More

    Empat Poin, Mengapa RUU Cipta Kerja Dapat Lemahkan Semangat Penyiaran yang Demokratis

    Ilustrasi

    JAKARTA, KabarKampus – Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menolak rencana DPR untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja. Menurut mereka, diantara pasal-pasal yang bakal disahkan tersebut banyak pertentangan dengan semangat penyiaran yang demokratis.

    Bahkan alih-alih memperkuat peran warga negara dalam pengaturan penyiaran justru berpotensi melemahkannya. Selain itu, semangat RUU ini juga menundukkan penyiaran di bawah kendali pemerintah.

    Ada empat poin yang menurut KNRP dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi bertentangan dengan semangat penyiaran yang demokratis :

    - Advertisement -

    Pertama : Pasal 79 Ayat 4

    Pasal 79 Ayat 4, RUU ini merevisi ketentuan Pasal 33 UU Penyiaran yang menyatakan bahwa perizinan penyiaran diatur oleh pemerintah dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Sementara Rancangan UU Cipta Kerja Pasal 79 Ayat 4 menghilangkan peran KPI dalam proses perizinan lembaga penyiaran.

    “Bagi kami, ini adalah langkah anti demokrasi. Mencoret KPI yang merupakan representasi publik dari proses perizinan sama dengan mencoret publik,” kata Bayu Wardhana salah satu perwakilan koalisi dalam siaran persnya, Selasa, (14/07/2020).

    Dengan RUU ini lanjut Bayu, memberikan kewenangan penuh pada pemerintah untuk mengatur perizinan penyiaran. Sementara KPI hanya sebagai pengawas isi siaran tanpa kewenangan dalam mengatur perizinan.

    Sehingga menurut Bayu, hal tersebut sama saja menjadikan KPI sebagai pengawas tanpa instrumen legal yang memungkinkannya melakukan koreksi daya ubah yang kuat. Selain itu juga tanpa pelibatan KPI adalah bentuk pelanggaran dari prinsip check and balance dalam demokrasi.

    Kedua : Pasal 76 Ayat 4

    Bayu menyebutkan dalam Pasal 76 Ayat 4 RUU ini juga mengubah ketentuan Pasal 55 UU Penyiaran yang mengatur sanksi administratif. Namun revisi RUU ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah dengan menetapkan ketentuan pengaturan lebih lanjut sejumlah aspek penting penyiaran, seperti seperti perizinan, sanksi administratif, dan migrasi digital.

    “Tanpa kepastian hukum setingkat UU untuk pengaturan sejumlah aspek penyiaran yang penting akan membuka peluang terjadinya penyelewengan dari praktik penyiaran yang demokratis,” ungkap Bayu yang merupakan anggata AJI Indonesia ini.

    Ketiga : Bertolak Belakang dengan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002

    RUU ini merevisi ketentuan tentang batas waktu perizinan yang diatur dalam UU Penyiaran (yakni 5 tahun untuk radio dan 10 tahun untuk televisi). Dalam RUU ini tidak ada jangka waktu izin penyiaran. Dengan kata lain, RUU ini memberi hak pada lembaga penyiaran untuk menguasai frekuensi selama-lamanya.

    “Bagi kami, pasal ini sama saja mengizinkan privatisasi frekuensi oleh konglomerasi media. Hal ini jelas bertolak belakang dengan prinsip UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang menyatakan frekuensi sebagai milik publik. Ketentuan ini juga menutup peluang peran serta publik (dalam hal ini diwakili oleh KPI) untuk berperan secara berkala memonitor dan mengevaluasi kinerja lembaga penyiaran,” terang Bayu.

    Keempat : Pasar 79 ayat 10

    Bayu menjelaskan, Pasal 79 ayat 10 RUU Cipta Kerja ini mengatur tentang migrasi digital dengan menyisipkan tambahan pasal 60A di UU Penyiaran no 32/2020. Ayat 10 ini hanya memandatkan akan melakukan migrasi digital, selambat-lambatnya 2 tahun setelah RUU Cipta Kerja disahkan.

    Namun kata Bayu, dalam RUU hanya tertulis akan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Padahal sebelumnya Pada periode DPR tahun 2014-2019, wacana pilihan sistem single mux atau multi mux berlangsung dalam ruang publik, sehingga Komisi 1 DPR mendengarkan aspirasi ini dengan memutuskan pilihan sistem single mux pada draft RUU Penyiaran yang tidak jadi disahkan pada periode tersebut.

    Jika kemudian sekarang, pemilihan sistem multiplekser hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah, maka proses dan pertimbangan penentuan sistem multiplekser tidak akan dibahas di publik. Artinya, RUU ini kembali memberi cek kosong ke pemerintah.

    “Padahal pemilihan single mux atau multi mux, bukan hanya sekedar pilihan teknis semata, tetapi sarat dengan soal kedaulatan negara, persaingan bisnis yang adil maupun soal keberagaman kepemilikan media,” terang Bayu. .

    Untuk itu, KNRP menyimpulkan bahwa RUU ini sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan publik dalam penyiaran. Karena itu, mereka menolak seluruh butir pasal dari RUU ini yang mengatur penyiaran.

    “Kami melihat tidak ada urgensi untuk memasukkan pengubahan UU Penyiaran 2002 ke dalam UU Cipta Kerja. Pemaksaan masuk revisi UU Penyiaran dalam UU Cipta Kerja terkesan membawa kepentingan para pemodal besar dalam industri pertelevisian Indonesia,” tutup Bayu.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here