More

    Organisasi Mahasiswa “Kampus Merah” Ctrl+Alt+Del

    Oleh : Jauharuddin Ahmad Akfiyan

    Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Prodi Ilmu pemerintahan. Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam

    Di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung, begitulah perkataan yang terlontar dari mulut temanku ketika sedang duduk bersama di salah satu warung kopi sederhana sekitar area Kabupaten Ponorogo. Semula perkataan tersebut aku anggap remeh temeh dan lewat begitu saja tanpa terhiraukan, namun semakin lama justru kian menjadi-jadi, berdengung di telinga dan terus menerus berputar dalam isi kepala. Akan tetapi, aku mencoba untuk tidak membuang perkataan yang membuat diri menjadi resah begitu saja, yang ingin kuselami adalah bagaimana merasionalisasikan keresahan sehingga tak menjadi penyakit kebanyakan pemuda saat ini, yaitu overthinking.

    Hal pertama yang kusadari ketika berkontemplasi diri memikirkan keresahan-keresahan tersebut tidak lain karena dogma-dogma yang selama ini kubaca secara sadar, ditambah dengan diskusi yang rutin aku lakukan bersama kawan-kawan seperjuangan dan se-ideologi. Asalkan itu baik, kurasa dogma tidak melulu harus dikonotasikan dengan sesuatu yang berbau negatif, seperti misalnya kita tak sadar terdogma untuk mengenyam pendidikan dalam lembaga formal seperti sekolah dan perguruan tinggi. Tentu itu hal yang baik-baik saja bukan. Sedangkan perkara diskusi membuat apa yang tadinya kurang diketahui menjadi terpahamkan, yang kebanyakan orang merupakan hal yang biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang tidak beres bagiku. Apalagi ditambah posisiku sebagai seorang pemuda yang masih memiliki semangat berapi-api, serta status seorang mahasiswa sebagai Agent of change atau Perantara bagi terciptanya perubahan.

    - Advertisement -

    Sebagai seorang mahsiswa yang memutuskan untuk melakukan pengembaraan intelektual di kampus merah Ponorogo, rasanya banyak keresahan yang menghujam lebat di dalam dada. Salah satu keresahan yang kian hari makin meledak-ledak disebabkan oleh Organisasi mahasiswa yang terdapat di dalamnya. Bagaimana tidak, organisasi mahasiswa atau yang selanjutnya disebut ormawa, secara internal merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan soft skill, dalam arti potensi yang terkandung dalam diri setiap individu harus mampu terekspresikan dalam wadah ormawa tersebut, seperti kemampuan leadership, mengorganisir, manajemen, kaderisasi, dan lain sebagainya. Sedangkan secara eksternal, ormawa merupakan sarana atau alat perjuangan bagi mahsiswa dalam mewujudkan sebuah tatanan yang ideal, sebuah lahan dalam mempraktekkan gagasan menuju cita-cita dan tujuan kesejahteraan mahasiswa banyak. Kalau dalam istilah yang sering disebut mahasiswa ketika bercengkrama ialah miniatur negara, ormawa adalah miniatur negara yang ideal, yang memberikan contoh terhadap negara atas terselenggaranya sistem yang mensejahterakan.

    Lantas apa yang tidak beres dengan ormawa kampus merah? Pertama kali saya terjun di dalam ormawa kampus merah pada tahun 2018, waktu itu saya masuk dalam himpunan mahasiswa jurusan atau yang selanjutnya disebut HMJ dan sebagai syarat untuk dapat masuk adalah melalui tahapan screening. Dalam hal teknis tentu banyak yang mendapat dikoreksi, seperti screening yang dilakukan sebanyak tiga kali, namun dengan pertanyaan yang sama, bukankah itu menjemukan dan tidak efektif? Tapi itu tak jadi soal. Hal lain yang mesti disoroti adalah proses kaderisasinya, sebab dalam oramawa kaderisasi merupakan sesuatu yang fundamental untuk mendorong berjalannya sistem oragnisasi.

    Ada tiga jenjang training dalam sistem perkaderan eksekutif ormawa, LKMM-PD, LKMM-TD, dan LKMM-TM. Ketiganya berurutan, ketika ingin memasuki eksekutif sekelas HMJ, maka harus memenuhi persyaratan yakni telah mengikuti training pra dasar atau LKMM-PD dibuktikan dengan sebuah sertifikat. Namun proses kaderasisasi semacam ini sama sekali tidak dihiraukan, terbukti dengan banyak mahasiswa yang lolos screening tapi belum pernah mengikuti training. Meskipun training kemudian diadakan setelahnya, dan para pengurus HMJ yang baru masuk wajib mengikuti, bukankah itu malah menjadi sesuatu yang lucu. Bagaimana mungkin seorang yang telah sah menjadi pengurus setelah pelantikan baru ditraining untuk menjadi pengurus? Lebih parahnya lagi yang mengurusi training adalah pengurus yang kemudian merangkap sebagai peserta. Belum lagi ketika masa pergantian pengurus. Saat pengurus yang lama hampir beranjak menjadi domisioner, pengurus yang baru satu periode di screening lagi untuk jadi pengurus oleh pengurus, rumit dan tidak bermanfaat sama sekali. Perkara semacam ini telah terjadi secara turun temurun dan masih dicari seorang mahasiswa revolusioner yang mau dan mampu merubahnya. Maklum aku sudah didepak soalnya.

    Naik ke jenjang yang lebih tinggi ada Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas atau lebih akrab disebut BEM-F. BEM-F sebagai ormawa dengan lingkup yang lebih luas yakni fakultas memiliki wewenang atau hak yang lebih tinggi dari HMJ, apalagi BEM-F digadang-gadang sebagai ormawa yang mengayomi seluruh rakyat di fakultas. Dalam proses kaderisasi bolehlah Bem-F sudah menerapkan persyaratan training ketika mahasiswa ingin melamar masuk di ormawa tersebut. Namun karena kekuasaan yang semakin besar harus mengemban tanggung jawab yang semakin besar pula, BEM F yang semestinya mampu mensinkronisasikan diri dengan HMJ guna tercapainya program yang berintergritas bagi kemajuan rakyat fakultas ternyata tidak mampu melakukannya. Alih-alih mengawal kebijakan yang dikeluarkan fakultas ketika memberatkan mahasiswa, kegiatanya saja masih berupa euforia budaya hedon. Ditambah lagi pada masa pandemi, BEM-F seakan bungkam dengan segala kebijakan yang dikeluarkan oleh fakultas dan menutup telinga dari jeritan rakyatnya di fakultas. Tidak ada protes atau setidaknya menyatakan sikaplah terkait segala aspek mulai dari metode pengajaran hingga pembayaran UKT kampus.

    Di tingkat universitas ada Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas yang selanjutnya disebut BEM-U dan kawannya Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas yang selanjutnya disebut DPM-U. Mencermati beberapa program kerja yang telah mereka berdua lakukan tampaknya tak jauh berbeda, hampir sebelas dua belas. Jika BEM-U dalam awal kepengurusan melaksanakan konsolidasi internal seperti makrab itu hal yang wajar, selanjutnya kegiatan berupa seminar dan bakti sosial, nah itu masih mainstream. Adalagi rakornas, kalau itu untuk dirinya sendiri. Kalau untuk mahasiswa, hanya disuguhi alarm hari peringatan nasional di timeline beranda instagram. DPM-U tentu lebih baik, hanya pelantikan, raker dan makrab. Konkrit dan anti kritik sebab tak ada yang bisa dikritik. Bagaimana dengan Vvsi-misi yang mereka sampaikan? Tak usah ditanyakan lagi, tentu saja hanya omong kosong belaka untuk menarik suara mahasiswa, setelah ambisi untuk mencapai puncak pimpinan ormawa tercapai ya sudah, hilang begitu saja.

    Jangan berharap sebuah dinamika organisasi, langkah-langkah yang diambil ormawa kampus merah sudah cukup membuat mahasiswa makin apatis dengan internal organisasi, sehingga ormawa seakan kehilangan daya untuk memikat, bahasa khasnya ormawa sudah tidak sexy lagi. Ibarat sebuah komputer yang blank harus di ctrl+alt+del, di reset ulang, kembali dari awal, mulai dari nol, untuk membangun kembali ormawa kampus merah yang ideal. Sebuah sistem yang sinkron dan saling terhubung guna kemashlahatan mahasiswa banyak. Dan tujuan semacam itu membutuhkan langkah yang bertahap, terstruktur dan sistematis sesuai dengan perkembangan menuju kemajuan.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here