6/
Pikiran kita terbiasa membatasi diri dalam urut-urutan, dalam serial, dalam algoritma: dua mesti selalu ada sebelum satu, satu selalu lebih dahulu ada sebelum dua. Begitu kita terbiasa menganggap algoritma kausalitas sebagai hukum alam atau hukum ilahi yang paripurna, yang tak bisa dipertanyakan, tak bisa dibantah, bahkan apabila sepasang matamu justru melihat hal yang sebaliknya. Tapi, benarkah begitu? Siapa yang mengharuskan kausalitas serial begitu? Saat kita melihat, benar-benar melihat, bahwa dunia–bahkan pikiran kita sendiri juga–pada faktanya bekerja tidak dalam kausilitas serial, tetapi simultan, serentak, maka sebagian besar kita menjadi bingung dan menganggapnya mustahil, absurd, sureal, magis, dan tak dapat dipahami. Tetapi, benarkah begitu?
Saat menikmati secangkir kopi, kita tidak menikmatinya sebagai urutan-urutan serial: dimulai dari manis lalu pahit lalu lalu asam lalu hangat lalu terciptalah kenikmatan–tidak begitu, sebab indera dan otak kita bukanlah komputer yang terprogram hanya bisa berfungsi dalam algoritma tertentu. Sebaliknya lidah Anda dengan sangat “cerdas” langsung menikmati secara simultan secangkir kopi yang hangat sekaligus asam sekaligus pahit sekaligus manis. Begitu pun dengan momen puitik, apa pun medianya, adalah momen dari keserentakan itu, sebuah kehadiran atau presensi dalam kekinian, sedetik kehadiran secara simultan dari segala sesuatu–dan, dengan demikian, kita bisa menyebutnya sebagai Keesaan.
Begitu sama sekali bukan hal esoteris, semacam kemegahan hiperbolis atau kemewahan khusus bagi para pertapa. Ini hanyalah sebuah momen dari Kondisi Terjaga, sebuah kondisi yang sangat alami, amat sehari-hari, seperti aktivitas makan, mendengar, melihat, mencium–hidup, bernapas! Sebuah keajaiban dari hal yang sehari-hari, yang bisa dialami dan selalu dialami oleh siapa saja. Tak peduli apakah dirimu seorang bangsawan atau rakyat jelata, kau selamanya adalah presensi dari Yang Esa. Seperti satu puisi karya Wallace Stevens. tentang fenomena keserentakan dalam kehidupan sehari-hari, yang saya terjemahkan berikut ini:
BEBERAPA METAFORA DARI SEORANG BANGSAWAN
Dua puluh orang melintasi jembatan,
Memasuki sebuah desa,
Adalah dua puluh orang melintasi dua puluh jembatan,
Memasuki dua puluh desa,
Atau satu orang
Melintasi satu jembatan memasuki sebuah desa.
Ini adalah lagu lama
Yang menyembunyikan maknanya. . .
Dua puluh orang melintasi jembatan,
Memasuki sebuah desa,
Adalah
Dua puluh orang melintasi jembatan
Memasuki sebuah desa.
Hal itu akan terus menyembunyikan maknanya
Sebelum bisa dipastikan sebagai makna…
Sepatu lelaki itu dipenuhi tanah
Berat diseret pada papan lantai jembatan.
Dinding putih pertama di desa
Menjulang melampaui pohon-pohon buah.
Sebenarnya, aku berpikir tentang apa?
Hanya melepaskan diri dari makna.
Dinding putih pertama di desa…
Pohon-pohon buah…
(1918)
———————————————————–
METAPHORS OF A MAGNIFICO
Twenty men crossing a bridge,
Into a village,
Are twenty men crossing twenty bridges,
Into twenty villages,
Or one man
Crossing a single bridge into a village.
This is old song
That will not declare itself . . .
Twenty men crossing a bridge,
Into a village,
Are
Twenty men crossing a bridge
Into a village.
That will not declare itself
Yet is certain as meaning . . .
The boots of the men clump
On the boards of the bridge.
The first white wall of the village
Rises through fruit-trees.
Of what was it I was thinking?
So the meaning escapes.
The first white wall of the village . . .
The fruit-trees . . .
(1918)
Bersambung ke halaman selanjutnya –>