Ahmad Adriadi
Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar
Dalam sudut pandang emansipatoris pendidikan sejatinya bukan hanya persoalan mempelajari teori yang berkesesuaian dengan kenyataan kongkrit saja. Tetapi pada dasarnya arahnya untuk upaya pembebasan manusia dari penindasan atau biasa juga disebut dengan proses memanusiakan manusia. Dengan demikian manusia dapat melihat bagaimana dunia dan dirinya ada dalam belenggu persoalan, serta berkomitmen untuk melakukan perubahan sosial agar kemerdekaan sejati dapat diraih.
Dengan melihat sistem pendidikan di Indonesia, arah pendidikan nasional mulai tergiring akibat adanya campur tangan IMF dan Word Bank dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini terjadi setelah bergabungnya Indonesia dalam organisasi WTO pada tahun 1995 melalui penandatanganan General Agreement on Trade in Service atau GATS yang menjadi penanda bahwa liberalisasi harus dilakukan di segala sektor, termasuk pendidikan tinggi. Sejak saat itu pendidikan di Indonesia masuk dalam cengkraman liberalisasi pendidikan yang sarat akan kepentingan komersliasisasi dan privatisasi pendidikan.
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir sampai pada rezim hari ini tak lain merupakan strategi dikte IMF dan Word Bank, yang memuluskan jalan bagi cara kerja sistem akumulasi kapital. Terbukti di tengah wabah covid-19, kebijakan pendidikan tidak pernah sama sekali diabdikan untuk kesejahteraan dan kesehatan bagi rakyat, malah diarahkan untuk menjaga iklim investasi dan stabilisasi pertumbuhan ekonomi. Ini terbukti dengan dilaksankanya kebijakan kampus merdeka oleh Kemendikbud, yaitu kebijakan yang mengarahkan pendidikan pada kepentingan keberlangsungan investasi.
Kebijakan kampus merdeka yang diatur dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang standar Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang perubahan PTN menjadi PTN-BH, Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan perguruan Tinggi, Permendikbud No. 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada PTN, serta Permendikbud No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN dan Pendirian, Perubahan, dan Pencabutan Izin PTS.
Secara garis besar, kampus merdeka mempunyai empat komponen yang membentuknya, yaitu adanya pembukaan program studi baru yang berorientasi pada kepentingan korporasi, sistem akreditasi perguruan tinggi, yang artinya mempermudah persyaratan untuk menjadi PTN-BH tanpa terikat status akreditasi, serta hak belajar tiga semester di luar program studi dengan ketentuan 40 SKS dilaksanakan diluar kampus dan 20 SKS sisanya dilaksanakan di program studi yang berbeda.
Terdapatnya pembukaan program studi baru yang mensyaratkan adanya kerjasama terhadap korporasi. Tentunya hal tersebut tidak jauh dari kepentingan korporasi yang berorientasi pada selera pasar (terdapat 4 dari 5 mitra kerjasama yang termasuk dalam pemodal raksasa, diantaranya ialah perusahaan multinasional, perusahaan teknologi raksasa, startup teknologi, dan organisasi multilateral, salah satunya ialah Bank Dunia). Selain itu, dalam melakukan kegiatan belajar di luar program studi diimplementasikan dalam bentuk magang di perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra kampus tanpa diupah hingga melaksanakan KKN dengan menjadi pembantu dalam melaksanakan proyek-proyek rezim di pedesaan.
Jika melihat dari keterangan-keterangan tersebut, kebijakan kampus merdeka benar-benar menjadi perpanjangan tangan dari musuh-musuh rakyat untuk menghisap kaum tani dan kelas buruh. Kita benar-benar diajarkan untuk menjadi buruh magang yang tentunya tidak diupah menurut ketentuan UMR/UMK!
Kebijakan selanjutnya yang diterapkan di masa pandemic yang bersentuhan langsung dengan Pendidikan yakni relokasi APBN yang tidak tepat (lihat Perppu No. 1 Tahun 2020). Rezim hari ini benar-benar tidak peduli dengan situasi dan kondisi rakyat di masa pandemic. Mereka lebih peduli kepada penjagaan iklim investasi serta stabilisasi pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu sangat wajar jika Kemendikbud menolak mengembalikan uang kuliah kita. Bahkan ada asumsi bahwa uang kuliah kita semester ini digunakan untuk menutupi defisit yang dialami oleh kampus-kampus PTN akibat kegagalan pelaksanaan korporasi akademiknya sebagai salah satu pemasukan non-APBN yang menunjang kegiatan pembelajaran di kampus.
Selain kebijakan Kampus merdeka dan relokasi angaran APBN yang mulai dijalankan di masa pandemic covid 19, sistem perkuliahan jarak jauh berbasis online pun diterapkan. Tujuanya adalah agar proses perkuliahan tetap berjalan sebagaimana yang telah di rencanakan kampus sebelum adanya covid ini ada. Termasuk juga diberlakukan di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM).
Tetapi dalam pelaksanaanya terbukti banyak bermasalah. Perkuliahan jarak jauh melalui daring merupakan suatu kesulitan, karena tidak efektifnya proses pembelajaran. Terbukti masih adanya beberapa dosen yang belum siap memakai aplikasi yang diterapkan dalam peroses perkuliahan jarak jauh, serta susahnya akses internet bagi mahasiswa yang ada di daerah pelosok dan bertambahnya kuota internet untuk melaksanakannya. Apalagi kampus hanya memberikan subsidi kuota internet 10 GB saja kepada mahasiswa selama perkulihan jarak jauh berlangsung. Hal ini tidak sebanding dengan UKT yang sebelumnya dibayarkan mahasiswa.
Sejatinya Perkuliahan jarak jauh hanya dengan memberikan subsidi kuota 10 GB saja menandakan adanya UKT yang tidak terdistribusikan dengan baik di masa pandemic covid 19. Merujuk dalam Permendikti NO 30 tahun tahun 2019 tentang SSBOPT, seharunya rincian yang terbiayai dalam Biaya Kuliah Tunggal (BKT) atau biasanya dikenal dengan biaya operasional pendidikan tinggi dikelompokan kedalam dua komponen yaitu Biaya Langsung (BL) Biaya Tidak langsung (BTL).
BKT sendiri hasil dari akumulasi BOPTN+UKT. Sementara dalam peroses perkuliahan jarak jauh melalui daring merupakan kegiatan pembelajaran yang bahkan tidak sama sekali menggunakan sebagian besar dari komponen BKT (BL+BTL), kecuali hanya menggunakan BL SDM (dengan hadirnya dosen sebagai penunjang kegiatan pembelajaran). Itu pun dibiayai oleh negara melalui BOPTN. Artinya ada komponen BKT yang tidak terdistribusikan dengan penuh, karena perkuliahan yang di laksanakan secara daring. Dan jelas dari BKT yang tidak terdistribusikan itu, tentunya ada UKT mahasiswa. Apalagi dari sejak tanggal 15 maret mahasiswa tidak lagi menggunakan fasilitas kampus. Dan masa aktif perkuliahan tatap muka di semester genap hanya sekitar satu bulan, setengah dari yang seharusnya lima bulan.
Dengan penjelesan di atas tentunya ada pertanyaan besar, kemanakah sisa anggaran BKT yang tidak terdistribusikan itu? Hal tersebut mengundang riakan di kalangan mahasiswa khususnya Lembaga Kemahasiswaan se- UNM dengan meminta transparansi anggaran semester genap dengan merujuk pada undang-undang keterbukaan informasi publik nomor 14 tahun 2008. Dengan harapan sisa anggaran yang tidak terpakai di semester genap selama masa pandemic ini bisa dialihkan ke semester ganjil mendatang dengan kebijakan pemotongan UKT. Tetapi sampai saat ini pimpinan Universitas Negeri Makassar dalam hal ini rektor terkesan menutup-nutupi transparansi anggaran tersebut. Hal tersebut memunculkan mosi tidak percaya mahasiswa kepada rektor Universitas Negeri Makassar. Mahasiswa menilai ada indikasi penyelewengan anggaran, karena sejatinya, kampus memiliki prinsip transparan dan akuntabel.
Apalagi dimasa pandemic mengakibatkan krisis multidimensi. Salah satunya posisi kelas ekonomi rentan makin terhimpit, entah PHK atau tingkat pendapatannya turun. Termasuk pendapatan dari orang tua mahasiswa. Ini membuat kemampuan orang tua mahasiswa untuk melanjutkan anaknya kuliah semakin sulit.
Dari hasil riset BEM UNM, hanya terdapat sekitar 17 persen dari orang tua mahasiswa yang pendapatannya tidak menurun selama pandemi ini. Selebihnya, sekitar 83 persen orang tua dari mahasiswa menurun secara signifikan. Jika kita melihat dari segi pekerjaan orang tua mahasiswa di Universitas Negeri Makassar sendiri, sekitar 26 persen merupakan petani, 21 persen pedagang/wiraswasta, dan sekitar 8 persen pekerjaan lain-lain diluar dari dosen maupun ASN.
Di satu sisi, kebijakan keringanan UKT yang dituntut oleh sebagian besar mahasiswa masih cenderung dikesampingkan dan tidak dilihat secara bijak oleh pemerintahan. Hal tersebut terlihat dari pusat sendiri yakni Kemendikbud yang seolah lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya pada kampus untuk membuat kebijakan tersendiri. Ini akibat dari legalitas hukum yang diberikan berupa kewenangan kampus untuk mengatur otonomi pengelolaannya secara mandiri (Pasal 62, UU No. 12 Tahun 2012). Di sisi lain, kampus yang dalam hal ini telah diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan justru seolah melempar tanggungjawab dengan menunggu instruksi dari kementerian terkait dalam pengambilan kebijakan untuk meringankan UKT mahasiswa.
Tentunya hal ini akan berdampak pada banyak mahasiswa yang tidak bisa melanjutkan kuliah semester depan, akibat tidak mampu membayar UKT. Jadi patut kiranya agar pihak-pihak yang terkait dalam hal ini Kemendikbud dan pimpinan kampus dalam hal ini Rektor Universitas Negeri Makassar untuk saling bersinergi dengan lebih memperhatikan keadaan ekonomi mahasiswa. Di tengah pandemic seperti sekarang ini, seharusnya mereka mengeluarkan kebijakan yang tepat sasaran yakni pemotongan UKT untuk semester depan minimal 50%.[]