JAKARTA, KabarKampus – Sejumlah Alumni penerima beasiswa Development Scholarship Australia yang tergabung Komunitas Peduli Perempuan mengutuk kasus pelecehan seksual yang dilakukan IM alumni Universitas Islam Indonesia. Mereka juga mendesak agar beasiswa “Australia Awards” yang diterima IM dicabut.
Pelaku merupakan merupakan alumni Arsitektur UII yang kini kuliah S2 Master of Urban Planning di University of Melbourne. Ia merupakan dia merupakan penerima beasiswa Australia Awards Indonesia (AAI) tahun 2018.
Desakan Komunitas Peduli Perempuan ini disampaikan di laman petisi change.org sejak tanggal (07/05/2020). Penggalang petisi ini terdiri dari empat orang dan merupakan lulusan kampus di Australia.
Hani Yuliandrasari, salah satu penggalang petisi menyatakan, mereka menyadari hukum di Indonesia masih belum bisa memberi keadilan pada para korban pelecehan dan perkosaan karena terkait pembuktian. Korban yang mengalami trauma psikis juga tak mudah memberi kesaksian pada polisi atau pengadilan apalagi ditambah ketakutan akan stigma negatif.
“Kami sangat bersimpati pada korban dan mendukung untuk tidak takut bersuara. Kami juga mendukung upaya pemulihan dari trauma dan ketakutan pada stigma,” tulisnya di laman petisi yang dibuat enam hari lalui ini.
Bagi Hani, dugaan tindakan pelecehan seksual pelaku sangat tidak sejalan dengan standard pencegahan eksploitasi, pelecehan dan kekerasan seksual yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia. Seperti yang tertulis dalam kontrak pemberi serta penerima beasiswa pada pasal 11.1 huruf f disebutkan bahwa “Australia Awards berhak melakukan penghentian beasiswa apabila penerima beasiswa melakukan tindakan yang melampaui batas yang dapat diterima di Australia.
“Karena itu, kami meminta AAS menerapkan zero tolerance pada pelaku pelecehan seksual dengan mencabut beasiswa pelaku,” ungkapnya.
IM, terduga pelaku merupakan mahasiswa berprestasi. Ia salah satu penerima Youth South East Asian Leaders Initiative (YSEALI), mempunyai image keagamaan yang baik, jadi motivator di mana-mana, mengisi pengajian di masjid-masjid dan dipanggil ustadz.
Dari laporan LBH Yogya, hingga 4 Mei 2020 mereka telah menerima sebanyak 30 korban yang meminta didampingi. Dari laporan tersebut juga menyebutkan tindakan pelaku bermacam-macam, mulai dari sex chat, video sex, melakukan kekerasan fisik, verbal, pelecehan seksual langsung tanpa intercourse, juga pemaksaan hubungan badan hingga ejakulasi di luar.
Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai kampus almamaternya sendiri sudah bergerak cepat membentuk tim pemeriksa yang bertemu dengan para korban dan penyintas. UII juga secara tegas akan mencabut gelar mahasiswa berprestasi IM.[]







