. Dalam teori ini, implementasi kuncitara akan memicu kekacauan logistik oleh blue collars workers. Kekacauan logistik adalah kengerian kemanusiaan setelah wabah Covid-19 mereda.

    White Collars Workers akan memilih diam atau remain silent. Sementara, Blue Collars Workers secara rasional memilih mengutarakan kondisinya atau confess. Mengapa demikian? Penyebab utamanya adalah jaminan keamanan sosial yg tidak tersedia dengan baik. Entah itu dari perusahaan yang menaunginya atau dari pemerintah.

    White collars akan diam ketika ada arahan untuk bekerja di rumah dan diimbau untuk tidak berkerumun. Remain silent di sini maksudnya, masyarakat dengan jaminan kemanan sosial akan lebih patuh terhadap instruksi karena tidak terlalu khawatir soal pemasukan, akses kesehatan dan ketersediaan pangan.

    Sedangkan kategori blue collars, ketika ada arahan lockdown mereka akan confess bahwa mereka tidak punya pilihan dan harus tetap bekerja seperti biasa demi keberlangsungan hidup. Seperti yang disebutkan sebelumnya, mereka pun tidak melaksanakan arahan karantina dari pemerintah. Bukan hanya sekadar tidak patuh, tapi kondisi ekonomi yang memaksa mereka mementingkan pekerjaan dari pada kesehatan.

    Solusi yang Bisa Dilakukan

    Wabah Covid-19 telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional non-alam. Artinya sudah saatnya kita, bersama pemerintah bersungguh-sungguh menghentikan penyebaran virus ini. Banyak negara sudah mewajibkan lockdown dan hal tersebut terbukti efektif. Seperti di Cina yang mengisolasi negaranya sejak 23 Januari 2020. Meski jumlah yang terpapar sempat memuncak di tanggal 28 Februari, setelah memberlakukan karantina angka pasien menurun dari 57.805 ke 12.088, terhitung tanggal 13 Maret (data dari Worldometers.info).

    Kiranya, pemerintah Indonesia pun harus benar-benar tegas dalam mengatasi kasus ini. Jika memang harus karantina, maka semua benar-benar harus melakukannya tanpa kecuali. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan pangan dan memberikan jaminan bagi para pekerja kategori blue collars workers.

    Seperti yang dilakukan Jacinda Ardern, perdana menteri Selandia Baru ini membagikan postingan di akun Instagramnya terkait respon pemerintah terhadap wabah Covid-19 yang mengganggu kestabilan ekonomi masyarakatnya. Di sana tertulis, dana sebesar $12,1 miliar akan digelontorkan untuk program-program yang mendukung kesehatan dan pekerjaan warga Selandia Baru.

    Sebuah buku tentang geopolitik dan rasisme karya Lothrop Stoddard yang berjudul The Rising Tide of Color: Ancaman Terhadap White World-Supremacy, mengingatkan bangsa Eropa bahwa bangsa kulit berwarna tak pernah kendur meski dihantam wabah dan peperangan sepanjang abad karena mereka memiliki ruh yang bergandengan satu sama lain atau disebut sebagai naluri bertahan hidup.

    Begitupun dengan Indonesia, para pendahulu kita telah mencontohkan gotong royong yang membuat mereka bertahan hidup meski di tengah keterbatasan. Harusnya dalam situasi ini kita bisa melakukan hal yang sama. Pemerintah dan masyarakat harus saling mendukung, menguatkan dan mewujudkan solusi bersama.

    Penulis: Rifka Silmia Salsabila, anggota Geostrategy Study Club (GSC).

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here