3/
Uniknya, dalam sejarah seni modern dan spiritualitas, soal keserentakan peristiwa ini bukanlah hal yang mengejutkan. Pada awal abad ke-20, surealisme telah menyatakan dalam manifestonya bahwa keserentakan dari peristiwa yang bukan sebagai urutan kausalitas adalah hakikat dari estetika itu sendiri. Lebih silam lagi, sejak ribuan tahun lalu, spiritualitas di Asia Selatan, seperti pada teks Upanishad atau Tao Te Ching atau Zen, juga telah mengakui bahwa pada hakikatnya segala sesuatu ada secara bersama sebagai kesatuan yang tak terpisahkan, sebagai “advaita”, bukan satu dan bukan dua.
Rasa saya, fisika kuantum kini telah bergerak untuk membuktikan kebenaran dari prinsip nonkausalitas dari surealisme dan advaita.
Terkadng, apa yang disebut “misteri” atau “yang tak terkatakan” atau “yang ajaib” hanyalah soal “keserentakan”. Dalam bahasa Latin, kata “serentak” ini ditulis sebagai “simul” yang menjadi muasal kata “simultaneously” dalam bahasa Inggris, atau “synchróno̱s” dalam bahasa Yunani. Kata ini juga bersinonim dengan kata “una” (Latin) yang menjadi indung kata “uni” atau “one” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Bengali kata “serentak” ditulis sebagai kata “ekayoge” atau “eka satha” dalam bahasa India dan Nepal. Dalam bahasa Indonesia kata “serentak” itu mungkin lebih kena makna dengan kata “esa”.
Konsep “keserentakan” ini, ke-esa-an, jika diterapkan dalam persepsi indrawi, misalnya “melihat”, akan menghasilkan konsep supraindrawi. Kata “melihat” (dalam satu perspektif tertentu) adalah soal persepsi indrawi (mata) biasa. Tetapi, ketika engkau dapat “serentak” melihat dari berbagai perspektif dalam satu ruang-waktu tertentu, maka persepsi indrawi itu akan menjadi supraindrawi–dan konsep tentang “maha melihat” pun tercipta. Keserentakan mungkin kata ganti yang paling mirip tentang konsep “maha”.
Sebenarnya, benda apa pun yang hadir di ruang-waktu ini selalu hadir dalam keserentakan, utuh merangkum seluruh perspektif, hadir sebagai Ya Zahir (Yang Maha Nyata). Yang jadi soal adalah bahwa persepsi inderawi kita–atau mungkin “episteme” kita–membatasi kehadiran seluruh perspektif tersebut hanya dapat dipersepsi dari satu perspektif saja. Meski pada kenyataannya, apa pun benda yang hadir di hadapan kita, adalah seperti sebuah gema yang bergaung ke segala arah di dalam ruang-waktu dan tak pernah bergaung ke satu arah saja, atau umpama sebuah riak yang bergerak ke segala arah pada permukaan telaga dan tak pernah bergerak ke satu arah saja. Keesaan itu ada sebagai “lingkungan” kita, sebagai latar keberadaan kita.
Segala sesuatu adalah ajaib, karena segala sesuatu hadir secara serentak, karena segala sesuatu itu esa. Seperti lukisan multiperspektif (kubisme) karya Pablo Picasso di bawah esai ini. Perhatikan “latar” dari lukisan Pablo Picasso yang berjudul “Perempuan Duduk”. Apakah latar itu menonjol keluar (membentuk semacam benda padat) atau masuk ke dalam (membentuk semacam ruang)? Jawab: kedua-duanya. Latar itu terlihat sebagai benda padat sekaligus ruang. Dua hal yang menurut epistemologi modern dianggap sebagai kontradiksi, yang tak bisa diterima dalal logika saat ini, justru dihadirkan sebagai latar yang “serentak”–benda padat itulah ruang dan ruang adalah benda padat. Kebenaran dalam lukisan Picasso itu tidak lagi berupa perspektif tunggal, monistik, tetapi telah menjadi multiperspektif–telah menjadi plural sekaligus esa, Bhineka Tunggal Ika.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>