BANDUNG, KabarKampus – Penolakan ganja untuk kebutuhan medis, menimbulkan tanda tanya besar, karena selama ini ganja banyak digunakan untuk berbagai penyakit dan telah banyak dikaji secara ilmiah. Lalu dengan penolakan tersebut, apakah kebijakan di Indonesia tidak berbasiskan penelitian ilmiah?
Sebelumnya penolakan ganja untuk kebutuhan medis disampaikan oleh Kombes Krisno Siregar, Wakil Direktur Dirtipid Narkoba Mabes Polri. Krisno yang mewakili koordinasi antar-lembaga yang diprakarsai BNN ini menyatakan penolakan pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis, lantaran jenis ganja di Indonesia berbeda dengan yang tumbuh di Eropa atau Amerika.
Menurutnya, perbedaannya, dari hasil penelitian, bahwa ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18%) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif.
Selain itu disebutkannya juga, ganja medis yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk epilepsi, bukanlah ganja seperti yang ada di Indonesia. Ganja untuk medis tersebut telah melalui proses rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah.
Kejanggalan Pernyataan Pemerintah
Bagi Koalisi Masyarakat Advokasi Penggunaan Narkotika untuk Kesehatan, penolakan tersebut menimbulkan berbagai kejanggalan dan persoalan mendasar. Salah satunya, karena pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan BNN, belum pernah melakukan penelitian terkait ganja medis di Indonesia.
“Upaya untuk penelitian sebenarnya sudah pernah diusahakan dengan menunjuk Prof. Dr. H. Musri Musman, M.Sc., Guru Besar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, namun kandas karena penolakan dari BNN,” kata Ardhany Suryadarma, manajer program Rumah Cemara, Anggota Koalisi, Sabtu, (27/06/2020).
Sehingga, mereka lanjut Adit, meragukan hasil penelitian yang disebut oleh tim koordinasi tersebut. Meski demikian, koalisi akan dengan senang hati, kami akan mempelajari apabila penelitian tersebut benar sudah ada, dan pernah dilakukan di Indonesia.
Kedua, menurut Adit, sejarah pemanfaatan ganja medis di Indonesia, telah banyak diungkapkan, baik dari budaya maupun kasus-kasus yang bermunculan seperti Reyndhart Rossy dan Fidelis. Namun, peristiwa ini tidak pernah diteliti baik oleh Kemenkes maupun BNN.
“Dampaknya fatal, istri dari Fidelis meninggal dunia karena tidak mendapatkan pengobatan yang sesuai,” terang Adit.
Sebenarnya, Adit melihat, dari pernyataan koordinasi antar lembaga tersebut pemerintah mengakui kandungan ganja (CBD) dapat digunakan untuk berbagai penyakit atau dengan kata lain keberadaan ganja medis benar adanya. Sehingga dari penolakan tersebut menimbulkan tanda tanya, apakah tim koordinasi ini benar-benar memahami terkait pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis?
Untuk itu, Adit mewakili koalisi yang terdiri dari ICJR, Rumah Cemara, Yakeba, LGN, IJRS, LBH Masyarakat, EJA menyayangkan sikap dari pemerintah tersebut. Karena, untuk sekelas pemerintah, seharusnya ada dasar yang cukup kuat dalam mengambil kebijakan.
“Sehingga kami berharap, bahwa tim koordinasi antar-lembaga tersebut bisa mengambil keputusan berdasarkan bukti ilmiah hasil penelitian,” tegasnya.
Baginya, akan sangat fatal, apabila pemerintah mengambil keputusan hanya berdasarkan opini dan stigma tanpa benar-benar melihat bukti. Kondisi ini inilah sering terjadi dalam pengambilan kebijakan narkotika di Indonesia.
“Nampaknya Presiden Joko Widodo perlu kembali menegaskan visi revolusi mental kepada jajaran pengambil kebijakan, terutama bagi pemerintah, perlu penegasan kembali terkait pernyataan Presiden bahwa kebijakan harus diambil berdasarkan data sains atau bukti ilmiah,” tutup Adit.