More

    Apa Arti “Argumentum ad-Hominem” Sebagai Sesat Pikir?

    Ilustrasi / sumber gambar : blogsoestado.com

    1/

    Tahun 2016 lalu, ketika saya mengkritik tulisan (yang tak lain semacam “racauan”) dari Narudin Pituin di grup Diskusi Sastra, saya menjelaskan kepada seseorang bahwa pengertian ad hominem sebagai sesat pikir terkait dengan pembuktian kebenaran, apakah satu pernyataan yang menyerang pribadi orang berargumen sesuai dengan fakta dan atau prinsip-prinsip logika. Jika sesuai, maka itu bukanlah argumentum ad hominem. Tetapi, jika tidak sesuai, maka itu adalah suatu argumentum ad hominem.

    “Serangan ad hominem (ad hominem attack)” harus dibedakan dari “argumentum ad hominem”. Serangan ad hominem adalah perihal yang lebih umum daripada argumentum ad hominem. Sedangkan argumentum ad hominem merupakan subkategori atau kategori khusus dari serangan ad hominem.

    - Advertisement -

    Per definisi argumentum ad hominem, sebagai salah satu bentuk dari kategori sesat pikir informal di dalam penalaran, adalah satu serangan baik secara lisan maupun tertulis terhadap pribadi orang yang berargumen (ketimbang menyerang argumennya), tanpa si penyerang mampu membuktikan bahwa serangan ad hominem tersebut adalah benar secara logika dan atau fakta.

    Filsuf Charles Taylor, di dalam bukunya yang berjudul “Philosophical Arguments”–khususnya di Bab 3 “Explanation and Practical Reason”–yang diterbitkan oleh Harvard University Press (1995), berpendapat bahwa ad hominem (membahas fakta tentang pembicara atau penulis tertentu relatif terhadap nilai pernyataannya) adalah sangat penting demi memahami masalah moral tertentu karena hubungan antara individu dan moralitas (atau klaim moral), pula kontras penalaran semacam itu dengan penalaran apodiktis (melibatkan fakta-fakta yang tidak dapat dipertanyakan atau dinyatakan dengan jelas).

    Sebagai contoh seorang pengacara yang menyerang kredibilitas seorang saksi dalam sebuah persidangan jelas sudah melakukan sebuah “serangan ad hominem”. Namun, hal tersebut tidak bisa dinilai secara otomatis sebagai suatu sesat pikir kecuali, jika dan hanya jika, memang terbukti bahwa saksi tersebut tidak membuat pernyataan atau klaim palsu pada masa lalu dalam satu kasus hukum.

    Jadi, hal itu sama dengan metode penalaran dalam logika. Misalnya, jika Anda hendak melakukan serangan ad hominem, maka Anda memang harus bisa “membuktikan” terlebih dahulu bahwa orang yang akan Anda serang tersebut secara fakta memang demikian. Jika ternyata Anda tidak bisa membuktikannya, maka otomatis Andalah yang terbukti telah melakukan argumentum ad hominem, sebuah penalaran sesat pikir, dan bisa juga dikategorikan sebagai fitnah terhadap orang yang Anda serang. Dengan kata lain, ini adalah soal “proof”, soal pembuktian kebenaran suatu pernyataan secara logis, dan sama sekali bukan soal pernyataan atau klaim palsu.

    Saat ini banyak anak-anak muda pendukung “politik absurd” di negeri ini yang menghujat K.H. Ahmad Mustofa Bisri dan Buya Syafi’i Maarif hanya karena mereka berdua mengemukakan argumen dengan logis. Anak-anak muda itu sama sekali tidak bisa berpikir logis dan cenderung menggunakan sesat pikir ad-hominem. Mereka bahkan tak bisa membedakan antara berpikir logis dengan sesat pikir (logical fallacy). Mereka tak bisa membedakan antara berpendapat dengan memfitnah. Mereka tak bisa membedakan antara “rasa” dengan kebencian dan amuk. Mereka cuma bisa menempel “meme” ngawur, share video youtube yang dipotong semaunya, menyebarkan berita hoax, menggunakan akun-akun palsu di medsos dan dengan tindakan-tindakan negatif itu mereka merasa telah “berjihad” membela agama Islam. Mereka menganggap hidayah Tuhan itu berbeda daripada ilmu–seolah Ya Alim (nama Tuhan sebagai Yang Maha Mengetahui, akar kata dari ilmu dalam bahasa Melayu) bisa mereka tipu dengan kebodohan mereka yang tak ada artinya itu. Mereka menganggap menghalalkan segala cara dalam berpolitik sebagai “siasah”. Kaum muda seperti itu jelas menunjukkan ciri-ciri produk “cuci otak” para zombie politik–mahluk-mahluk peneror yang tak berakal, tak bernurani, tapi anehnya merasa Al-Haqq hanya ada di tangan mereka sendiri.

    2/

    Melampaui logika itu berbeda dengan tidak bisa logika. Melampaui pikiran itu berbeda dengan tidak bisa berpikir benar. Melampaui gramatika itu berbeda dengan tidak bisa gramatika. Melampaui linguistik itu berbeda dengan tidak bisa linguistik. Orang yang telah melampaui pemikiran Karl Mark itu berbeda dengan orang yang tidak tahu pemikiran Karl Marx. Yang pertama adalah kategori orang yang secara teknis sudah khatam mempelajari satu bidang tertentu dari pemikiran Karl Marx, yang kedua adalah kategori orang yang belum atau tengah mempelajari satu bidang tertentu dari pimikiran Karl Marx.

    Jika ada orang yang tidak bisa membedakan dua kategori itu, lalu langsung menyamakan saja keduanya akibat sesat kategori, maka itulah yang dimaksud sebagai orang bodoh yang berlagak cerdas. Mestinya, bila ada orang yang tidak paham logika, maka solusinya adalah mempelajari logika, bukannya malah membuat argumen: “tidak semua bisa dilogikakan”–padahal mungkin maksud sebenarnya dari makna kalimat itu adalah “tak perlu belajar logika” atau, bahkan, “malas belajar logika”. Argumen seperti itu jelas kontradiktif. Karena kalimat “tidak semua bisa dilogikakan” tersebut, yang bila hendak diekpresikan ke dalam proposisi logika predikat akan menjadi ∀x ~A(x) atau ∃x A(x), sudah merupakan sebuah pernyataan deklaratif atau proposisi logis yang bisa dibuktikan benar atau salahnya.

    Hal begitu juga sama dengan orang yang tidak bisa membedakan antara kritik dengan sesat pikir ad hominem. Kritik adalah soal teks dan pembuktian logis atas kekeliruan argumen di dalam teks tersebut. Sedangkan ad hominem adalah soal dugaan negatif berupa serangan verbal terhadap personalitas orang yang beragumen, misalnya dengan menggunakan teknik agitasi, pelabelan, fitnah, dan atau hujatan. Yang pertama adalah jenis pemikiran ilmiah, sedangkan yang kedua adalah jenis pemikiran “nyinyiriah”. Kalau mengklaim sudah mempelajari, sudah tahu, dan sudah khatam dalam belajar logika, maka ya langsung dipraktikkan. Berkata benar itu selalu dimulai dari berpikir benar. Bukan sebaliknya.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here