“Thoughts are the shadows of our feelings that always emptier, darker, and simpler.”
(Pikiran adalah bayang-bayang perasaan kita yang selalu lebih kosong, lebih gelap, dan lebih sederhana.)
Freidrich Nietzsche
1. Apollonian dan Dionysian adalah konsep filosofis atau sastra, semacam jukstaposisi atau penjajaran dua hal yang dianggap seolah bertentangan, berdasarkan beberapa ciri khas mitologi Yunani kuno. Banyak figur filsuf dan sastrawan di kebudayaan Barat yang telah menggunakan jukstaposisi ini di dalam karya-karya kritis dan kreatif mereka.
2. Di dalam mitologi Yunani dinarasikan bahwa Apollo dan Dionysus adalah putra Zeus. Apollo adalah dewa dari pemikiran rasional dan ketertiban, dewa dari ketelitian dan kemurnian. Di sisi lain, Dionysus adalah dewa dari irasionalitas dan kekacauan, dewa dari emosi dan naluri dasariah manusia. Namun, orang-orang Yunani kuno tidak menganggap kedua dewa itu saling berlawanan, melainkan saling melengkapi. Kedua dewa itu merupakan simbol “dua sisi dari keping koin yang sama”, yang ada di alam, juga di dalam kepribadian manusia.
3. Konsep Apollonian didasarkan pada semacam prinsip individualitas, yang digunakan untuk mewakili individu dan membuat setiap manusia menjadi berbeda dari yang lain. Hal begini merupakan semacam perayaan bagi kreativitas manusia melalui akal dan pemikiran logis. Sementara konsep Dionysian didasarkan pada prinsip kekacauan, yang mendorong manusia kembali kepada kekuatan emosi dan naluri dasariahnya. Alih-alih menjadi individu, hambatan individualitas dipecah oleh konsep Dionysian dan manusia menenggelamkan dirinya ke dalam keesaan.
4. Menurut Nietzsche, jarak kritis yang memisahkan manusia dari emosi dasariahnya, keesaan itu, justru berasal dari cita-cita Apollonian yang telah memisahkan manusia dari relasi esensial dengan dirinya sendiri. Dionysian mencakup segala sifat yang kacau dan irasional, baik yang ditemukan di alam maupun pribadi manusia, yang di dalam diri Insan Kamil (Ubermensch) termanefestasi sebagai kekuatan kehendak nan kreatif (the will to power). Oleh karena itu pula Nietzsche menganggap pengalaman “ekstase Dionysian” sangatlah penting. Tidak hanya demi meraih “pengalaman kebahagiaan puncak”, tetapi karena “a-simetri” Dionysian selalu berhubungan erat dengan “simetri” Apollonian. Memang, seseorang yang menganut prinsip Dionysian cenderung untuk menekankan pengalaman otentik yang “gelap”, meski begitu ia juga menyadari bahwa dirinya manunggal dan terhubung dengan semua pengalaman manusia yang lain. Keesaan dari pengalaman Dionysian sangatlah penting dalam memahami konsep Dionysian karena terkait erat dengan konsep Apollonian guna mencapai ” harmoni dinamis” di dalam hidup.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>