Sidang kasus vandalisme Tangerang di Pengadilan Negeri Tangerang, Senin, (20/06/2020). Foto : LBH Jakarta
TANGERANG, KabarKampus – Kasus vandalisme di Tangerang kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang, Senin, (20/06/2020). Sidang ini beragendakan pembacaan eksepsi oleh Shaleh al Ghifari, penasehat hukum tiga terdakwa kasus vandalisme yakni Muhammad Riski Riyanto, Rio Imanuel Adolof Pattinama, dan Riski Julianda.
Sebelumnya, pada tanggal 9 April 2020, polisi telah menangkap Rio, Riski Riyanto, dan Aflah Adhi Masadu karena melakukan tindakan mencoret-coret dengan menggunakan piloks di beberapa titik di sekitar Pasar Anyer, Tangerang. Aksi mereka merupakan bentuk protes terhadap negara karena kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dalam masa pandemi Covid-19.
Pada 10 April 2020, polisi kembali menangkap dua orang atas nama Muhammad Rizki Heriyanto di Tangerang dan Riski Julianda di Bekasi karena dianggap sebagai kelompok anarko sindikalis yang akan membuat keonaran. Untuk dua orang yang masih berusia anak, Aflah dan Rizki telah disidang di persidangan berbeda dan telah divonis 4 bulan penjara.
Ada beberapa poin penting yang menjadi nota pembelaan terdakwa dari surat dakwaan jaksa. Seperti yang dilaporkan LBH Jakarta, poin tersebut mulai dari Surat Dakwaan Dibuat berdasarkan Upaya Paksa yang Tidak Sah hingga Perbuatan yang Dilakukan Bukan Merupakan Tindak Pidana, Melainkan Pelanggaran Perda.
Bukan Pidana, Tapi Langgar Perda
Dalam eksepsi yang dibacakan penasehat hukum, disebutkan bahwa dakwaan penuntut umum keliru karena peristiwa yang diuraikan dalam dakwaan bukanlah pidana seperti yang didakwakan. Uraian perbuatan yang ditulis oleh penuntut umum berkaitan dengan pelanggaran ketentuan larangan melalukan coretan pada bangunan milik pemerintah atau orang lain yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Ketertiban Umum, yaitu:
(1) Setiap orang dilarang: mencoret atau menggambar pada dinding bangunan pemerintah atau bangunan milik orang lain, tempat ibadah, pasar, jalan raya, dan pagar tanpa seizin pemilik/pengelola bangunan; …
Sehingga konsekuensi dari coret-coret yang berlaku sesuai dengan Pasal 25 ayat (2) yaitu sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, kewajiban membongkar sendiri dalam jangka waktu tertentu, pembongkaran, sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan ketiganya didakwa dengan empat pasal yang merupakan delik materiil, yaitu Pasal 14 dan 15 UU RI No. 1 Tahun 1946 dan Pasal 160 KUHP, yang ancamannya mencapai 10 tahun penjara. Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 merupakan Delik Materiil, yang mensyaratkan harus ada akibat yang ditimbulkan terlebih dahulu.
Berdasarkan keterangan dari Prof. Andi Hamzah dalam bukunya bahwa dalam delik materiil terdapat akibat tertentu dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu, maka dari itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Sedangkan tulisan atau perkataan dalam pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 tahun 1946 ini bukan merupakan delik, akan menjadi delik jika sudah menimbulkan akibat.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 juga telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil. Artinya, pelaku penghasutan baru bisa dipidana bila timbulnya akibat yang dilarang seperti kerusuhan atau akibat terlarang lainnya. Bahwa sebelumnya, KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya akibat dari penghasutan tersebut.
Dengan adanya putusan MK tersebut, makin jelas bahwa perbuatan penghasutan saja tidak bisa dipidana jika orang yang dihasut tidak melakukan perbuatan dan ada hubungan antara hasutan tersebut dengan timbulnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang terhasut. Hubungan sebab-akibat tersebut harus dibisa dibuktikan di pengadilan sehingga orang yang menghasut dapat dipidana.
Selajutnya, dalam eksepsi juga disebutkan bahwa penuntut umum tidak memberikan hak terdakwa atas surat dakwaan dan berkas perkara sesuai KUHAP. Sebagaimana disebutkan bahwa penasehat hukum sudah lima kali meminta berkas perkara secara lengkap, tetapi penuntut umum justru memberikan turunan surat dakwaan yang berbeda dengan dakwaan yang dibacakan di persidangan, serta tidak memberikan secara lengkap berkas perkara. Penuntut umum hanya memberikan sebagian isi berkas perkara, yang berkaitan dengan berita acara pemeriksaan saksi dan tersangka. Hal ini bertentangan dengan Pasal 10 Ayat 1 Ayat 2 dan Ayat 3 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan dan Pasal 143 ayat (4) KUHAP.
Selain itu, surat dakwaan yang diterima penasihat hukum pada 16 Juni 2020 berbeda dengan surat dakwaan yang dibacakan saat persidangan, sehingga bertentangan dengan Pasal 144 KUHAP. Penuntut umum mengubah alamat Rio pada surat dakwaan yang diterima oleh penasehat hukum.
Surat Dakwaan Dibuat berdasarkan Upaya Paksa
Dalam eksepsi yang dibacakan Shaleh al Ghifari itu juga menyebutkan bahwa surat dakwaan disusun berdasarkan proses penyidikan yang tidak sesuai ketentuan KUHAP (undue process of law). Upaya paksa yang dilakukan terhadap para terdakwa tidak sah karena penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan terhadap ketiganya dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan KUHAP.
Penyitaan kepada para terdakwa juga dilakukan terhadap barang-barang terdakwa yang tidak relevan dengan tindak pidana, seperti halnya buku-buku dengan judul Corat-Coret di Toilet karya Eka Kurniawan, buku-buku puisi, dan novel-novel yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang didakwakan.
Selain itu, ketiganya juga tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum secara riil di tingkat penyidikan karena penasehat hukum yang ditunjuk oleh Polda Metro Jaya hanya menandatangani Berkas Acara Pemeriksaan Tersangka tanpa adanya pendampingan secara nyata.
Saat penangkapan hingga penyidikan, Rio dan Riski juga kerap mengalami penyiksaan. Rio sempat ditodong senjata laras panjang saat menanyakan soal surat penangkapan dan Riski dipukul menggunakan helm sebanyak dua kali saat penangkapan.
Selama proses BAP, keduanya juga kerap mengalami intimidasi dan disiksa dengan dipukul di bagian wajah, tangan diborgol dengan ikat kabel (zip tie) hingga darah membeku dan tangan bengkak. Kepala Rio dan Riski ditutup plastik hingga tidak bernapas dan pingsan, hal tersebut bahkan dilakukan berkali-kali.
Pemukulan juga kerap dilakukan di beberapa bagian tubuh, di antaranya tangan, kaki, dan wajah. Baik penasehat hukum dan keluarga melihat dengan jelas bekas luka yang dialami keduanya. Oleh penasehat hukum terdakwa, hal yang dialami kliennya jelas melanggar Pasal 33 ayat 1 No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjelaskan:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.