More

    Mengenal Aikido

    Oleh :  Ichi*


    合気道は、開祖植芝盛平翁(1883~1969)が日本伝統の武術の奥義を究め、さらに厳しい精神的修行を経て創始した現代武道です


    Aikidō wa, kaiso Ueshiba Moriheiō (1883~1969) ga Nihon dentō no bujutsu no ōgi o kiwame, sarani kibishī seishin-teki shugyō o hete sōshi shita gendai budō desu.


    Aikido adalah seni beladiri yang ditemukan oleh Kaiso, Sang Pendiri, Ueshiba Morihei (1883-1969), setelah beliau berlatih mendalami teknik berperang Jepang klasik dan menjalankan berbagai tempaan latihan spiritual di Jepang.


    —————————————-


    Pendahuluan

    Kalimat perkenalan tentang aikido di atas disampaikan di situs resmi Dojo Pusat Aikido yang berada di Jepang, di mana keturunan keluarga Ueshiba memimpin perguruan Aikido di seluruh dunia ke dalam wadah Aikikai atau Yayasan Aiki hingga saat ini.

    - Advertisement -


    Sang Pendiri Aikido, Morihei Ueshiba, selalu mengingatkan bahwa Aikido adalah budō kepada para murid-muridnya. Budō adalah istilah dalam bahasa Jepang yang lebih cocok diterjemahkan sebagai seni bertempur atau seni berperang ke dalam bahasa Indonesia. Ada makna yang perlu dijelaskan lebih rinci jika budō diterjemahkan menjadi “olahraga beladiri” atau “seni beladiri”, karena di Jepang budō dikaitkan dengan sejarah ilmu militer dan falsafah budaya ksatria di sana. Budō (武道) terdiri dari dua huruf kanji yaitu sebagai berikut:


    1. Huruf bu (武) disusun dari dua karakter. Karakter bagian kiri bawah menggambarkan “kaki” yang sedang berpijak. Karakter bagian kanan bawah menggambarkan tombak sehingga memilih arti menusuk dan menyerang. Gabungan kedua karakter ini memiliki interpretasi arti yaitu prajurit, milter, dan kemiliteran. Namun ada interpretasi kedua yang cukup penting untuk dipelajari. Karakter bagian kiri bawah bisa diartikan juga sebagai makna “berhenti” berdasarkan gambaran langkah kaki yang berpijak. Kemudian digabung dengan karakter tombak, sehingga bisa dimaknai “untuk menghentikan senjata (konflik)”. Kedua interpretasi ini menjadi ide pemahaman dalam berlatih budō untuk mencapai perdamaian dengan menghentikan konflik, baik dalam internal diri praktisi maupun konflik eksternal antar manusia.


    2. Huruf dō (道) adalah pelafalan bahasa Jepang untuk menyebut falsafah Tao dalam bahasa Mandarin. Huruf ini adalah gabungan dari dua karakter yang berkombinasi menjadi satu, yaitu karakter pertama yang menandakan “gerakan” berpadu dengan karakter kedua yang menandakan “kepala” atau “pemimpin”. Arti gabungan kedua karakter ini adalah “falsafah jalan utama” dan memiliki makna kata yaitua menunjuk pada kebijaksanaan yang timbul secara intuitif dari sebuah proses tanpa henti, yang tidak memaksa, dan melenyapnya ego dalam pencerahan batin manusia. Konsep tao atau dō di Jepang memiliki arah yang lebih praktis dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam peran sertanya sebagai bagian dari masyarakat lebih luas. Sebagai contoh seni menulis klasik shodō dan seni minum teh chadō juga berdasarkan pembelajaran terhadap falsafah dō (道).


    Pada tahun 1467 sampai dengan 1615 Masehi, Jepang pernah mengalami masa perang saudara yang disebut dengan sengoku jidai, atau “zaman negeri dalam keadaan perang”. Periode ini penuh dengan kekerasan perang dan sering terjadi perebutan wilayah antar prefektur. Dalam keadaan berperang secara konstan selama 148 tahun ini maka para ksatria, atau bushi (istilah yang lebih populer adalah samurai) berlatih ilmu kemiliteran secara komprehensif. Ilmu perang ini dalam bahasa Jepang disebut bujutsu (bu 武 dan jutsu 術). Bujutsu meliputi ilmu strategi perang, pertahanan benteng, logistik, teknik penggunaan senjata seperti teknik memanah, teknik tombak, teknik pedang, teknik intelejen, dll. Semua cabang ilmu ini memiliki tujuan yang sama yaitu memenangkan perang dan menghancurkan lawan.


    Tujuan bujutsu tersebut menjadi tidak relevan setelah perdamaian mulai tercapai dengan berkuasanya Tokugawa Ieyasu sebagai shōgun, yang memegang kekuasaan de facto pemerintahan di Jepang pada tahun 1603. Beberapa veteran perang merasa jenuh dengan akibat peperangan. Mereka menyepi untuk merefleksikan hidup mereka dan tujuan ilmu perang yang tidak sesuai pada masa damai. Bagaimana caranya untuk memanfaatkan metode latihan bujutsu agar menjadi berguna untuk sarana edukasi bagi generasi selanjutnya. Hal tersebut turut melestarikan kultur ksatria yang sigap menangani pekerjaan pemerintahan, menjaga tatanan perdamaian, dan selalu siaga menghadapi bahaya atau ancaman musuh yang mendadak. Saat itulah bujutsu (武術) sebagai kumpulan ilmu perang, mulai dirumuskan menjadi budō (武道) atau seni bertempur, ataupun seni beladiri dalam bahasa Indonesia.


    Berdasarkan asal makna di atas, maka budō bukan sekadar ilmu perang, bukan sekadar metode untuk menghancurkan musuh, atau bukan juga sekadar sekumpulan teknik-teknik bela diri untuk mengatasi serangan lawan. Prinsip budō sebagai seni bertempur adalah memandang bahwa seseorang memiliki aspek fisik, aspek pikiran, dan aspek mental yang perlu dilatih sekaligus. Ketiga aspek tersebut dilatih secara terintegrasi dalam sebuah proses disiplin yang berakar pada sikap untuk selalu siaga menghadapi peperangan atau mara bahaya. Kemudian dalam perjalanan disiplin tersebut, seseorang memiliki sarana atau kerangka edukasi bagi dirinya untuk selalu menemukan makna keberadaan dirinya, yaitu kesadaran eksistensi seseorang yang bertanggungjawab sebagai bagian dari masyarakat ataupun alam semesta.


    Secara sederhana, budō adalah salah satu jalan bagi seseorang untuk melakukan pembelajaran melalui fisik yang dilatih rutin mengikuti hukum-hukum alam semesta. Pada level fisik ini, seorang murid mengikuti model gerakan (jurus atau kata dalam bahasa Jepang) yang diinstruksi oleh seorang guru. Taitetsu Unno, seorang praktisi aikido senior sekaligus profesor di Smith College (dalam Kisshomaru 1984), memberi penjelasan bahwa seorang murid akan mengulang gerakan yang sama puluhan hingga ribuan kali setiap hari dengan seksama, sehingga dia menginternalisasi makna gerakan tersebut. Pada situasi yang tradisional, penjelasan bahkan tidak diucapkan dan beban pembelajaran sepenuhnya ada pada si murid. Ketika puncak penguasaan bentuk gerakan jurus-jurus sudah tercapai maka si murid tersebut melepaskan kemelekatan terhadap bentuk gerakan jurus-jurus itu.


    Pelepasan terhadap bentuk gerakan jurus-jurus mulai terjadi ketika perubahan psikologi dimulai. Pengulangan bentuk gerakan serta rutinitas latihan yang monoton akan menguji komitmen dan tekad seorang murid, namun pada saat yang sama mengurangi sifat keras kepala, dan menghilangkan kebiasaan buruk dari postur tubuh dan pikiran. Dalam proses ini potensi diri dan kekuatan karakter mulai bangkit. Pencapaian spiritual tidak terpisahkan dari perubahan psikologi dan pelatihan fisik, tentunya hal ini baru mulai terjadi setelah latihan intensif dalam jangka waktu tertentu.


    Aspek mental spiritual budō adalah menjadi pribadi tanpa ego. Dalam setiap seni beladiri dan cabang seni budaya lainnya, ego dapat membatasi ekspresi bebas dari seseorang. Dalam seni berpedang seorang murid akan berlatih mulai dari postur kuda-kuda yang sepenuhnya bebas dari celah kelemahan (suki) untuk diserang oleh lawan. Celah kelemahan muncul jika ego dipelihara seseorang. Seseorang tersebut menjadi rawan saat diserang ketika pikiran tidak luwes akibat dikuasai hasrat untuk menang, ketakutan jika kalah, haus pengakuan dari lawan, atau meremehkan lawan. Ketika pikiran tidak luwes maka tubuh menjadi kaku menghadapi serangan dan gerakan yang mengalir menjadi hilang.


    Pada dasarnya, pelatihan tubuh fisik, mental pikiran, dan pencapaian spiritual adalah manunggal dan sejalan. Kondisi tanpa ego tidak memandang dari perspektif yang sekedar mengutamakan pada diri pribadi, tetapi memusatkan pandangan pada keliling lingkaran yang tidak terbatas sehingga setiap titik menjadi pusat alam semesta. Kemampuan untuk melihat semua keberadaan dari perspektif tak mengutamakan diri adalah hal penting dalam jati diri ajaran Shintō dengan alam, dan menjadi bagian yang membentuk kebijaksanaan dalam ajaran Buddhis, di mana ekspresi tertinggi adalah tak lain dari welas asih.


    Jalan berpikir tersebut menjadi esensi dari semua seni beladiri dan seni budaya dari tradisi Jepang. Aikidō adalah hasil perumusan dari esensi tersebut yang disempurnakan oleh Master Ueshiba Morihei (1883-1969). Beliau menjelaskan tujuan dari seni beladiri ini dalam sebuah kuliah kepada peserta umum, berikut pernyataannya:


    “Budō tidak ditujukan untuk menjatuhkan lawan dengan kekerasan atau senjata mematikan. Tidak juga ditujukan untuk memimpin dunia ke arah kehancuran dengan persenjataan atau makdsud-maksud yang tidak sah. Budō sejati bertujuan membawa energi dalam alam semesta sesuai tatanannya, menjaga perdamaian dunia, juga melestarikan segala sesuatu di alam sesuai bentuk aslinya. Berlatih budō sama halnya dengan memperkuat tubuh dan jiwa, welas asih dari ‘Kami’, keilahian yang melahirkan, menjaga, dan merawat segala sesuatu di alam.”


    Master Ueshiba selalu mengingatkan bahwa seni beladiri harus menjadi daya “prokreatif”, menghasilkan welas asih yang pada akhirnya memandu kehidupan yang berlimpah dan penuh kreasi. Kesimpulan ini diucapkan setelah perjalanan panjang kehidupannya sebagai manusia yang mendedikasikan diri sebagai praktisi seni beladiri. Salah satu ucapan di masa akhirnya, beliau menyatakan bahwa, “Aikidō adalah budō sungguhan, kerja welas asih di alam semesta. Menjadi pelindung semua mahluk hidup; yaitu segala sesuatu yang diberikan kehidupan mempunyai perannya masing-masing. Ini adalah kekuatan kreatif yang tidak hanya ada pada seni beladiri, tetapi juga ada pada segala bentuk kehidupan, yang merawat pertumbuhannya dan perkembangannya.” Aikidō sebagai seni beladiri tradisional menyadari welas asih yang universal melalui latihan tekun dari tubuh fisik. Disiplin nyata dan ketegasan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan mental dan pertumbuhan spiritual.


    Pengertian Ki (気)

    Berdasarkan komposisi bahasa, aikidō terdiri dari tiga kata dalam bahasa Jepang, yaitu: ai (合) yang berarti harmoni, ki (気) yang berarti energi universal alam semesta (chi dalam bahasa Mandarin, atau prana dalam bahasa Indonesia), dan dō (道) yang berarti falsafah jalan. Dalam berlatih aikidō, proses memahami ki (気) adalah hal yang penting. Konsep ki adalah pemahaman dari zaman klasik terhadap energi yang membentuk alam semesta serta juga berada di inti setiap manusia. Konsep ki di Jepang berasal dari Para Bijak dari Negeri Cina, yaitu: Lao-Tzu, Huai-nan-tzu, Mencius, Kuan-tzu, dan lain sebagainya. Ide dasar tentang ki menjadi berkembang sebagai prinsip metafisika dari beberapa perguruan pemikiran di Cina. Sebagai contoh sebagai berikut: ki adalah prinsip esensial dari keharmonisan, dan menjadi sumber kreativitas dalam bentuk kondisi dualistik yin dan yang (Lao Tzu), keutuhan yang vital dari kehidupan (Huai-nan-tzu), keberanian yang timbul dari kejujuran moral (Mencius), daya ilahi yang menembus segala hal (Kuan-tzu).


    Sebagai istilah, ki tidak pernah dideskripsi dengan batasan yang jelas. Seringkali dihubungkan dengan kondisi ruang ketiadaan (Lao-tzu), pada saat lain disebut sebagai energi pembentuk yang timbul dari chaos (Chuang-tzu). Oleh para bijak, ki dianggap pula sebagai prinsip dualistik yang membentuk alam semesta. Kondisi dualisme ini berevolusi menjadi ki yang bekerja dalam bentuk yin dan “yang atau in dan yo dari bahasa Jepang. Selanjutnya dari situ muncul teori Lima Unsur dan disusunnya Kitab Perubahan. Di Kitab Perubahan membahas yin dengan simbol garis terputus (–) dan yang dengan simbol garis tersambung (-). Kombinasi kedua simbol berlawanan tersebut menghasilkan delapan variasi trigram yang dapat dipakai untuk membaca tanda-tanda alam. Secara garis besar, prinsip ki berhubungan dengan bekerjanya dualisme yin-yang.


    Prinsip ki pertama kali diperkenalkan ke Jepang pada periode Nara (710-794) dan periode Heian (794-1185), kemudian pengenalan Buddhis dari India via Tiongkok juga memberi pengaruh makna. Ide tentang ki ini juga beradaptasi dengan kearifan lokal tentang alam dengan menganggap peran ki dalam proses tumbuh kembang, penyerbukan, bermekarannya bunga, dan layu serta gugurnya pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Banyak kata majemuk dalam bahasa Jepang yang dihubungkan sangat erat dengan proses-proses alam, seperti sebagai berikut: pemberdayaan energi, yo-ki; pulihnya kehidupan, kai-ki; energi batin, sei-ki; dan sebagainya. Ki juga dikenali sebagai energi yang kuat dalam hubungan cinta dan benci dalam hubungan interpersonal, serta diikutsertakan ke dalam kegiatan keagamaan yang magis dalam penggunaan yin-yang, Teori Lima Unsur, dan proses pensakralan, yang mana seringkali tertulis di berbagai literatur periode Heian, seperti Kisah tentang Genji.


    Awal mula istilah aiki sebagai sebuah teknik bertarung dapat ditelusuri dari seni gulat kuno atau tegoi sebagai sebuah teknik tingkat lanjut. Tegoi ini kemudian menjadi asal muasal sumo. Tegoi pernah disebutkan dalam ‘Kojiki’ naskah tertua Jepang mengenai mitologi zaman purba yang disusun sekitar tahun 712 Masehi. Dikisahkan bahwa Dewa Takemikazuchi menangkap tangan Dewa Takeminakata, kemudian memegangnya seperti sebatang buluh, dipuntir, lalu melemparnya.


    Tegoi adalah asal muasal dari sumo, olahraga nasional Jepang di masa kini. Tegoi juga diceritakan dalam legenda Nomi no Sukune dan Taima no Kehaya di Nihon Shoki (Kronik Jepang yang disusun 720 M). Selama era Heian (sekitar 792-1192), tegoi menjadi hiburan resmi istana yang dikenal sebagai sumai no sechie, yang pada akhirnya berkembang menjadi sumo. Pertandingan sumai no sechie diikuti oleh pegulat-pegulat dari pelosok Jepang untuk bertanding di hadapan kaisar. Saat itu tegoi tidak seperti sumo modern karena tidak ada arena pertandingan, dan teknik yang digunakan lebih agresif daripada yang digunakan di sumo hari ini. Bahkan sifat agresif tegoi itu diperjelas oleh titah dari Kaisar Nimmyo (810-850) yang berkata bahwa, “Sumai no sechie bukan sekedar hiburan, tetapi adalah sarana yang ideal untuk menumbuhkan keterampilan seni bertempur secara nyata.”


    Perubahan dramatis dalam penafsiran dan aplikasi ki mulai berlangsung pada saat munculnya kelas samurai dari periode Heian. Proses berlanjut melewati periode Kamakura (1185-1336), periode Muromachi (1336-1573), periode Azuchi-Momoyama (1568-1603), dan mencapai puncaknya pada permulaan periode Tokugawa (1603-1868). Para samurai, yang terbiasa menghadapi ancaman kematian pada zaman perang saudara, menggunakan kata ki ke dalam istilah sebagai berikut: nyali, shi-ki; tekad, i-ki; bugar, gen-ki; keberanian, yu-ki; ketenangan, hei-ki; penghematan energi, shu-ki; dan persoalan hidup-mati, ki-soku.


    Sekarang saatnya menyimak pandangan tentang ki dari sang pendiri aikidō Ueshiba Morihei. Pandangan beliau tentang ki, lahir dari pemahaman intuitif tentang kerja alam semesta. Seringkali ucapan beliau sulit dimengerti, tetapi dengan membaca ucapannya secara meditatif akan memberikan kita beberapa petunjuk mengenai pemahaman tentang ki. Berikut adalah ucapan beliau dalam terjemahan bebas, “Melalui budō saya melatih tubuh dengan tekun dan memahami rahasia yang ada, tetapi saya juga menyadari jika ada kebenaran yang lebih besar. Yakni, ketika saya menggapai sifat alami dari alam semesta melalui budō, saya memandang dengan jelas bahwa manusia mesti menyatukan pikiran, tubuh, dan ki yang memadukan keduanya sehingga tercapainya harmoni dengan semua kerja alam semesta.


    Dengan sifat dan kerja sunyi dari ki, kita mengharmoniskan pikiran dan tubuh serta hubungan antara seorang individu dengan alam semesta. Ketika kerja sunyi dari ki tidak sehat, maka dunia akan jatuh ke dalam kebingunan dan alam semesta menjadi kacau. Mengharmoniskan kesatuan ki-pikiran-tubuh dengan kerja alam semesta adalah hal kritis untuk tatanan dan perdamaian di dunia.


    Bekerjanya ki dengan senyap adalah sumber induk yang memengaruhi perubahan halus di nafas. Itu juga menjadi sumber dari seni bertempur sebagai welas asih. Ketika seseorang menyatukan pikiran dengan tubuh melalui manfaat ki dan memanifestasikan ai-ki (ki yang harmonis), maka perubahan halus dari kekuatan nafas akan terjadi secara spontan dan waza, teknik, akan mengalir dengan bebas.


    Perubahan nafas itu berhubungan dengan ki dari alam semesta, berinteraksi, dan saling menembus dengan semua kehidupan. Pada saat yang sama kekuatan nafas yang halus akan memasuki semua bagian tubuh, terserap masuk sehingga mengisi seseorang dengan vitalitas, menghasilkan gerakan spontan yang dinamis secara alami. Dengan cara ini seluruh tubuh, termasuk organ dalam, menjadi satu dengan panas, cahaya, dan tenaga. Tercapainya penyatuan pikiran dan tubuh serta menyatu dengan alam semesta akan membuat gerakan yang segera tanpa hambatan dari kehendak seseorang.


    Perubahan halus dari nafas akan menyebabkan gerakan senyap dari ki di dalam ruang kosong. Seringkali gerakan menjadi sengit dan ampuh, pada saat lain menjadi lambat dan diam. Dengan perubahan-perubahan tersebut seseorang dapat melihat tingkat kesadaran dari penyatuan pikiran dan tubuh, kekuatan nafas menjadi satu dengan alam semesta, lembut, dan secara alami berkembang menuju batas maksimal, tetapi pada saat yang sama seseorang akan semakin mandiri dan otonom. Melalui cara ini esensi spiritual menjadi nyata dalam diri seseorang, melingkupi, melindungi, serta mempertahankan diri seseorang. Ini adalah pengantar untuk memahami esensi ai-ki.”


    Pada tahap awal latihan, seorang pemula sudah diperkenalkan dengan konsep ki. Penting sekali untuk menyadari titik sentral tubuh yang sangat kuat yaitu berada sekitar dua atau tiga ruas di bawah pusar. Titik ini secara alami menjadi pusat gravitasi dari berat badan seseorang dalam kondisi berdiri tegak dengan rileks. Titik ini disebut dengan seika tanden dalam bahasa Jepang. Pada permulaan ini, ki dibayangkan mengalir dari tanden ke arah tangan hingga ujung jari agar tangan kosong ini menjadi senjata yang disebut te-gatana atau tangan pedang. Kemudian kekuatan nafas dilatih dalam posisi berdiri atau duduk. Metode latihan nafas ini disebut kokyu-ho. Setelah itu pembelajaran awal dilanjutkan dengan membentuk jarak yang tepat (ma-ai) antara seorang praktisi dengan partner latihannya.


    Menurut Kisshomaru Ueshiba (1984: 30), sulit sekali mencari terjemahan kata dalam bahasa Barat yang memiliki makna sepadan dengan ki. Terjemahan yang ada akan menyesuaikan sesuai dengan dimensi berbeda dari ki. Jika penekanan pada aspek spiritual maka bisa diterjemahkan sebagai spirit, soul, ethos dalam bahasa Inggris; atau esprit dalam bahasa Perancis; atau geist dalam bahasa Jerman. Jika penekanan pada aspek afektif maka bisa diterjemahkan sebagai sense, intuition, feeling, intention dalam bahasa Inggris; atau stimming dalam bahasa Jerman. Jika penekanan pada aspek psiko-fisiologi maka bisa diterjemahkan sebagai breathing, breath, ether dalam bahasa Inggris; atau psyche dalam bahasa Yunani.


    Aikidō Tidak Berkompetisi

    Aikidō tidak berkompetisi dalam pertandingan. Prinsip dan teknik aikidō mengadopsi dari ilmu perang klasik (bujutsu) yang digunakan untuk tetap bertahan hidup dalam situasi pertarungan yang membahayakan hidup seseorang maupun peristiwa pertempuran di dalam perang. Ada beberapa teknik bantingan yang pada aplikasi di zaman perang bertujuan mematahkan tulang belakang atau leher seorang prajurit musuh yang memakai baju zirah lengkap. Dalam perkembangan aikidō sebagai budō (seni beladiri) ada aspek teknik berbahaya yang sudah tidak diajarkan, namun teknik-teknik yang masih dilatih saat inipun masih bisa memberi cedera parah jika dilakukan dalam suasana kompetisi yang memanas antara dua orang praktisi yang bertanding dengan sengit.


    Sang pendiri aikidō, Ueshiba Morihei menyimpulkan bahwa semangat sejati dari budō tidak bisa ditemukan dalam suasana kompetitif di mana para praktisi mengalami tekanan untuk menang dan tekanan menghindari kekalahan dalam suatu pertandingan. Aikidō menolak kontestasi kompetisi dalam bentuk apapun, termasuk pembagian rangking berdasarkan jumlah kemenangan, pemisahan kelas berdasarkan bobot tubuh atau gender, atau masuknya logo-logo sponsor dalam kompetisi atau latihan rutin. Kesimpulan beliau adalah perlunya kesadaran sebagai manusia untuk melatih diri baik tubuh fisik maupun pikiran melalui latihan rutin setiap hari dengan semangat tinggi. Melalui latihan konstan terhadap tubuh dan pikiran seseorang dapat mengharmoniskan ki individu dengan ki alam semesta, dalam hal ini melatih nafas agar terlatih adalah tidak terpisahkan.


    Keputusan aikidō untuk tidak berkompetisi tidak bermakdsud untuk mengkritik seni beladiri lain yang memutuskan menjadi olahraga beladiri yang kompetitif. Dalam sejarahnya, dapat dipahami bahwa arah seni beladiri menjadi sebuah sport adalah langkah untuk bertahan agar tetap lestari, terutama di Jepang pasca Restorasi Meiji dan setelah Perang Dunia II. Seperti ilmu berpedang atau kenjutsu yang dimodifikasi menjadi kendō atau jujutsu yang menjadi judō. Demikian hal tersebut dapat dipahami, tetapi aikidō mengambil jalan yang berbeda dari tren kompetisi dalam kegiatan penyebarluasannya.


    Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II menyebabkan banyak cabang seni beladiri yang sempat dilarang oleh otoritas Allied Occupation terutama yang menjadi alat militerisme Perang Pasifik. Dalam hal ini aikidō terbebaskan dari pelarangan pasca Perang Dunia II karena keengganan Master Ueshiba Morihei untuk bergabung dalam sebuah badan yang mendukung militerisme Jepang sebelumnya.


    Konsep Berlatih Aikidō

    Konsep aikidō adalah melatih seseorang agar mampu menghadapi penyerang yang lebih kuat atau lebih jago dalam teknik bertempur. Teknik aikidō bekerja dengan menyelaraskan gerak dari penyerang dan kemudian mengarahkan tenaga si penyerang tersebut, ketimbang bergerak melakukan serangan balik. Pencapaian tertinggi seorang praktisi Aikidō adalah mampu menyelamatkan dirinya tanpa menghabisi nyawa penyerang, bahkan kalau bisa tanpa cedera pada diri sendiri maupun si penyerang.


    Pada masa modern setelah Perang Dunia II, tujuan Aikidō adalah memberdayakan tubuh fisik dan mental sesuai dengan tingkatan kemahiran seseorang apa adanya, sehingga siapapun dapat mulai berlatih dan mengikuti semua porsi latihan. Dalam situasi damai ini, Aikidō tidak ditujukan untuk melatih seorang praktisi mencapai kesempurnaan dalam keahlian teknis, melainkan untuk pengembangan karakter si praktisi sesuai dengan hukum-hukum alam semesta.


    Latihan aikidō bermanfaat juga untuk membangun percaya diri yang alamiah dalam kehidupan sehari-hari. Dojo atau sasana tempat berlatih adalah lokasi yang ideal untuk memperdalam wawasan manusia, untuk bertemu orang-orang dari berbagai usia, jenis kelamin, maupun pekerjaan.


    Hanya melalui latihan untuk menggapai manfaat aikidō baik hasil yang terlihat atau hasil yang tak terlihat. Kebanyakan praktisi aikidō pernah mengalami proses keraguan menjadi berkomitmen untuk rajin latihan, dan selanjutnya menjadi paham dengan metode dan bentuk aikidō. Seseorang yang telah melaui siklus ini menjadi belajar beberapa hal tentang aikidō yang membuatnya unik.


    Pertama adalah seseorang mungkin terkaget bahwa d ibalik penampilan teknik aikidō yang terlihat lembut di acara peragaan untuk publik, terdapat sisi keras, sengit, dan dinamis dari teknik kontrol yang mengunci persendian dan adanya aplikasi serangan (atemi). Hal ini kontras dengan asumsi sesorang yang masih awam memandang aikidō, di dalam tekniknya selalu ada kandungan dengan daya rusak untuk mengontrol dan menundukan lawan.


    Berikutnya adalah, seseorang mungkin akan terkejut ketika menemukan bahwa dari tingkat pemula, gerakan teknik dasar sangat sulit dilakukan, seperti cara jatuh terbanting dengan aman (ukemi), pemahaman jarak serang yang tepat (ma-ai), gerakan masuk menembus pertahanan lawan (irimi) dan gerakan tubuh lainnya (taisabaki). Kenyataannya adalah setiap teknik membutuhkan gerakan serentak seluruh anggota tubuh dengan koordinasi seketika sambil menjaga keseimbangan pusat gravitasi tubuh, irama nafas, kesiagaan mencegah celah kelemahan yang mungkin timbul, serta jarak dan sudut kontrol yang aman.


    Sensei Hiroshi Tada, seorang praktisi aikidō senior, menyampaikan analogi dari master Ueshiba Morihei bahwa dalam berlatih agar menganggap tubuh kita ibarat instrumen musik berkualitas terbaik dan menganggap pikiran kita ibarat pemain musik terbaik yang akan bermain musik dengan irama dan nada tepat. Sensei Hiroshi Tada adalah murid langsung dari Master Ueshiba Morihei. Beliau masih aktif mengajar di usia 90 tahun saat ini dan mulai berlatih aikidō sejak Maret 1950.


    Ada sembilan aspek yang perlu diperhatikan oleh seorang aikidōka, atau praktisi aikidō, dalam berlatih, yaitu sebagai berikut:


    1. Kokyu: “kekuatan nafas dan irama yang tepat”. Nafas adalah kehidupan, berarti nafas yang bermasalah menandakan gejala stres, sakit dan ketakutan. Nafas juga menjadi pertanda bagi irama diri dengan alam semesta. Master Ueshiba mengatakan: “Segala sesuatu di langit dan di bumi itu bernapas. Nafas ibarat benang yang menghubungkan setiap ciptaan menjadi sesuatu. Jika seseorang mengenali variasi tiap irama napas, teknik yang sesungguhnya akan lahir.


    2. Shiho: “segala arah, universalitas”. Makna dari shiho adalah “empat arah”. Pada saat latihan pemanasan aikido, latihan diawali dengan shiho undo yang berasal dari tebasan empat arah. Stabilitas pinggang dilatih dengan intesif pada gerakan shiho undo. Shiho, atau “empat arah” memiliki makdsud untuk melatih cara pandang terhadap dunia dari segala aspek dan bergerak ke segala arah seperlunya.


    3. Irimi: ”masuk dan menyatu”. Ketika menghadapi serangan, langkah terbaik adalah masuk langsung ke hadapan serangan dengan penuh inisiatif. “Ketika lawan datang, bergerak dan sambut dia.” Cara terbaik menghadapi serangan adalah dengan langsung kembali ke sumber dan menyatu dengannya untuk meredam sifat agresif lebih lanjut.


    4. Kaiten: “berputar dan membuka”. Seringkali, menghindari serangan adalah cara yang efektif dengan melangkah ke segala sisi diluar jarak serang lawan. Konsep “terbuka terhadap segala kemungkinan” memiliki peran utama di dalam Aikido dan ini juga melatih sikap terbuka terhadap segala kemungkinan, pemikiran yang terbuka dan hati yang terbuka. Master Ueshiba berkata: “Setiap dari kita harus membuka jalan kita masing-masing, untuk membuka pintu diri kita terhadap kebenaran.”


    5. Osae: “pengendalian dan kontrol atas situasi”. Teknik Aikido terdiri dari beberapa kuncian di persendian. Hasil yang perlu digarisbawahi adalah dengan teknik kuncian tersebut, seseorang harus tetap menjaga genggaman yang erat dan menjaga situasi tetap terkendali.


    6. Ushiro Waza: “menghadapi yang tak diketahui”. Dalam Aikido, kita berlatih jika diserang dari belakang untuk mengasah kepekaan menghadapi serangan sebelum terjadi. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini diterjemahkan sebagai latihan sikap waspada menghadapi yang tak terduga.


    7. Tenchi: “berdiri kokoh di antara bumi dan langit”. Master Ueshiba berkata:”Berusahalah selalu menyatu dengan langit dan bumi, maka alam semesta akan memunculkan cahaya sejatinya. Jika kita memahami wujud langit dan bumi yang sesungguhnya, kita akan tercerahkan oleh wujud alami yang ada.”


    8. Aiki Ken and Aiki Jo. Dalam Aikido teknik dilakukan dengan sifat gerakan pedang yang lurus, tegas dan langsung. Selain itu, kita harus dapat bertindak dengan fleksibel, halus ke segala arah seperti gerakan jo atau tongkat dengan panjang 120 cm.


    9. Ukemi: “tujuh kali jatuh, delapan kali bangun”. Hal pertama yang kita pelajari di dalam Aikido adalah belajar ukemi agar menjaga menjaga tubuh terjatuh secara aman dan bisa bangkit dengan segera.


    Sejarah Aikido

    1883: Penemu Aikidō, Ueshiba Morihei lahir pada tanggal 14 Desember di Kota Tanabe, Prefektur Wakayama.


    1897: Ō-Sensei Ueshiba Morihei mulai berlatih teknik bertempur klasik.


    1912: Ō-Sensei Ueshiba Morihei memenuhi undangan pemerintah untuk merintis usaha transmigrasi ke Hokkaido.


    1919: Pada perjalanan pulang, Ueshiba Morihei berkenalan dengan Onisaburo Deguchi, seorang praktisi agama Shintō dari sekte Omoto. Ueshiba Morihei mendedikasikan diri ke dalam latihan spiritual asketik.


    1920: Ō-Sensei membuka dojō yang bernama Ueshiba-juku di Ayabe, Prefektur Kyoto.


    1921: Ueshiba Kisshomura (Doshu Kedua) lahir pada tanggal 27 Juni, di Ayabe, Prefektur Kyoto


    1922: Ō-Sensei menyebut istilah Aiki sebagai esensi seni beladiri, sebagai hasil perkembangan batinnya dalam latihan spiritual.


    1927: Ō-Sensei pindah ke Tokyo bersama keluarganya dan mulai mengajar seni beladiri di Shirogane-Sarumachi, Shiba yang kemudian dipindahkan juga ke Tokyo.


    1931: Dojo Kobukan didirikan di Wakamatsu-cho, Shinjuku.


    1940: Yayasan Kobukan yang dipimpin oleh Isamu Takeshita telah diakui oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan.


    1941: Perencanaan membangun dojo di Iwama, Prefektur Ibaraki


    1942: Nama Aikido mulai dipakai.


    1943: Kuil Aiki didirikan di Iwama Prefektur Ibaraki.


    1945: Dojo Ibaraki dibangun sebagai tambahan dari Kuil Aiki di Iwama, Prefektur Ibaraki


    1948: Yayasan Aikikai diresmikan oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan dengan Kenji Tomita sebagai Ketua Yayasan Aikikai.


    1949: Di bawah kepemimpinan Ueshiba Kisshomaru sebagai Ketua Dojo Pusat, latihan rutin terjadwal telah dimulai.


    1951: Ueshiba Moriteru (Doshu yang sekarang) lahir pada 2 April di Tokyo.


    1955: Peragaan Aikidō pertama di atap toko serba ada Takashiyama di Nihonbashi, Tokyo.


    1957: Ueshiba Kisshomaru menerbitkan buku pertama Aikido.


    1967: Ueshiba Kisshomaru menjadi Ketua Yayasan Aikikai.


    1968: Dojo Pusat Aikido rampung dibangun di bulan Januari. Akademi Aikido disetujui oleh pemerintah kota Tokyo di bulan Juli.


    1969: Sang Penemu Aikido wafat pada tanggal 26 April dalam usia 86 tahun. Wafatnya Ō-Sensei Ueshiba Morihei digantikan oleh Ueshiba Kisshomaru sebagai Doshu.


    1999: Doshu Kedua Ueshiba Kisshomaru wafat pada tanggal 4 Januari, dalam usia 77 tahun. Wafatnya Doshu Kisshomaru, digantikan oleh Ueshiba Moriteru yang menggantikan jabatan Doshu pada tanggal 18 Januari 2000.


    —————————————-


    i. http://www.aikikai.or.jp/aikido/index.html
    ii. Taitetsu Unno dalam Kata Pengantar di buku terjemahan Kisshomaru, Ueshiba. Kodansha:1987. The Spirit of Aikido. Halaman 7-10.
    iii. http://www.daito-ryu.org/en/prior-to-the-19th-century.html
    iv. Kisshomaru, Ueshiba. Kodansha:1987. The Spirit of Aikido. Halaman 24-25.
    v. Lecture by Tada Shihan 9th Dan – 12th IAF Congress in Takasaki.
    vi. https://www.youtube.com/watch?v=vR3Vv5JKkDk


    *) Ichi, nama seorang penulis esai yang sekarang masih belajar dengan tekun di Akademi Menulis. Ia lulusan geologi di Universitas Trisakti-Jakarta. Ini adalah esai keduanya yang ia tulis. Di samping punya hobi mendaki gunung, membaca dan menulis, ia juga berlatih seni beladiri “Aikido” sampai kini hingga ia mencapai “dan-3”.


    Photo: Morihei Ueshiba, pendiri aikido, Jepang.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here