Ia adalah seorang lelaki tua yang memancing sendirian di Arus Teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan-puluh-empat hari lamanya ia tak berhasil menangkap seekor ikan pun. Selama empat-puluh hari yang pertama ia ditemani oleh seorang anak lelaki. Namun, setelah empat-puluh hari itu berlalu tanpa mendapat seekor ikan pun orang tua anak lelaki tersebut akhirnya mengatakan bahwa sudah jelas dan pasti lelaki tua itu adalah salao, yakni paling sial di antara yang sial, dan anak lelaki itu menuruti perintah kedua orang tuanya untuk berlayar di perahu lain yang berhasil menangkap tiga ikan besar selama minggu pertama. Anak itu merasa kasihan tatkala menyaksikan si lelaki tua itu pulang setiap hari dengan perahu kosong dan ia pun selalu turun ke tepian pantai untuk membantu lelaki tua itu memanggul gulungan tali atau kait besar dan tombak ikan dan layar yang sudah tergulung di tiang perahu. Layar itu ditambal dengan karung gandum dan bila tergulung di tiang tampak seperti bendera tanda takluk abadi.
(Peragraf pertama novel “Lelaki Tua dan Laut” karya Ernest Hemingway, diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1973).
Berikut ini adalah teks asli (Bahasa Inggris) dari paragraf di atas:
He was an old man who fished alone in a skiff in the Gulf Stream and he had gone eighty-four days now without taking a fish. In the first forty days a boy had been with him. But after forty days without a fish the boy’s parents had told him that the old man was now definitely and finally salao, which is the worst form of unlucky, and the boy had gone at their orders in another boat which caught three good fish the first week. It made the boy sad to see the old man come in each day with his skiff empty and he always went down to help him carry either the coiled lines or the gaff and harpoon and the sail that was furled around the mast. The sail was patched with flour sacks and, furled, it looked like the flag of permanent defeat. (First paragraph from "The Old Man and The Sea" by Ernest Hemingway, Publisher: Jonathan Cape, 1965).
Tahukah Anda bahwa paragraf pertama dari novel “Lelaki Tua dan Laut” itu ditulis oleh Ernest Hemingway (sastrawan asal Amerika Serikat) sebanyak 45 kali sehingga mendapat bentuknya yang indah seperti Anda baca di atas. Artinya, Ernest Hemingway merevisinya sebanyak 45 kali dan, yang perlu Anda ketahui, waktu itu ia masih menggunakan mesin ketik. Tentu saja, berkat keahlian dan dedikasi Ernest Hemingway yang tak kenal lelah dalam menulis, novel ini pun dipuji oleh banyak kritikus sastra dunia dan membuat sang pengarangnya dianugerahi penghargaan Pulitzer pada tahun 1953 serta Nobel Sastra pada tahun 1954.
Saya membaca novel ini pertama kali pada tahun 1988, sewaktu kelas 1 SMA, di Perpustakaan Daerah Lampung. Dan sejak itu karya-karya Ernest Hemingway selalu menjadi favorit saya hingga saat ini. Waktu itu saya menyadari bahwa menulis–apatah lagi menulis karya sastra seindah karya-karya Ernest Hemingway–bukanlah pekerjaan yang gampang atau asal-asalan. Itu membutuhkan dedikasi, antusiasme, studi, intelegensi, keahlian, dan ketekunan yang luar biasa menyita waktu.
Yang saya sungguh heran, di Indonesia saat ini, sejak munculnya kasus plagiarisme Afi Nihaya Paradisa, banyak orang menganggap bahwa pekerjaan menulis itu mudah, tidak perlu berpikir keras dan kreatif, serta boleh melakukan plagiasi. Andai “Papa”–begitu para sahabat Ernest Hemingway biasa memanggillnya–hidup di Indonesia saat ini, kemungkinan besar ia akan meninju hidung orang yang berkata bahwa plagiasi itu sah-sah saja.
Untuk bisa memahami lebih dalam apa itu plagiarisme, interteks atau intertekstualitas, maka baca dulu buku “Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art” karya Julia Kristeva. Di dalam buku ini tak ada Julia Kristeva menyatakan bahwa plagiarisme adalah semacam bagian atau strategi teks dari intertekstualisme. Intertekstual, menurut pandangan Julia Kristeva, adalah sebuah cara untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari berbagai teks lain. Intertekstual, masih menurut Julia Kristeva, juga dipahami sebagai suatu proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks dari masa kini. Sedangkan plagiarisme atau sering disebut sebagai plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat tersebut dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain.
Suatu teks dipahami oleh Julia Kristeva tidak berdiri sendiri. Suatu teks disusun dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain. Karena itu sungguh aneh dan ngawur bila masih ada pandangan yang menyamakan saja antara plagiarisme (suatu tindakan yang bisa saja terkait dengan persoalan hukum) dengan intertekstualitas. Dan orang yang pertama kali sudah mempopulerkan istilah intertekstualitas ke dunia sastra atau penulisan saat ini adalah Julia Kristeva, seorang filsuf dan linguis “postmodern” dari Prancis. Namun, itu tidak berarti bahwa plagiarisme adalah satu tindakan terpuji dari postmodern.
Mengutip tulisan orang lain dan menjiplak tulisan orang lain (plagiarisme), jelas ada bedanya. Para sarjana pasti tahu perbedaannya. Mengutip itu ada aturannya yang benar, ada caranya, dan ada prosedurnya. Sedangkan menjiplak (plagiarisme) itu tak ada aturannya yang benar dan diakui orang lain prosedurnya secara sah. Maka yang berpikir untuk menyamakan saja antara mengutip dengan menjiplak tulisan orang lain adalah cara berpikir yang ngawur dan tak bisa dibenarkan, plagiarisme sama sekali bukan tindakan postmodern.
——————————————————————
Prosa @ Ahmad Yulden Erwin, 10 Juni 2017