1/
Sebagian kita menganggap bahwa hukum sebab-akibat (kausalitas) itu adalah hukum yang ada di alam, padahal dalam sejarah pemikiran epistemologi dunia diketahui bahwa kausalitas itu bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi murni teori yang dihasilkan oleh kerja rasional. Dengan kata lain prinsip “urutan kejadian” yang menjadi landasan hukum kausalitas itu, pada faktanya tak bisa diuji dalam konteks eksperimental, tetapi hanya “diyakini” sebagai prinsip universal yang harus ada di alam. Jadi, hukum sebab-akibat itu adalah murni kerja pemikiran manusia, bukan sesuatu yang melekat pada alam. Dalam konteks epistemologis, hukum kausalitas itu adalah sumbangsih terbesar filsafat idealisme Plato terhadap sejarah pemikiran manusia. Tanpa prinsip sebab-akibat, maka tak ada filsafat, tak ada sains dan teknologi, tak ada teologi, tak ada sejarah, serta aturan-aturan hukum pun menjadi tak bermakna.
Prinsip “urutan kejadian” dalam hukum kausalitas itu bertolak dari gagasan bahwa peristiwa saat ini disebabkan oleh peristiwa pada masa lalu. Jika peristiwa A adalah penyebab untuk akibat B, maka B tak bisa menjadi penyebab untuk A. Kini, para fisikawan teoritis dari Universitas Wina dan Université Libre de Bruxelles menunjukkan bahwa dalam mekanika kuantum dimungkinkan untuk menciptakan situasi di mana satu peristiwa bisa menjadi keduanya, sebab maupun akibat. Berdasarkan mekanika kuantum, objek bisa kehilangan sifat-sifat klasiknya yang sudah terdefinisi dengan baik (sebuah objek tak bisa berada di dua lokasi berbeda pada saat yang sama). Temuan fisika kuantum soal “superposisi” oleh sebuah tim internasional yang dipimpin oleh fisikawan Caslav Brukner dari Universitas Wina menyatakan bahwa sebuah partikel justru bisa berada di dua lokasi yang berbeda pada saat yang sama. Temuan ini membawa implikasi lebih jauh bagi fondasi mekanika kuantum, kuantum gravitasi, dan komputasi kuantum. Temuan ini membuka kemungkinan soal “jagad paralel”, perjalanan antarwaktu melalui lubang cacing (subruang), dan keberadaan ‘jagad-bayi” menjadi tak sekadar imajinasi liar dari para ilmuwan.
Temuan fisika kuantum soal “superposisi” itu jelas menunjukkan apa yang kita kenal sebagai hukum sebab-akibat, secara substansial bukanlah sesuatu yang melekat di alam, yang menjadi watak alam itu sendiri. Hukum sebab-akibat itu sangat boleh jadi justru bukanlah hukum alam, tetapi hanya hukum yang dibuat oleh pikiran manusia, oleh rasio manusia, agar pemikiran manusia memiliki makna.
Alain Aspect adalah seorang fisikawan Prancis abad ke-20. Pada tahun 1985 ia berhasil membuktikan, dengan metode falsifikasi, bahwa Teori “Pertidaksamaan Bell” itu tidak ada. Dua buah partikel dalam jarak yang sangat jauh dapat berinteraksi seketika melebihi kecepatan cahaya (superluminal). Hal ini menunjukkan bahwa superposisi yang tidak dibatasi oleh sistem lokalitas dan tidak dibatasi oleh variabel tersembunyi itu ternyata memang ada sebagai fakta ilmiah di dalam fisika kuantum. Apa artinya ini? Artinya, dua buah entitas partikel subatomik–dalam hal ini partikel foton–bukanlah dua “individu” yang terpisah oleh jarak (lokalitas), melainkan satu medan yang saling terhubung dan dapat “berkomunikasi” secara seketika (non-lokalitas).
Dalam kerangka teori mekanika kuantum, Einstein mencoba menelaah nilai spin dari partikel. Nilai spin menyatakan kondisi partikel yang berotasi, yaitu rotasi searah jarum jam dan rotasi berlawanan arah jarum jam. Kemudian Einstein–bersama Podolsky dan Rosen–membuat sebuah “percobaan pikiran” yaitu melalui “paradoks EPR”. Misalnya, ada partikel subatomik dalam kondisi diam pada pengamatan tertentu, maka berarti partikel subatomik itu tanpa nilai spin. Kemudian karena sebuah sebab (misalnya tumbukan oleh partikel lainnya), partikel itu terbelah menjadi dua bagian yang sama besar. Nah, Einstein mengamati bagaimana kondisi kedua partikel yang terbelah itu. Einstein mengukur dan membuktikan bahwa kemungkinan sebuah partikel berotasi searah jarum jam 50%, sedangkan 50% lagi berotasi berlawanan arah jarum jam.
Secara teoritis Einstein kemudian menjelaskan tidak mungkin kalau kedua partikel itu berotasi ke arah yang sama, searah jarum jam saja atau berlawanan arah jarum jam. Menurut Einstein arah gerak rotasi kedua partikel subatomik itu pasti saling berkebalikan. Kalau yang satu searah jarum jam (arah +), maka yang lainnya pasti berlawanan arah jarum jam (arah -). Hal itu dikarenakan nilai spin mula-mula partikel itu adalah 0. Maka, kalau nilai spin partikel kini dijumlahkan, maka nilainya haruslah 0 (+1 + -1 = 0). Secara teoritis hal itu dinamakan “hukum kekekalan nilai spin”.
Mulai dari sini kita akan masuk ke dalam inti Paradoks EPR. Einstein mengatakan bahwa bila kedua buah partikel itu terus bergerak menjauh hingga jaraknya satu tahun cahaya (sekitar 10 triliun kilometer), lalu kalau kita ingin mengetahui kondisi salah satu partikel, kita harus mengukur dan mengamatinya. Sampai di sini Einstein masih menyetujui prinsip pengukuran dalam teori kuantum.
Saat diamati kondisi salah satu partikel, anggap partikel A, dipastikan. Di waktu yang sama kita langsung mengetahui kondisi (nilai spin) dari partikel lainnya (partikel B), tanpa melakukan pengamatan terlebih dahulu. Di sinilah pertentangan teori kuantum dengan teori relativitas menurut Einstein. Teori kuantum mengatakan bahwa kondisi objek mikro hanya bisa dipastikan dan diketahui dengan pengamatan. Tapi menurut kasus yang diberikan Einstein–yang dibuat untuk menantang teori kuantum–kita dapat langsung mengetahui kondisi partikel B tanpa pengamatan terhadap partikel B. Cukup perlu mengamati partikel A saja.
Teori kuantum kemudian menjelaskan paradoks ini demikian: Saat partikel A diamati, dengan kecepatan tinggi melintasi alam semesta, informasi itu langsung disampaikan ke partikel B sehingga nilai spin dan arah rotasi B bisa dipastikan (sekarang disebut pengaruh jarak jauh).
Einstein yang mendengarnya menggelengkan kepala dan berkata bahwa jawaban tersebut tidak masuk akal. Teori Relativitas–yang diselesaikan oleh Einstein sendiri–menyatakan bahwa objek atau informasi dan lainnya dari satu partikel tidak bisa disampaikan melebihi kecepatan cahaya. Einstein kemudian menyebut penjelasan Teori Kuantum ini “Ghostly action at a distance“. Bagaimana mungkin informasi dapat disampaikan dalam waktu sekejap dalam rentang jarak satu tahun cahaya? Inilah paradoks EPR (Einstein–Podolsky–Rosen).
Hampir lima puluh tahun berlalu setelah Paradoks EPR diumumkan ke publik, maka pada tahun 1982 barulah Alain Aspect berhasil membuktikan keberadaan pengaruh jarak jauh (action at a distance) lewat serangkaian percobaan yang dilakukannya di laboratorium fisika partikel. Percobaannya cukup sulit dan rumit, dan untuk memahaminya juga diperlukan ilmu fisika tingkat tinggi. Namun, secara singkat bisa dijelaskan seperti di bawah ini.
Pada 1965, fisikawan Irlandia John Stewart Bell (1928-1990) telah memublikasikan Teori Pertidaksamaan Bell. Isinya seperti berikut: Kalau konstanta tersembunyi seperti yang dibicarakan Albert Einstein betul ada, maka pertidaksamaan dalam Teori Bell seharusnya bisa dibentuk. Tapi, kalau seperti yang diajukan oleh Teori Kuantum, bahwa ada pengaruh jarak jauh yang bisa menyampaikan informasi sekejap, maka Pertidaksamaan Bell tidak mungkin jadi.
Alain Aspect menguji kedua hipotesis Bell ini melalui penelitiannya tentang partikel foton. Pada akhirnya dia membuktikan bahwa Pertidaksamaan Bell itu tidak jadi, dengan kata lain: Teori Kuantum yang benar, bahwa ada pengaruh jarak jauh yang bisa menyampaikan data dan informasi pada foton sedemikian cepat bahkan melebihi kecepatan cahaya.
Begini adalah formalisasi hipotesis “Pertidaksamaan Bell” yang dirumuskan dari paradoks EPR dan kemudian dibuktikan oleh Alain Aspect:
| S | ≤ 2
di mana:
S = E ( a , b ) − E ( a , b ′ ) + E ( a ′ , b ) + E ( a ′ , b ′ )
atau dalam formulasi aljabar linear dapat dirumuskan menjadi:
A ( B + B ′ ) + A ′ ( B − B ′ ) ≤ 2.
Kesimpulannya, Tuan dan Puan, bahkan hal-hal yang dianggap gaib sekarang sudah bisa diterangkan oleh sains. Sekarang para ilmuwan sedang bereksperimen untuk menggunakan pengetahuan tentang non-lokalitas itu menjadi teknologi, misalnya teknologi teleportasi. Mirip dengan apa yang kita kenal di sini dengan istilah vodoo atau santet. Implikasi lainnya dalam filsafat metafisika atau spritualitas atau religiusitas adalah hipotesis bahwa semua manusia dan, bahkan, mahluk hidup lainnya atau benda-benda adalah “esa”. Menurut hipotesis itu keesaan bukanlah omong kosong belaka, bukan sebuah metafora atau patafora untuk hiburan pada waktu senggang kita, melainkan sebuah fakta yang telah dibuktikan dalam percobaan fisika kuantum pada laboratorium fisika partikel di berbagai negara hingga tahun 2015.
Namun, beberapa pengkritik “hipotesis mistik” terkait non-lokitas pada foton menyangkal bahwa prilaku non-lokalitas dari foton berlaku juga untuk semua jenis partikel lainnya. Perilaku non-lokalitas dari foton hanya membuktikan bahwa foton adalah partikel yang berprilaku non-lokalitas. Tak ada satu pun premis yang bisa membuktikan konklusi bahwa semua jenis partikel lainnya juga berperilaku seperti foton. Namun, kritik terhadap “hipotesis mistik” itu juga tidak membuktikan bahwa partikel lainnya tidak berprilaku non-lokalitas seperti foton. Secara sains, “hipotesis mistik” itu belum bisa dibuktikan, kecuali, jika dan hanya jika, para ilmuwan telah bisa membuktikan bahwa teleportasi dari materi bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi tertentu. Soal ini sama dengan teori DNA yang bisa membantah teori keragaman nenek moyang manusia berdasarkan migrasinya. Ilmu genetika terkini telah membuktikan bahwa DNA nenek moyang manusia modern berasal dari sumber yang sama, yaitu dari homo sapiens sapiens.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>