More

    Kehidupan Pasca Pandemi Covid-19

    Ahkam Nasution

    Ilustrasi / Foto : Unsplash.com

    Ketika wabah ini nanti berlalu, akankah kita teruskan kehidupan seperti yang sudah-sudah? Ataukah kita lakukan perubahan mendasar?

    Mari kita tinjau sejenak problem yang ada pada cara hidup kita sebelum pandemi. 

    Ada dua jenis problem: 1. Problem Paradigma 2. Problem Sistematika

    - Advertisement -

    1. Problem Paradigma 

    Problem terdapat pada cara pandang/pola pikir.

    Contoh problem paradigma : Kemajuan. Fokus peradaban kita prapandemi adalah kemajuan.

    Tapi, apa definisi maju? Apakah “bergerak/pindah ke tempat yang lebih baik”? Ataukah “pokoknya bergerak/pindah, tidak diam di tempat”?

    Kalau kita cermati peradaban semut, misalnya. Peradaban semut saat ini dapat dikatakan tidak berubah dengan ketika nenek moyang manusia menemukan api 400.000 tahun lalu. Semut tidak maju-maju.

    Tapi apakah kemajuan peradaban manusia membuat hidup manusia jadi lebih berkualitas? Ataukah hanya sekadar jadi lebih mudah?

    Apakah kemajuan itu lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya bagi kemaslahatan hidup manusia dan seisi alam? Bagaimana “derajat” tiap-tiap manfaat vs. mudarat tersebut? (Manfaat = tambah tampan vs. mudarat = jadi gila –> no contest.)

    Coba kita pakai dua variabel penting untuk menakarnya: Kebahagiaan Spesies dan Kelanggengan Spesies.

    Kebahagiaan Spesies

    Yuval Noah Harari menyimpulkan bahwa manusia purba lebih bahagia ketimbang manusia modern. Alasannya: manusia modern menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan pekerjaan. Pekerjaan yang, menurut Rutger Bregman, kebanyakan hanyalah “bullshit jobs”. Pekerjaan-pekerjaan yang sesungguhnya tidak esensial. (Pandemi ini juga telah membukakan mata banyak orang: apa-apa saja sesungguhnya profesi yang esensial itu.) Di zaman batu, manusia hanya perlu sebentar untuk bekerja (berburu). Mereka punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan keluarga dan handai tolan. Homo sapiens IS homo socius.

    Kelanggengan Spesies

    Pada 26 September 1983, Letkol. Stanislav Petrov menyelamatkan dunia dari perang nuklir. Seandainya Stanislav Petrov mengambil langkah sesuai SOP, sebagian besar populasi manusia sudah binasa. Sisanya yang selamat — yang sedikit itu — akan menjalani hidup super berat di tengah winter nuclear yang panjang dan kepungan radiasi. Jika coronavirus ini saja sudah membuat manusia merana setengah mati, bayangkan radiasi radioaktif yang “tak butuh inang” dan bisa “menular” tak hanya lewat udara tapi bahkan sanggup menembus dinding-dinding beton. Kekuatan bom nuklir di era 80-an sudah jauh di atas kekuatan bom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada PD II. Bagaimana dengan sekarang? Kekuatan bom nuklir Rusia RDS-202 (nickname: Tsar Bomba) adalah 50 Megaton. Itu setara dengan 3.333 kali kekuatan gabungan kedua bom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki tersebut. Untung saja, ketika itu Stanislav Petrov yang sedang bertugas. Untung instingnya benar. Akan sampai kapan manusia bermain untung-untungan seperti ini?

    2. Problem Sistematika

    Problem terdapat pada sistem yang dipakai

    Contoh problem sistematika : Kapitalisme

    Motif Kapitalisme: Perusahaan didirikan untuk menghasilkan profit sebesar-besarnya bagi para pemilik saham.

    Motif ini ibarat Dasar Negara bagi perusahaan. Ia menjadi rujukan utama bagi segala-galanya: bagaimana perusahaan dijalankan, kebijakan yang diambil, strategi yang dilakukan, budaya kerja, hubungan antar pegawai, hubungan perusahaan dengan manusia lain/dengan lembaga lain/dengan alam sekitar, dsb.

    Ilustrasi penerapan Motif Kapitalisme: Sebuah brand rokok sedang mempertimbangkan untuk menyumbang dana kepada yayasan kanker paru-paru. Jika sumbangan tersebut dirasa bakal mendongkrak penjualan rokok mereka, atau minimal tidak mengurangi, maka itu bisa dilakukan. Namun jika sumbangan tersebut dirasa bakal menjatuhkan penjualan (karena kontradiktif), ide itu tidak akan dieksekusi. Baik atau buruknya tindakan “menyumbang ke yayasan kanker paru-paru” harus diukur terlebih dahulu dengan Motif Kapitalisme.

    Konsekuensi Motif Kapitalisme: jika ada benturan kepentingan apa pun (misalnya, pelestarian alam) dengan Motif tadi, kepentingan lain itu akan diupayakan agar kalah oleh perusahaan.

    Not So Fun Fact: Perusahaan-perusahaan Amerika menggelontorkan dana sekitar $2,6 miliar setahun untuk keperluan lobi — lebih banyak daripada yang dialokasikan pemerintah Amerika ($2 miliar) untuk mendanai House of Representatives ($1,18 miliar) dan Senate ($860 juta).

    Kesenjangan Ekonomi

    Harta 4 orang terkaya Indonesia setara dengan gabungan harta 100 juta penduduk termiskinnya. Harta 3 orang terkaya Amerika setara dengan gabungan harta setengah penduduk termiskinnya. Total kekayaan Jeff Bezos $138.5B. (Pendapatan setahun pegawai bergaji terendah di Amazon sama dengan pendapatan Jeff Bezos dalam 11,5 detik.) Average wage gap Amerika adalah 1:312. Di industri fast food bahkan gap-nya ada yang mencapai 1:1000.

    Kapitalisme hanya baik untuk sekelompok kecil manusia saja. Sistem organisasi yang menyengsarakan mayoritas anggotanya adalah sistem yang buruk. Kesempatan memang terbuka bagi siapa pun, termasuk bagi orang-orang dari golongan bawah untuk naik kelas — bergabung ke dalam kelompok elit tersebut. Namun peluangnya sangat sangat minim. 

    Meritokrasi yang dijadikan salah satu landasan pemikiran kapitalisme terbukti konyol. Kata mereka: hasil yang dicapai seseorang sebanding dengan usaha, kecerdasan, atau bakatnya.

    IQ rata-rata manusia adalah 100. (Meskipun kita tidak percaya IQ, mari kita pakai ukuran itu karena kapitalisme sangat percaya IQ). Ada orang pintar hingga IQ-nya 140 atau bahkan 200. Tapi tidak ada orang yang IQ-nya 1.000 atau 10.000.

    Demikian juga dengan “usaha atau kerja” yang diukur dengan waktu. Ada orang-orang rajin yang bekerja lebih lama daripada orang kebanyakan. Tapi semua orang sama-sama punya waktu hanya 24 jam sehari. Tidak ada orang yang bekerja miliaran jam lebih banyak daripada orang lain.

    Tapi ketika kita lihat hasilnya, beberapa orang menghasilkan uang miliaran bahkan triliunan lebih banyak dari orang-orang kebanyakan.

    Alessandro Pluchino dan kawan-kawan dari University of Catania, Italia, membuat model komputer yang merepresentasikan bakat manusia dan usaha mereka dalam menggunakan bakat tersebut. Tim peneliti ini mampu menghitung seberapa besar faktor keberuntungan dalam keberhasilan seseorang. Model mereka berhasil dengan akurat mereplikasi distribusi kekayaan dunia saat ini. Namun yang mengejutkan: orang-orang yang terkaya bukanlah orang-orang yang paling berbakat atau yang paling rajin bekerja. Mereka hanyalah yang paling beruntung. Akan sampai kapan manusia bermain untung-untungan seperti ini?

    *Penulis adalah seorang Ayah

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here