More

    Menjawab Kebingungan Antara Fatwa dan Retorika

    Oleh : Muhammad Nur*

    Ilustrasi Masjid UI

    Pada saat wabah ini banyak orang berpendapat tentang apa yang akan mereka lakukan, termasuk juga pendapat dalam mempertanyakan fatwa ulama untuk melakukan ikhtiar dalam menjaga diri dan keluarga. Ada yang mempertanyakan tentang fungsi masjid pada saat wabah terjadi, kenapa tidak begitu berfungsi dalam pelaksanaan shalat berjamaah?

    Dengan berbagai alasan dan retorika yang menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat, sehingga ini menjadi ambigu dan membingungkan. Dalam hal ini MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan shalat di Masjid ditengah wabah yang melanda negeri kita ini.

    - Advertisement -

    Fatwa Nomor 14 tahun 2020 yang dirilis pada Senin (16/03/2020) diantaranya menyebut:

    Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan salat dzuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah salat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.

    Sudah jelas fatwa ulama, kenapa masih ada juga yang berpendapat dengan sangkaan dan tafsirannya sendiri, ada yang mempertanyakan, menyesalkan bahkan kontroversial. Sehingga membuat pernyataan yang cenderung menafikan pendapat para ulama.

    Menyerahkan suatu perkara kepada ahlinya, merupakan adab seseorang terhadap ilmu dan ahli ilmu. Suatu perkara agama atau hukum merupakan hak ulama, bukan hak kita yang bukan ulama (awam). Mengambil hak ulama adalah tindakan tidak beradab. Inilah bentuk penghormatan seseorang terhadap ulama dan pengakuan atas kelemahan dirinya.

    Maka, dalam Islam bagi orang-orang yang tidak mengerti agama maka diperintahkan untuk menyerahkan semuanya kepada ahlinya. Jika memaksakan diri untuk menyimpulkan satu hukum, maka tindakan ini termasuk kesombongan.

    Karena mereka penerus perjuangan para Nabi, maka segala Ikhtiar dan Ijtihad mereka tentu dengan segala Metodologi dan Qiyas yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah.

    Allah SWT berfirman:

    فَسْــئَلُوْۤا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

    “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”
    (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 7)

    Imam Ibnu Atho’illah al-Sakandari menjelaskan kebanyakan orang enggan mengakui kekurangannya. Namun justru menampakkan keunggulan dirinya di hadapan orang lain. Karena mereka memandang bahwa perhatian makhluk adalah segala-galanya. Menafikan perhatian Allah Sang Khalik. Cirinya, berlagak baik dan pintar, suka dipuji, tidak senang dikritik, dan berupaya supaya maksiatnya tidak diketahui orang lain, sehingga menjatuhkan kehormatannya di hadapan orang (Muhammad bin Ibrahim bin Abbad al-Nafazi,Ghaistul Mawahib al-Aliyyah fi Syarhi al-Hikam al-Athoiyyah, hal. 177).

    Jadi pertanyaan untuk kita, Siapakah yang boleh memberikan fatwa? Apakah mereka yang menjadi mubaligh dan Dai, bisa memutuskan hukum dalam beragama atau perrmasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan muamalah baik secara vertikal atau horizontal? Ataukah orang-orang dengan pemahamannya sendiri dari apa yang telah dipelajarinya baik itu melalui guru dan media lainnya?

    Saat ini ada orang orang yang ketika ditanya tentang suatu masalah fiqh, dia menjawab : “menurut pendapat saya, atau yang rajih (kuat) bagi saya, hukumnya adalah begini”….Dia berfikir sendiri kemudian mengambil kesimpulan sendiri berdasarkan wawasan yang dia miliki dari beberapa sumber. Lalu jawaban itu dia sandarkan kepada dirinya.

    Pendapat dalam hal berkehidupan dalam sudut pandang agama bukanlah berdasarkan perkiraan dan tafsiran asal jadi saja, asal enak, asal mantap, asal asalan, apalagi dalam membuat kebijakan fatwa.

    Fatwa ulama akan menjadi pegangan umat dalam menjalankan syariat. Walaupun konsep fatwa juga sebenarnya tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti qadha (keputusan pengadilan) yang punya sifat mengingat dan memaksa.

    Fatwa hanya sebatas pendapat ulama atau mufti. Kendati demikian, pendapat ulama tersebut mesti ditaati oleh umat Islam, khususnya mereka yang awam dalam hal hukum Islam.Untuk itulah, mufti (orang yang memberikan fatwa) merupakan ulama-ulama yang memiliki kompetensi kefaqihan dalam ilmu dan agama.

    Banyak bekal yang harus dimiliki untuk menjadi mufti. Jumhur ulama bersepakat untuk memberi persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat umum, syarat pokok, dan syarat pelengkap. Syarat umum yakni baligh, Muslim, sehat pikiran, dan cerdas.

    Sementara, syarat pokok mencakup menguasai kandungan Alquran beserta ilmu-ilmunya yang mencakup ayat-ayat hukum, asbabun nuzul, nasakh-mansukh, takwil-tanzil, makiyah–madaniyah, dan sebagainya. Selain itu juga hafal dan menguasai berbagai hadis Nabi SAW dengan seluk-beluk asbabul wurud, periwayatan, ilmu mustholah, dan sebagainya.

    Seorang mufti juga harus mahir berbahasa Arab berikut dengan kaidah-kaidah dan pengetahuan tentang literatur bahasa, yaitu ilmu nahwu-sharaf, balaghah, mantiq, bayan, ma’ani, adab, fiqhul lughah, dan sebagainya. Selanjutnya, mufti harus memahami dan menguasai ilmu ushul fikih beserta qawaid fiqhiyyahnya.

    Para ulama lainnya juga memberi syarat-syarat tambahan yang juga perlu diperhatikan seorang mufti. Misalkan, seorang mufti dalam memberi fatwa harus berniat semata-mata mencari keridhaan Allah dan jauh dari tujuan kepentingan duniawi seperti pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya.

    Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal menekankan, jika syarat-syarat tersebut tak terpenuhi hendaklah seseorang takut untuk berfatwa. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Orang yang paling berani di antara kalian dalam berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka (HR ad-Darimi).

    Ini ditujukan pada orang orang yang belum mumpuni ilmunya tapi sudah lancang menfatwakan halal-haram di tengah-tengah masyarakat.

    Banyaknya orang orang yang tak punya kompetensi sebagai mufti dalam menjawab pertanyaan masyarakat dan tetap membuat pernyataan dan jawaban jawaban tanpa argumentasi dan dalil yang shorih akan cenderung membingungkan dan tak jelas.

    Alangkah elok dan bijaknya seseorang ketika ditanya umat, kemudian merasa tak segan atau gengsi jika memang mereka tidak tahu persoalan tersebut untuk mengatakan “Saya tidak/belum tau’.

    Imam Ahmad bin Hanbal yang pernah ditanya 40 persoalan agama, hanya dua saja yang ia jawab. Selebihnya, hanya ucapan laa adri (saya tidak tahu).

    Begitu beratnya persyaratan menjadi mufti, sehingga di Indonesia yang notabene adalah salah satu negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, hanya mempunyai satu lembaga yang bisa mengeluarkan fatwa yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), selain juga ada beberapa lembaga lainnya.

    Begitulah, pada intinya fatwa tidak bisa dikeluarkan secara personal apalagi sembarangan, tanpa asal dan tanpa bayan yang jelas.

    Mari kita ikuti Fatwa Ulama tanpa retorika, tanpa syak wasangka.

    Wallahu a’lam

    *Penulis adalah pimpinan pesantren Daaru Tahfiz dan pegiat kegiatan baca tulis dunia santri.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here