Penulis : Tim Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) UHAMKA, Jakarta
RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) sedang ramai diperdebatkan di tengah masyarakat. Mereka yang menolak RUU ini menilai Pancasila sudah final dan tidak bisa diotak-otik kembali.
Buya Hamka pun pernah mengungkapkan pandangannya tentang Pancasila lewat buku berjudul “Akar Tunggang Pancasila”. Dalam buku ini Buya Hamka menjelaskan, yang menjadi Akar Tunggang Pancasila adalah Ketuhanan dan Ketuhanan inilah yang menjadi dasar dari sila-sila lainnya.
Menengok pandangan Buya Hamka soal Pancasila, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan, perbedaan pendapat tentang Pancasila sudah selesai. Semua telah sepakat dengan pancasila yang ada sekarang. Termasuk umat Islam, telah menerima Pancasila meskipun kewajiban menjalankan syariat dihapus.
“Oleh sebab itu, jangan lagi Pancasila diotak-atik dan dikembalikan pada perdebatan awal,” tegas anggota DPD RI tersebut dalam seminar Pancasila dalam Pandangan Buya Hamka yang digelar Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) Universitas Prof. Dr. Hamka secara daring Sabtu, (27/06/2020).
Jimly mengatakan, dalam pandangan Buya Hamka, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila utama. Sila pertama itu merupakan pokok yang menyinari sila yang lain.
Dalam khutbahnya, lanjut Jimly Hamka pernah menyebut, Pancasila ibarat angka 10.000, empat nol di belakang angka tidak akan ada maknanya tanpa ada angka satu di depan. Maksudnya adalah bahwa sila-sila yang dalam dalam Pancasila tidak akan ada artinya bila tidak didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagi Jimly, suasana RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) merupakan respon dari dilupakannya peristiwa 1 Juni selama 32 tahun Orde Baru. Sehingga saat ini ketika ketika anak-anak Soekarno memegang kekuasaan, peristiwa bersejarah itu dimunculkan kembali. Namun begitu, peristiwa tanggal 22 Juni juga tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari sejarah Pancasila.
“Pidato 1 Juni itu di abaikan selama masa Orde Baru. Tapi peristiwa 22 juni jangan juga diabaikan”, ujar Prof. Jimly.
Oleh karena itu menurut Prof. Jimly, peristiwa tanggal 1 Juni harus ditempatkan pada tempat yang proporsional. Sebab pidato 1 Juni adalah pidato pribadi Bung Karno, sementara peristiwa 22 Juni adalah hasil kesepakatan bersama yang juga diketuai oleh Bung Karno.
Untuk itu, Prof. Jimly mengingatkan, jangan sampai ide satu partai dijadikan sebagai agenda negara.
Maneger Nasution kedua dalam diskusi mengatakan hal serupa. Wakil Ketua LPSK ini mengatakan, Buya Hamka memahami sila kedua, tiga, empat dan lima dengan merujuk pada sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga cara membaca Pancasila menurut Buya Hamka adalah kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan ketuhanan, persatuan Indonesia berdasarkan ketuhanan,
Oleh karena itu menurut Maneger Nasution, RUU HIP ini bermasalah. Ia beralasan, RUU HIP cacat filosofis, inkonstitusional, a historis, mengandung sekularisasi pancasila, dan memiliki agenda tersembunyi di baliknya.
“Sebab 1 Juni adalah ijtihad pribadi Soekarno. Kalau kita menggunakan teori siklus Ibn Khaldun maka problem hari ini hanya pengulangan sejarah saja. Pidato Bung Karno harus ditempatkan di tempat yang proporsional,” ungkap Maneger.
Lebih lanjut, JJ Rizal mengatakan, Buya Hamka pernah menggugat penulisan sejarah nasional. Hamka mempertanyakan posisi umat Islam dalam sejarah Indonesia. Bagi Hamka sejarah Indonesia merupakan sejarah Islam sentris. Sejarah umat Islam Indonesia merupakan bagian sejarah umat Islam dunia.
Oleh karena itu, umat Islam perlu jelas kedudukannya dalam sejarah. Karena Pancasila akan menjadi dasar negara, dimana sumbangsih umat Islam sangat besar dalam kemerdekaan Indonesia, maka pemaknaan pancasila itu harus dipulangkan pada Islam.
“Terlebih kata Buya Hamka, Pancasila itu hidup dalam kata merdeka. Kata merdeka itu adalah kata yang lekat dengan Islam dan takbir dalam shalat,” terang JJ Rijal.
Seminar ini merupakan respon Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) terhadap ramainya perdebatan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Seminar ini diharapkan bangsa Indonesia membaca kembali sejarah keterlibatan umat Islam dalam merumuskan terbentuknya Pancasila.
Seminar dihadiri lebih dari 80 orang yang terdiri akademisi dan peneliti dari berbagai lembaga seperti UIN Imam Bonjol Padang, UMSB Sumatera Barat, STAIDA Payakumbuh dan Simak Institute (Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan). Sebagian besar peserta sepakat meminta PSBH menyatakan sikap agar RUU HIP tidak hanya dihentikan tapi juga dicabut dan dibatalkan.