3/
Berdasarkan pengalaman saya aktif ber-FB dan ber-Twitter sejak 2008, saya mengamati dan merenungkan bahwa banyak sekali salah paham di dalam komunikasi di FB atau Twitter, karena para penggunanya tak paham logika, etika, dan hukum. Kehadiran FB atau Twitter seakan menjadi arena “bertarung” informasi tanpa aturan, tanpa logika, tanpa etika, dan seolah bisa terlepas dari hukum yang berlaku pada satu negara. Kebebasan informasi di FB dan Twitter atau jejaring sosial lainnya menjadi lebih mirip “kegilaan” informasi.
Kita harus mendidik diri kita agar siap dan berani bertanggung jawab atas semua yang kita tuliskan di ruang publik–baik itu melalui media sosial atau melalui media massa atau buku. Itu ciri masyarakat yang sadar informasi dan mampu berpikir logis. Informasi bukanlah hal yang gaib, bukan hal yang sama sekali tak bisa diujikan kebenarannya. Informasi adalah hal yang logis, yang terkait dengan kebenaran dan etika. Anda tidak bisa semena-mena menyatakan bahwa Anda bisa berkata segala yang tidak benar di ruang publik, lalu mengalaskan hal itu sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). HAM selalu berkaitan dengan HAM orang lain, bukan cuma dengan diri Anda. Begitu pula halnya dengan etika.
Namun, apakah hal tersebut tidak melanggar prinsip kebebasan berbicara, yang juga menjadi bagian HAM? Yang jadi soal, sebelum menjawab pertanyaan di atas, adalah masih terdapatnya asumsi keliru di masyarakat bahwa kebebasan berbicara berarti bebas meracau, bebas melontarkan omongan tanpa argumen (argumen berarti pendapat yang harus bisa dibuktikan dengan logis–baik secara fakta, silogisme, maupun koherensi teoritik), bebas molantarkan sesat pikir ad hominem, bebas melakukan agitasi dan fitnah di mana pun, bebas membuat “framing” tentang orang lain sesuka hati, bebas berkata tanpa kesadaran akan perlunya mempertanggungjawabkan perkataan.
Ini saya kutipkan pendapat dari John Stuart Mill dalam buku On Liberty (1859): “…there ought to exist the fullest liberty of professing and discussing, as a matter of ethical conviction, any doctrine, however immoral it may be considered. The only purpose for which power can be rightfully exercised over any member of a civilized community, against his will, is to prevent harm to others.”
Jadi, kata siapa kebebasan berbicara berarti bebas bicara semau-maunya tanpa batas? Jika Anda masih ngotot, maka coba sanggah itu argumen John Stuart Mill dengan logis. Bahkan sang filsuf liberal utilitarianisme John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke-17 yang memperjuangkan kebebasan berbicara, tidak berpendapat seperti itu. Tak ada satu pun teori liberalisme yang menyatakan bahwa kebebasan berbicara identik dengan membiarkan “orang yang immoral” bebas bicara di mana pun tanpa boleh dilawan atau dicegah oleh siapa pun.
Setiap orang bebas berpendapat atau berbicara (ingat, berpendapat atau berbicara bukanlah meracau), tetapi harus disertai pula kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya secara logis, terlebih lagi bila menuliskan kritik. Kita tidak sedang membangun kritik “immoral” di negeri ini. Kita ingin membangun kritik yang bertanggung jawab–yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan koheren secara teoritik.
Karena itulah di dalam filsafat liberalisme aspek kebenaran tak bisa dilepaskan dari soal “kebebasan berbicara”. Jadi, tidaklah benar pendapat yang menyatakan kebebasan berbicara berarti bebas meracau apa pun tanpa boleh dicegah oleh siapa pun, terlepas dari kriteria kebenaran, kecuali di dalam rumah sakit jiwa.
Kebebasan berbicara adalah sebuah konsep liberalisme yang pastilah memiliki landasan dan sejarah epistemologinya sendiri. Sebagai sebuah konsep filsafat aksiologi utilitarianisme, konsep “kebebasan berbicara” pastilah tidak tiba-tiba hadir tanpa sejarah epistemologinya. Jadi, menyatakan bahwa kebebasan berbicara tak berhubungan dengan kebenaran terhadap substansi yang dibicarakan adalah tidak benar.
Dan oleh sebab itu kebebasan berbicara, menurut paham liberalisme, juga bisa dibatasi. Sejauh menyangkut etika (jangan dimaknai sebagai etiket), maka ada pembatasan-pembatasan dalam berbicara di ruang publik. Misalnya etika jurnalistik. Di media massa orang tidak bisa semaunya menulis berita dengan alasan kebebasan pers. Ada aturan dan etika yang mesti diikuti oleh pekerja pers. Dan aturan serta etika itu selalu berlandaskan kepada kebenaran. Rasa saya, sejauh menyangkut tulisan di ruang publik, hal terkait etika jurnalistik itu juga bisa diterapkan di FB. Sebagai masyarakat yang sadar informasi dan logis, maka kita bisa menuntut pertanggungjawaban para penulis di FB.
Setelah merenungkan fenomena “kegilaan” informasi pasca pemilu presiden 2014, saya mencoba merumuskan beberapa prinsip dalam komunikasi di FB atau Twitter yang sehat (dan telah saya coba praktikkan), di antaranya:
1. Upayakan untuk menghindari “masalah” pribadi di-share ke ruang publik pada jejaring sosial (apalagi tanpa informasi yang lengkap), karena itu bisa menimbulkan salah paham atau salah tafsir dari pembaca (baik yang berteman atau belum berteman), serta bisa menimbulkan kesan “framing”. Dan, jika memang terbukti “framing”, maka itu bisa juga menimbulkan konsekuensi hukum.
2. Jika ada masalah pribadi yang harus diselesaikan dengan satu atau dua orang dalam komunikasi di jejaring sosial, maka sebaiknya itu dilakukan melalui sarana inbox untuk klarifikasi.
3. Penggunaan inbox di jejaring sosial juga sebaiknya berhati-hati, karena semua yang tertulis di sana akan terekam. Upayakan tak membicarakan hal-hal pribadi di inbox kepada akun yang sama sekali tak Anda kenal dalam kehidupan nyata, agar terhindar dari penipuan oleh akun-akun palsu dari orang-orang yang tak bertanggung jawab.
4. Upayakan hanya menyampaikan hal-hal yang berguna dan benar–baik bagi publik maupun diri Anda sendiri–di jejaring sosial.
5. Jangan menjadi penyampai informasi aktif di jejaring sosial ketika Anda sedang marah atau stres atau sakit secara fisik, karena Anda bisa menjadi penyampai informasi aktif yang mengabaikan etika atau logika dan tidak menutup kemungkinan akan menyeret Anda pada konsekuensi hukum yang tak diinginkan.
6. Pelajari logika, etika, dan aturan hukum yang berlaku dalam konteks jejaring sosial, sebelum menjadi penyampai informasi aktif. Hal ini juga diperlukan agar Anda tidak menjadi korban “manipulasi” di jejaring sosial.
7. Didik anak-anak atau adik-adik Anda yang lebih muda untuk memahami apa sebenarnya hakikat komunikasi di jejaring sosial serta segala konsekuensinya–baik secara sosial maupun hukum.
8. Tetap berpegang pada prinsip-prinsip “kebenaran” di dalam logika ketika hendak menyampaikan informasi ke jejaring sosial, karena hal ini dapat mencegah orang lain dari salah tafsir ketika membacanya dan mencegah konsekuensi hukum yang tidak diinginkan.
9. Berhenti menggunakan FB atau jejaring sosial lainnya jika Anda merasa hal tersebut terlalu banyak menyita waktu Anda dan menimbulkan banyak ekses negatif terhadap pribadi Anda. Masih banyak cara lain untuk berkomunikasi dan berteman selain menggunakan jejaring sosial.
Intinya, orang yang melakukan komunikasi dan menjadi penyampai informasi aktif di media sosial saat ini mesti paham logika, etika, dan hukum. Lalu, kenapa pemahaman tentang logika, etika, dan hukum itu sangat penting bagi para pengguna media sosial? Jawabnya: Karena itu akan meminimalisir salah paham, praktik advokasi-hitam, serta mencegah konsekuensi hukum yang serius akibat penyalahgunaan informasi oleh pihak-pihak tertentu. Dalam konteks FB atau Twitter misalnya, ada banyak aturan hukum yang membatasi “penyalahgunaan” informasi. Dan, oleh karenanya, pemahaman yang tepat akan logika dan epistemologi menjadi sangat penting, sebab etika dan hukum pasti juga dibangun oleh logika dan epistemologi tertentu. Dengan memahami logika dan epistemologi, maka praktik-praktik advokasi-hitam, atau yang sering diterapkan dalam advokasi-hitam, seperti “framing”, “logical fallacy”, “persuasi palsu”, serta “agitasi” dapat dideteksi, diketahui, dicegah, dan dibongkar.
4/
Jika Anda tak sanggup menyerang argumen orang tertentu, maka seranglah saja orang yang beragumen. Ini namanya sesat pikir jenis ad-hominem. Ini jurus andalan dari para politisi busuk atau provokator atau agitator massa. Menyerang argumen memang lebih beresiko, karena argumen bisa dibuktikan salah dan benar. Kalau benar, maka kita akan terbukti cerdas. Kalau salah, maka kita akan terbukti bodoh. Nah, peluang untuk terbukti bodoh itu sama besarnya dengan terbukti cerdas, serta akan semakin besar kalau kita tahu bahwa kita memang bodoh. Dan tak semua orang mau terbukti sebagai orang bodoh lalu belajar lagi sungguh-sungguh. Maka, sesat pikir ad-hominem pun menjadi solusi ilusifnya agar seolah terlihat cerdas. Menyerang pribadi orang yang beragumen itu memang mudah. Persoalannya sekarang: Bagaimana Anda membuktikan tuduhan Anda itu? Jika Anda tak bisa membuktikannya, lalu bagaimana Anda bisa yakin tuduhan Anda itu benar? Jika tuduhan Anda tidak benar, berarti Anda telah memfitnah atau membuat framing negatif terhadap pribadi seseorang tanpa bukti. Untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam satu kasus hukum, perlu pembuktian yang sangat panjang di dalam pengadilan, dan sama sekali tak segampang melontarkan ad-hominem. Sekarang kita mau jadi bangsa yang cerdas atau bangsa bajingan?
————————————————————–
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 2017–2020
————————————————————–